Bab. 5

1.2K 308 20
                                    

Mana bintangnya? Taburin yuk sebelum baca.😄😄😆

###

Dua hari ini Mayang merasa tubuhnya nyaris tumbang. Kepindahannya ke rumah yang telah ia sewa benar-benar menguras tenaga meskipun ia hanya perlu memindahkan baju juga barang-barangnya yang tak seberapa dari indekost menuju rumah kontrakannya.

Memang yang terberat bukanlah memindahkan barang dari indekost menuju rumah kontrakan tapi melengkapi rumah mungil itu dengan barang-barang penting yang harus ia beli. Untung saja ia masih mempunyai cukup tabungan dan sudah mendapatkan gajinya. Ia bisa menggunakannya untuk membeli barang-barang yang ia butuhkan. Ardhan juga sempat mengiriminya sejumlah uang. Kakak Mayang itu tetap mengirimkan jatah bulanan meskipun Mayang sudah bekerja. Kebiasaan yang tak pernah terhenti bahkan meskipun pria itu sudah berkeluarga. Satu keberuntungan lagi. Rumah yang Mayang sewa kebetulan sudah dilengkapi dengan furnitur, jadi Mayang tak perlu memikirkan isi rumah lagi. Cukup melengkapi barang-barang yang tidak tersedia saja.

"Yang, ajak anak-anak dibutik untuk bantu kamu kalau belanja. Atau minta tolong mereka untuk berbelanja," saran Endah Sulistyorini saat melihat Mayang terduduk lemas di kursi kerjanya usai memanfaatkan jam istirahat siang untuk berbelanja di salah satu pusat perbelanjaan tak jauh dari kampus.

"Terima kasih, Bu. Tapi saya menikmati semuanya kok. Kalau tidak, mungkin saya sudah memilih berbelanja online."

"Memang lebih puas sih. Saya saja kalau punya waktu, lebih senang melihat barangnya langsung. Memilah dan memilih." Endah terlihat menerawang sambil tersenyum.

"Nah itu. Ibu suka juga kan." Mayang terkikik.

"Memangnya apa saja yang kamu beli. Sudah lengkap semua?"

"Masih belum, Bu. Ada saja yang kurang. Tadi saya lebih banyak membeli barang pecah belah, cangkir-cangkir dan teko-teko lucu."

"Wah, sudah siap nih kalau saya bertamu ke rumahmu," gurau Endah.

"Seratus persen sudah siap. Ibu silakan mampir ke rumah. Toples-toples juga sudah terisi camilan. Jika sudah ada waktu, dan Ibu bersedia, saya ingin mengundang Ibu dan seluruh keluarga makan malam di rumah," ucap Mayang dengan binar bahagia.

"Wah, tentu saja saya mau, Yang. Kapan saja bisa. Kamu tentukan saja waktunya. Saya pasti datang. Oh ya, kamu kapan pindahnya?"

"Kemarin, Bu. Hari ini adalah hari ke dua saya di rumah baru."

"Wah. Selamat ya. Semoga kamu betah di rumah baru."

"Terima kasih, banyak, Bu." Obrolan itu bergulir hingga akhirnya mereka harus kembali memasuki kelas masing-masing.

Saat hari beranjak petang Mayang pun pulang ke rumah. Rasa lega menyelimutinya kala ia akhirnya bisa merasakan guyuran air shower yang membasahi tubuhnya. Hari ini ia nyaris tak mengistirahatkan tubuhnya sama sekali. Jadwalnya padat dari pagi hingga sore hari. Bahkan ia memanfaatkan jam istirahatnya untuk berbelanja. Setidaknya kesibukan itu bisa mengalihkan otaknya yang nyaris gila gara-gara pertemuan tidak sengajanya dengan Mahesa beberapa hari lalu ditambah mimpi sialan yang seolah melekat kuat di otak Mayang. Demi Tuhan, ia masih tak bisa berpikir dengan tenang. Kekhawatiran dan kecemasan sering kali melandanya.

Satu tanya yang tersimpan di benak Mayang. Apakah pria itu merasakan hal yang serupa? Tidak. Tentu saja tidak. Pria itu bersikap seolah-olah tak mengenalnya. Tak pernah terjadi sesuatu di antara mereka.

Mayang menertawakan dirinya sendiri. Memangnya apa yang kamu harapkan, Mayang? Apa kamu menginginkan pria itu terkejut saat melihatmu lalu spontan berteriak kegirangan dan memelukmu? Jika seperti itu, selamat! Kamu telah begitu banyak berharap dan harapanmu tak menjadi nyata.

Lalu, apa tujuan kamu melarikan diri begitu jauh jika ternyata di hati kamu masih mengharapkan bertemu? Mayang mengumpat. Sampai kapan ia akan seperti ini? Begitu cemas dan ketakutan saat bertemu pria itu. Namun, terselip pengandaian yang ia harapkan berbuah nyata bersama pria itu.

Kali ini akhirnya Mayang bertanya pada dirinya. Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Yang? Dan ia memberikan jawab dengan gelengan lunglai. Ia pun tak tahu.

***
Mayang melangkah pelan memasuki ballroom hotel tempat dilaksanakannya pesta pernikahan Rena. Pandangan matanya lebih banyak tertunduk karena khawatir jika sampai ada seseorang yang ia kenal di masa lalu mengenalinya. Tidak semua orang pastinya. Hanya beberapa orang terutama yang---bekerja di firma hukum Mahesa---tahu ulahnya dua tahun lalu.

Jeritan Rena terdengar kala Mayang menaiki pelaminan dan memberinya ucapan selamat. Rena tak segan memeluk dan mencium Mayang meskipun ia memakai kebaya dengan riasan lengkap di wajahnya.

Setelah mengucapkan selamat dan berbincang sejenak dengan Rena dan suaminya, Mayang segera beranjak karena masih banyak tamu undangan yang akan melakukan hal yang sama seperti dirinya, memberikan ucapan selamat kepada sang pengantin. Langkah Mayang kemudian tertuju pada salah satu sudut ruangan tempat sajian lezat tertata di sana. Mayang menikmati makan siang yang sudah teramat sore. Saat ini ia tak berkeinginan menikmati makan malam. Mungkin es krim atau puding bisa ia coba nikmati.

Saat langkahnya baru saja berbelok menuju sudut ruangan itu, entah kenapa, Mayang merasa ada seseorang yang memperhatikan dirinya. Hal yang ia takutkan jika sampai bertemu orang-orang yang mengenalnya. Mengetahui aib yang ia buat dua tahun lalu lebih tepatnya. Maka dengan keberanian yang ia coba bangkitkan, Mayang menghentikan langkah lalu mendongakkan kepala demi mencari sumber dari rasa tak nyaman yang tiba-tiba saja menggerogotinya.

Dan apa yang ia dapat ternyata benar-benar membuatnya seolah terhempas ke dasar jurang. Sosok itu. Wajah itu. Sekali lagi ia bertemu di tempat ini, menatapnya tanpa kedip. Membuat Mayang seolah terseret pada tatapan teduh pria itu. Tatapan yang sudah dua tahun tak pernah Mayang lihat lagi. Mayang merasakan seolah semuanya menghilang. Menyisakan dirinya dan pria itu saja dalam kesunyian. Sedetik, dua detik, tiga detik hingga entah di detik keberapa mereka masih enggan mengalihkan pandangan. Mulut mereka terkunci, tak ada satupun yang berkeinginan untuk melontarkan sapaan atau mungkin juga menanyakan kabar.

Apakah semuanya akan berlalu begitu saja seperti pertemuan mereka di auditorium beberapa hari yang lalu? Mayang mencoba menenangkan diri. Kali ini ia sendiri, tidak bersama siapapun maka ia harus menghadapinya. Jika beberapa hari lalu pria ini seolah tak mengenalnya maka kali ini pun Mayang akan melakukan hal yang sama.

Hingga akhirnya Mayang yang memutuskan pandangan mereka. Gadis itu memejamkan mata sejenak sambil menarik napas dalam lalu melangkah pergi tanpa memedulikan pria itu. Ia melewati pria itu begitu saja seolah tak pernah mengenalnya. Ya, hal itulah yang harus ia lakukan sekarang. Ia tak mau bernostalgia dengan pria itu lalu kembali mengulangi kebodohan yang sama sekali lagi.

Mayang berjalan cepat menuju pintu keluar. Keinginannya untuk sekadar mencicipi es krim lenyap sudah. Ketakutannya muncul begitu nyata tanpa ia kira. Seharusnya ia bisa memperkirakan hal ini. Entah Rena yang menjebaknya ataukah mungkin suami sahabatnya itu mengenal Mahesa lalu mengundangnya.

Gemetar perlahan ia rasakan. Namun, secuil rasa senang muncul di hatinya. Mayang mengumpat dalam hati. Benar-benar jalang. Setidaknya otaknya yang masih sehat memaksanya berpikir jika ia dalam bahaya. Maka dengan langkah terburu Mayang segera mencari lift menuju lobi agar ia bisa segera pergi dari tempat ini. Stiletto yang ia pakai sepertinya tidak bisa diajak bekerja sama. Benda berhak tinggi itu membuatnya kesulitan mempercepat langkah. Ia tak ingin tergelincir apalagi terkilir akibat benda itu.

Beruntung, saat Mayang tiba di depan lift. Benda itu tak lama kemudian membuka. Mayang tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia pun memasuki kotak persegi yang kebetulan tak membawa siapapun di dalamnya. Namun, saat benda itu hampir tertutup, satu sosok dengan cepat menyelinap masuk.

###

Mimpi lagi nggak, sih? Wkekekk....

The Pursuit of Perfection 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang