Bab. 2

1.2K 292 41
                                    

Siang itu, Aisyah, senior sekaligus rekan kerja Mayang menghampiri gadis itu yang sedang memeriksa tugas mahasiswanya. Satu bulan berlalu, Mayang begitu menikmati pekerjaan barunya. Suasana kantor yang menyenangkan, para senior yang mengayomi, juga para mahasiswa yang begitu bersahabat adalah kombinasi yang tepat yang membuat Mayang betah berlama-lama di kampus bahkan terkadang mengabaikan jika ia masih mempunyai rumah untuk ia pulang. Ralat, indekost. Satu kabar baik, beberapa hari ke depan ia akan pindah ke rumah yang telah ia sewa.

"Nak Mayang, tidak ingin ikut kuliah tamu? Tiga puluh menit lagi dimulai," tanya Aisyah mengusik perhatian Mayang pada kertas-kertas di tangannya. Gadis itu menghentikan kegiatannya lalu memfokuskan perhatian pada wanita berusia kepala lima itu. Wanita yang selalu menyematkan panggilan Nak di depan nama Mayang kecuali jika ada mahasiswa mereka.

"Kuliah tamu? Kok saya baru tahu ya, Bu? Sepertinya saya ketinggalan informasi." Mayang merasa malu. Ia sama sekali tidak tahu jika hari ini ada kuliah tamu.

"Nak Mayang sibuk terus jadi tidak sempat noleh-noleh." Aisyah terkikik.

Mayang pun hanya ikut terkikik. Pantas saja ruangan terasa sepi. Mungkin sebagian besar dosen ada yang mengikuti kegiatan itu.

"Kalau begitu ayo, Bu. Saya ikut juga. Oh ya. Di mana acaranya diadakan?"

"Di auditorium gedung C."

"Saya ke toilet dulu tidak apa-apa kan, Bu? Apa tidak masalah jika Ibu menunggu?" Mayang merasa perlu mengosongkan kandung kemihnya. Lagi pula wajahnya sudah terasa lengket karena sejak tadi pagi jadwalnya begitu padat. Ia perlu merapikan mekap di wajahnya agar tidak terlihat begitu mengerikan.

"Silakan. Kan masih ada waktu." Wanita baya itu mengulas senyuman lalu berjalan menuju meja kerjanya. Mayang pun bergegas ke toilet dan tak berapa lama kemudian ia telah kembali dengan wajah lebih segar.

"Nak Mayang ini tidak pernah kelihatan tidak cantik. Dari zaman masih jadi mahasiswi sampai sudah jadi dosen tetap saja awet." Aisyah berucap saat mereka menyeberangi taman kampus menuju auditorium gedung C.

"Ibu ini ada-ada saja. Bukannya Ibu yang awet. Dari saya awal masuk kuliah enam tahun lalu sampai sekarang masih terlihat muda. Justru saya yang menua." Mayang menimpali lalu gelak tawa terdengar dari keduanya.

"Pesertanya banyak ya, Bu, kok sampai memakai auditorium gedung C?" Mayang penasaran, seingatnya dulu saat ia masih duduk di bangku kuliah, kuliah tamu sangat jarang diadakan di auditorium itu.

"Yang saya dengar sih lumayan banyak dari biasanya. Bahkan mahasiswa dari fakultas lain juga banyak yang mendaftar. Ya maklum saja nara sumbernya kali ini kan dua orang. Lulusan luar semua. Bahkan Pak Rektor juga hadir untuk memberikan sambutan." Mayang mengangguk sambil mendengarkan. Saat memasuki gedung C mereka segera menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai teratas. Beberapa mahasiswa tampak berlalu lalang. Sepertinya mereka juga berkeinginan mengikuti kuliah tamu itu.

"Wah, sudah seperti acara besar saja ya, Bu. Sampai Pak Darmawan ikut memberi sambutan." Mayang tertawa pelan lalu saat pintu lift terbuka, ia dan Aisyah memasuki kotak besi itu. Entah karena sungkan pada sang dosen atau memang tak berkeinginan naik ke lantai enam, beberapa mahasiswa yang sejak tadi berdiri tak jauh dari lift itu tak seorang pun yang memasuki lift. Hanya Mayang dan Aisyah saja yang menaiki benda itu.

"Kabarnya mereka dulu teman lama. Sesama alumni Harvard," ucap Aisyah antusias.

"Wah. Sesama orang hebat ya."

Aisyah mengangguk. "Terus satu lagi, Profesor Gani."

"Oh, Profesor Gani Wisesa, guru besar kampus sebelah?"

"Iya. Beliau kakak tingkat Pak Darmawan saat menempuh strata satu dulu." Aisyah mengiyakan apa yang gadis itu ucapkan.

Mayang mengangguk-angguk paham.

"Jadi, ini semacam reuni untuk pak rektor dan kedua nara sumber ya, Bu." Mayang terkikik lagi.

"Betul. Makanya sayang sekali kan kalau kita melewatkan. Lagi pula siapa tahu nanti Nak Mayang terinspirasi untuk menjadi seperti mereka. Setelah ini ambil doktoral lalu---"

"Aduh, Bu. Ini saja saya masih baru dua bulan pulang. Masih ingin istirahat dulu. Menikmati senangnya bekerja, tapi keinginan untuk kembali mendapatkan beasiswa sudah tersusun rapi."

Tawa keduanya kembali terdengar bersamaan dengan denting yang menandakan jika mereka sudah sampai di lantai yang mereka tuju. Mayang dan Aisyah keluar lift lalu berjalan menuju pintu masuk auditorium yang terlihat ramai oleh Mahasiswa yang melakukan registrasi sebelum masuk ruangan.

Beberapa mahasiswa menyapa mereka yang dibalas Mayang dan Aisyah dengan ramah.

"Kita duduk di mana, Bu?" tanya Mayang dengan suara keras karena ruangan itu dipenuhi suara musik yang mengalun di setiap sudut ruangan.

"Di depan sana kursi khusus untuk dosen dan karyawan yang ingin ikut. Kita duduk di kursi paling depan yang tepat berhadapan dengan nara sumber agar jelas melihatnya," tunjuk Aisyah pada deretan kursi di bagian depan auditorium. Mayang mengangguk lalu mengikuti langkah Aisyah. Mayang menyapa dan bersalaman dengan beberapa dosen yang sudah terlebih dahulu datang di ruangan itu dan sesaat setelah gadis itu duduk, suara musik yang sedari tadi memenuhi ruangan terhenti digantikan suara-suara berdengung semua orang di ruangan itu.

"Itu," tunjuk Aisyah ke arah belakang tempat duduk mereka, pada pintu masuk auditorium. "Mereka sudah datang. Sebentar lagi dimulai."

Mayang mengikuti arah telunjuk Aisyah dan detik berikutnya saat matanya terpaut pada sosok yang begitu ia kenal, Mayang seketika merasakan gemetar hebat. Matanya melotot tak percaya saat melihat sosok itu yang berjalan tegap semakin mendekat. Mayang mengerjab berulang kali, mencoba meyakinkan jika apa yang ia lihat tidaklah nyata.

Dan memang benar. Semakin dekat sosok itu berjalan, semakin jelas jika sosok itu adalah orang yang sama. Pria itu terlihat berjalan dengan penuh percaya diri sambil berbincang  di samping sang rektor. Membuat Mayang merasakan pening yang teramat sangat. Demi Tuhan, kenapa hari ini datang begitu cepat? Kenapa pria itu bisa berada di tempat ini?

"Pak Darmawan dan Pak Mahesa kok benar-benar kompak ya. Tidak hanya strata satu dan program magisternya saja yang berasal dari universitas yang sama. Status mereka juga sama. Kebetulan sekali ya. Pertemanan mereka kok demikian unik." Kalimat Aisyah makin membuat tubuh Mayang menggigil. Dialihkannya pandangan pada tulisan besar yang tertempel di belakang panggung. Seketika ia merasakan mual.

Ya Tuhan! Kemana saja otaknya sedari tadi. Kenapa ia sama sekali tak melihat nama yang tertera sebagai nara sumber saat ini. Ada nama Mahesa Sastrawijaya di sana setelah nama Profesor Gani Wisesa tertulis. Kenapa ia baru melihatnya sekarang? Kenapa ia baru tahu sekarang?

Pantas saja Aisyah mengatakan jika salah satu nara sumber kuliah tamu kali ini adalah teman sang rektor di Harvard. Bukankah Mahesa alumnus Harvard Law School? Kenapa dirinya tak menyadari hal itu?

Mayang seketika terduduk lesu setelah menemukan remahan-remahan ingatannya. Tubuhnya terasa lemas. Lemas, gemetar, juga ketakutan. Apa yang harus ia lakukan. Apakah ia harus meninggalkan tempat ini saat ini juga?

Sepertinya hal itulah yang tepat. Maka Mayang segera bangkit kembali dari kursi yang ia duduki berniat untuk pergi. Namun, tarikan di tangannya ia rasakan.

"Kenapa kok berdiri lagi. Sudah dimulai. Ayo duduk." Aisyah menarik tangan Mayang agar gadis itu duduk. Di depan sana sang pembawa acara mulai mengucapkan salam lalu membuka acara itu. Membuat Mayang tak berdaya sama sekali hingga akhirnya ia memilih untuk menunduk saja. Berharap agar pria di depan sana tidak melihatnya meskipun ia duduk tepat di hadapan pria itu. Satu keberuntungan, letak kursi yang dia duduki jauh lebih rendah dari pada posisi pria itu di atas podium. Semoga saja fokus matanya tak beralih pada dirinya. Doa Mayang dalam hati.

###

Yang masih bingung dg cerita si Mayang, bisa baca buku 1 dulu, ya. Bisa diakses di karya karsa dan google playstore.

Ditulis, Maret 2022
Publish, 20 Juli 2022

The Pursuit of Perfection 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang