Nyaris tengah malam Mayang tiba di rumah barunya yang ia sewa. Saat mobil Mahesa berhenti di depan pagar rumah gadis itu mereka tidak segera berpisah. Mayang masih terdiam di dalam mobil sambil memandang jalanan komplek yang sepi.
Lima menit hanya saling membisu akhirnya Mayang berdeham lalu berpamitan. "Saya turun dulu."
Mahesa tak menyahut.
"Mampirlah suatu saat jika Om, mau. Saya bisa membuatkan makan malam yang lezat."
Senyum Mahesa tersungging. "Saya masih tidak percaya." Mahesa berucap pelan tanpa menanggapi ucapan Mayang sebelumnya. Pandangannya menerawang ke depan, pada jalanan sepi di hadapannya. Membuat Mayang terdiam menunggu kalimat apa lagi yang akan pria itu ucapkan. "Mayang, gadis yang ceria dan penuh semangat itu akhirnya kembali lagi. Dia kembali dengan wujud yang lebih dewasa dan berkali lipat mempesona. Dan yang tak bisa dipungkiri, ia juga membawa kesuksesan yang selalu dicita-citakannya."
Mahesa mengalihkan pandangannya ke samping. Pada Mayang yang masih setia menunggu kalimat apa yang akan pria itu ucapkan. "Saya belum mengucapkan apa-apa. Selamat atas gelar magister kamu. Selamat atas pekerjaan kamu. Sejak dulu saya selalu yakin. Kamu akan berada di posisi ini. Kamu akan menjadi seorang wanita yang luar biasa di masa depan."
"Semua itu karena ada Om Mahesa di belakang saya."
Mahesa menggeleng. "Saya tidak melakukan apapun. Malah justru menjerumuskan kamu ke dalam permasalahan rumit yang saya bawa."
Desahan lelah terdengar dari mulut Mayang. "Apapun itu, saya mengucapkan terima kasih. Terima kasih sudah pernah hadir dalam hidup saya dan memberikan secuil kebahagiaan yang tak pernah saya punya."
Mahesa kembali mengulas senyuman. Pria itu mengangguk pelan lalu kembali berucap, "Masuklah. Sudah malam. Kamu butuh beristirahat."
Kalimat itu lagi. Perhatian kecil yang selalu Mayang sukai. Mayang mengangguk lalu melepaskan sabuk pengaman. "Selamat malam, hati-hati di jalan." Sebelum gadis itu membuka pintu di sampingnya, tubuh Mayang bergerak mendekat pada Mahesa. Tanpa pria itu sadari, gadis itu melabuhkan kecupan pada rahang Mahesa. Hal yang membuat pria itu terkejut lalu seketika menolehkan kepala. Gerakan yang salah, karena pergerakan Mahesa justru menyebabkan wajah mereka tepat berhadapan dan detik berikutnya bibir mereka tiba-tiba sudah saling menempel. Namun, secepat kilat tautan itu terlepas. Membuat kedua orang di dalam ruang sempit itu membeku untuk sesaat lalu menjauh segera. Tarikan napas berat terdengar dari mulut Mahesa setelahnya. Pria itu mengusap wajahnya gusar lalu tak lama kemudian bergerak hendak membuka pintu di sisinya, Mayang menggenggam tangan pria itu lalu menggeleng. "Saya bisa membuka pintu sendiri. Om tidak usah turun." Setelahnya Mayang pun turun dari mobil pria itu lalu membuka pintu pagar. Saat Mayang sudah masuk ke dalam rumahnya, barulah Mahesa memacu mobil meninggalkan rumah Mayang.
Tiga puluh menit kemudian Mayang sudah bergelung dalam selimut hangat kamarnya. Kantuk masih belum menghampirinya. Otaknya masih terus menerus mengulang kejadian yang beberapa saat lalu ia alami bersama Mahesa.
Kini apa yang harus ia lakukan? Apakah ia akan kembali menjerumuskan dirinya dalam pesona Mahesa ataukah ia harus pergi sebelum semuanya terlambat? Keduanya tentu bukanlah hal mudah. Lagi pula, belum tentu Mahesa menginginkannya, bukan? Pria itu hanya bersikap lembut dan penuh perhatian kepadanya. Hal yang membuat Mayang jatuh bangun mencintainya. Namun, hingga detik ini pun, pria itu tak sekalipun mengungkapkan perasaannya kepada Mayang. Jangankan perasaan cinta, kata sayang saja belum pernah pria itu ucapkan kepadanya.
Kamu benar-benar bodoh, Mayang! Batin Mayang seolah mencibir. Dua tahun berlalu tapi ia masih belum bisa melupakan Mahesa. Padahal pria itu tak pernah menjanjikan apa-apa.
Mayang mendesah keras. Pasti pria itu masih begitu mencintai istrinya. Mendiang istrinya lebih tepatnya.
Larut dalam pikirannya, pada akhirnya Mayang merasakan kantuk yang perlahan mulai mendera. Namun, ia seketika ingat jika ia belum mengecek ponselnya. Kebiasaan sebelum tidur. Ia akan mengecek pesan, email, atau panggilan tak terjawab yang masuk ke ponselnya. Ia tak ingin melewatkan apapun.
Akhirnya dengan mata sedikit berat, Mayang meraih ponsel yang sedari tadi tak ia sentuh sama sekali lalu mengecek pesan yang masuk satu persatu.
Pesan dari Endah Sulistyorini menyita perhatiannya. Wanita itu menawarkan untuk memasak bersama untuk makan siang besok. Mumpung hari Minggu, tulis wanita itu. Mayang melihat waktu pesan itu masuk ke ponselnya. Pukul sembilan tadi. Dan saat ini hari sudah begitu larut untuk membalas pesan itu. Akhirnya karena khawatir akan terlupa ia pun membalas dengan sebaris pesan jika ia menerima tawaran Endah. Namun, tentu saja ia tak akan mengajak wanita itu untuk memasak. Ia lah yang akan memasak. Wanita itu dan keluarganya cukup menikmatinya saja.
Beruntung. Saat hendak pindah ke rumah ini, Mayang sudah berbelanja cukup banyak. Ia mengisi lemari es dan stok persediaan dapurnya. Besok, ia cukup mengecek stok di lemari es lalu berbelanja---apa saja yang tak tersedia---di supermarket tak jauh dari kampus dan rumahnya besok pagi. Ya, ia benar-benar siap. Kini ia hanya perlu memikirkan menu apa yang akan ia sajikan untuk para tamu perdananya itu?
###
Gimana-gimana?
Ada yg pengin hujat Mayang gak?
Atau Pak Mahesa?
Apa yang akan terjadi besok?
###
Maret 2022
Publish 17082022
KAMU SEDANG MEMBACA
The Pursuit of Perfection 2
RomanceSetelah berbagai kerumitan yang ia jalani bersama pria sempurnanya berakhir tragis, Mayang akhirnya pergi. Pergi menata kembali hidupnya dan meraih kesuksesannya. Dua tahun kemudian Mayang mendapatkan apa yang ia impikan. Masa depan cerah dan harapa...