"Selamat atas kelulusan kamu, Alesha."
Mata bening Alesha mengerjap pelan membaca kartu ucapan di sisi buket bunga yang baru saja dia terima dari seorang kurir. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang menyenangkan jika mendapat ucapan dari Farel, entah mengapa kelulusannya tahun ini terasa begitu berbeda.
Bukan hanya ketidakhadiran lelaki itu saja yang membuat berbeda, tapi hari-hari yang dia lalui selama kurang lebih empat bulan menjalani skripsi dan sampai ke tahap dinyatakan lulus pun rasanya begitu ... Hampa.
Alesha menyimpan buket bunga yang katanya kiriman dari Farel itu ke sebuah meja di salah satu sudut kamarnya. Di sana berbagai pemberian dari Farel dia simpan. Sejak Farel tiba-tiba pergi ke Singapura tanpa pamit secara langsung padanya, selama itu pula lelaki itu tidak menghubunginya. Tiap kali Alesha berusaha menghubunginya selalu gagal. Namun, kiriman yang hampir tiap dua Minggu dia dapat membuatnya tahu bahwa lelaki itu baik-baik saja dan masih mengingatnya.
"Farel baik-baik aja kok. Kenapa? Lo pengin nyeleweng ya? Nggak tahan juga kan? Lelaki sok sibuk kayak dia mah jangan diharepin."
Ocehan Nevan tiap kali Alesha menanyakan kabar Farel selalu dijawab guyon oleh lelaki itu. Entah alasan apa yang membuat Farel betah tidak menghubunginya. Alesha bingung, Farel tidak pernah seperti ini sebelumnya. Sesibuk apa pun, lelaki itu akan menghubunginya lewat panggilan video minimal sekali dalam seminggu. Tidak seperti sekarang yang bablas tanpa kabar.
"Smart Edu kehilangan satu kakinya, makanya dia sekarang sibuknya nggak tertolong," ucap Nevan suatu kali ketika Alesha menanyakan kejelasan kegiatan Farel di Singapura. "Nanti juga dia hubungi lo. Belum saatnya aja."
"Semoga pas dia hubungi gue, dia memberi kabar baik." Alesha mendesah. "Pak Gilang kembali bilang soal perasaannya ke gue."
Mata Nevan membelalak. "Jangan bilang lo mau berpaling ke dia?"
Alesha berdecak. "Apaan sih."
"Secara selama Farel enggak ada kan lo sama dia terus."
Giliran Alesha yang mendelik. "Terus gimana sama lo? Bukannya lo juga sama gue terus? Kayak tukang ojek nganterin gue ke mana-mana. Padahal gue nggak minta."
"Bukannya terima kasih malah bilang gue kayak tukang ojek. Gue kan cuma nurutin permintaan Farel."
Alesha menatap Nevan dengan pandangan sangsi. "Yakin lo?"
Sontak lelaki berparas indah itu gelagapan. "Ya iyalah, emang apa lagi?"
Alesha tersenyum sembari menaikkan sebelah alisnya. "Yakin lo udah nggak punya rasa sama gue?" godanya, mencondongkan sedikit badan ke arah Nevan yang duduk di sampingnya.
"Lo itu masa lalu." Nevan mendorong pelan kepala Alesha agar menjauh. "Lagi pula di Jogja sana gue ada cewek kok."
"LDR juga?"
"Kalau gue di sini ya artinya lagi LDR. Nggak cuma lo doang yang LDR-an."
"Tapi kan kalian berdua mungkin saling ngasih kabar. Nggak kayak gue sama Farel. Atau jangan-jangan dia di sana ada cewek baru ya, Nev?" Alesha mulai menduga-duga. Meskipun ragu, siapa tahu dugaannya benar. Farel kan manusia juga.
"Gue nggak tau!"
Alesha tidak pernah mendapat tuntas tentang kabar Farel dari Nevan. Entah lelaki itu beneran tidak tahu atau menutupi keadaan yang sebenarnya.
-oOo-
"Wisuda nanti Farel datang, Sha?" tanya Za yang sedang merapikan meja makan.Alesha yang baru saja menggigit sebuah apel merah mengangkat bahu. "Nggak tau, Nda. Katanya sibuk."
"Dia kan biasanya suka kasih kejutan ke kamu. Nda yakin sih kali ini dia juga bakal kasih kejutan spesial buat kamu. Nda nggak sabar menunggu."
Alesha menggeleng. Dia yang sering dikasih kejutan, malah bundanya yang kesenengan. "Jangan terlalu berharap kali ini, ya Nda."
"Lah kenapa?" Za memusatkan perhatian sepenuhnya kepada anak semata wayangnya. "Kamu nggak lagi berantem sama dia, kan?"
"Nggak, Nda. Aku cuma-"
Tiba-tiba mulut Za ternganga. "Jangan bilang kamu sekarang berpaling ke Nevan. Akhir-akhir ini kan dia sering bareng kamu."
Alesha mengunyah pelan apelnya. "Ya nggak mungkinlah, Nda. Nevan kan udah punya pacar di Jogja sana."
Pandangan mata Za menyangsikan. "Masa sih?"
Alesha mengangguk lalu beranjak berdiri keluar dari rongga antara kursi dan meja. "Pokoknya wisuda Shasa kali ini jangan ngarepin Farel datang, Nda. Nanti Nda kecewa," ujarnya sebelum meninggalkan ibunya ke lantai dua.
Alesha meraih ponsel tang tergeletak di atas kasur. Membicarakan soal Farel bersama Za membuat rasa rindunya kembali membuncah. Dia membuka kunci layar ponsel lalu masuk ke aplikasi galery. Melihat foto-fotonya bersama Farel yang dia simpan rapi di sana. Pelan bibirnya menyunggingkan senyum.
"Bentar lagi aku wisuda, kamu yakin nggak datang, Om? Kalau kamu nggak datang, aku mau terima cinta Pak Gilang biar kamu nyesel," ucapnya setengah bercanda. Jarinya lalu memainkan cincin yang tersemat di jari manis kirinya, pemberian Farel di hari ulang tahunnya.
"Kamu nunggu momen aku lulus kan? Makanya cepet datang, dan bilang lagi sama Baba kalau kamu mau nikahin aku."
Alesha terus bermonolog, hingga dadanya terasa sesak. Lalu air mata di pelupuk matanya seolah saling mendesak dan akhirnya meledak. Alesha rindu. Teramat sangat rindu kepada lelaki itu.
Alesha menarik tisu dari kotak yang ada di atas nakas, dan menyeka pipi serta sudut matanya yang basah. Dia keluar dari aplikasi galery, kemudian masuk ke aplikasi panggilan.
Dengan ragu dia menggulir kotak panggilan hingga sampai ke nomor berkode negara Singapura milik Farel. Alesha menekan ikon hijau, iseng. Siapa tahu saja nomor Farel sudah kembali aktif.
Dan, ajaib karena panggilan yang dia lakukan tersambung. Alesha menunggu dengan dada berdebar. Masih belum ada tanda-tanda panggilannya diangkat. Hingga detik-detik hampir berakhirnya nada sambung, panggilannya terhubung. Alesha membelalak senang dan mengeratkan genggaman tangan pada ponselnya.
"Halo," sapanya dengan bibir bergetar.
Dia rindu suara Farel. Ini ak-
"Yes, hello. Alen speaking. Anything I can help?"
Alesha sontak mengernyit. Yang bicara padanya bukan suara Farel, tapi suara seorang perempuan. Awalnya dia bingung, tapi tak lama dia merasa ....
"Can I talk to Farel? This is his number, right?" tanya Alesha tak sabar.
"Yes that's right. But Farel is not at home right now."
Alesha menggigit bibir. Menduga-duga siapa wanita yang sedang bicara padanya lewat sambungan telepon ini. Wanita itu sempat menyebut dirinya bernama Alen. Tapi siapa Alen?
"So, who are you?"
"I'm Alen, his housemate."
Dahi Alesha kembali berlipat. "A housemate? What do you mean?"
"We live together here. Anything else you want to ask? Sorry, but I have to prepare our dinner before he comes back."
Alesha langsung paham. Dia merasakan kakinya lemas seketika. "I'm sorry for bothering you."
Dadanya kembali sesak. Kakinya yang terasa seperti jeli tidak bisa menopang tubuhnya, dia ambruk di lantai. Air matanya kembali berdesakan dan meluncur melewati pipi. Tubuhnya berguncang hebat seiring tangisnya yang makin kuat. Alesha memeluk kedua lututnya erat, menenggelamkan kepalanya di sana. Menumpahkan sesak yang mengimpit dadanya. Rasa sakit yang dia rasakan begitu menggigit. Nyeri.
Publish, 7 Juli 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love
RomanceAlesha mendengar kabar Farel akan pulang ke Indonesia. Sudah tiga tahun lebih keduanya terpaksa berhubungan jarak jauh lantaran Farel harus berada di perusahaan pusat. Alesha yang tengah disibukkan dengan skripsi mendadak dapat angin segar. Setida...