Bab. 6

1.2K 298 27
                                    

Mayang membelalak kaget. Tangannya terulur hendak menekan tombol agar ia bisa keluar dari tempat itu. Namun, belum sempat tangan Mayang menyentuh angka-angka di depannya, telapak Mayang tergenggam erat oleh telapak pria itu. Membuat Mayang seolah tersengat listrik dan nyaris terjatuh karena lemas.

Mimpi itu. Kenapa begitu mirip dengan apa yang terjadi saat ini? Apa mimpi itu adalah pertanda ia akan dipertemukan lagi dengan Mahesa di sini? Lagi pula...

Demi Tuhan. Sentuhan itu masih sedasyat dulu. Selalu membuatnya tak pernah waras dan semakin gila. Hal yang begitu berbahaya karena bisa dipastikan ia akan begitu mudah tergoda. Begitu mudah melupakan janji-janjinya.

Saat kotak besi itu perlahan terbuka di lantai dasar yang difungsikan sebagai area parkir, pria itu perlahan membawa Mayang berjalan menuju tempat mobilnya terparkir. Mayang mengikuti tanpa paksaan seolah linglung. Tanpa berkata apapun ia membukakan pintu untuk Mayang lalu memasang sabuk pengaman untuk gadis itu kemudian mengitari mobil untuk duduk dibalik kemudi dan membawanya keluar dari area parkir.

Tak ada yang mencoba membuka obrolan atau beramah tamah selama perjalanan malam itu. Keduanya seolah hidup dalam pikiran masing-masing hingga tiga puluh menit kemudian Mahesa memarkir mobilnya di sebuah rumah yang tak Mayang ketahui milik siapa. Pria itu membuka pintu kemudi lalu kembali membukakan pintu untuk Mayang yang terpaku diam di tempatnya sambil memandang rumah yang tak bisa dikatakan sederhana itu. Selalu seperti itu. Hal kecil yang membuat Mayang jatuh bangun mencintainya.

Mayang menolehkan kepala, memandang sosok Mahesa yang masih memegang pintu mobil dengan pandangan sendunya. Mayang memejam sejenak. Berusaha menenangkan degub jantungnya yang kian menggila juga telapaknya yang mulai basah karena gemetar yang tak kunjung sirna.

Ini salah. Sangat salah. Setelah dua tahun menghindar kenapa sekarang ia justru pasrah dibawa ke tempat asing ini tanpa penolakan sedikit pun oleh pria yang ia hindari?

Perlahan Mayang bergerak turun dari mobil pria itu lalu mengekor langkah Mahesa yang membuka pintu rumah dan menutupnya saat mereka sudah berada di balik pintu. Tanpa Mayang duga, tiba-tiba saja tubuhnya terasa tertarik ke depan dan detik berikutnya ia merasakan pelukan hangat pria itu. Pelukan yang pernah ia rasakan dua tahun lalu sebelum malapetaka itu menghantam dan menghancurkan semuanya.

Pertahanan Mayang seketika luruh. Janji-janji yang ia tanamkan dalam hatinya musnah tak bersisa. Mayang tergugu. Ia terisak-isak menumpahkan semua rasa yang ia pendam selama ini. Ketakutannya, kesedihannya, juga kerinduan dan rasa lain yang campur aduk memenuhi dada. Dijatuhkannya tas mungil yang ia bawa demi bisa membalas pelukan hangat pria itu.

"Maafkan saya, Mayang. Maafkan saya." Pria itu berucap sambil mengeratkan pelukannya. Membuat Mayang makin terisak keras dan membenamkan wajah dalam dada pria itu. Bermenit-menit mereka larut dalam suasana haru penuh tangis, hingga akhirnya Mayang melepas pelukannya. Mencoba memberi jarak. Jemari pria itu terulur menghapus jejak-jejak air mata Mayang yang masih enggan sirna.

"Akhirnya saya menemukanmu, Yang." Pria itu berucap sambil menyelipkan rambut Mayang di balik telinga.

"Bagaimana kabar kamu selama ini? Apa kamu baik-baik saja?"

Mayang menggelengkan kepala tak mampu menjawab pertanyaan pria itu. Jujur saja selama dua tahun ini ia tidak baik-baik saja.

Karena tak mendapatkan respons, Mahesa membawa Mayang menyeberangi ruang tamu menuju ruang keluarga. Pria itu membimbing Mayang duduk di sofa besar di ruangan itu. Menghadap televisi berukuran raksasa yang menempel di dinding. Tak berapa lama, Mahesa menghilang lalu sesaat kemudian muncul dengan membawa minuman di gelas berkaki dan mengulurkannya kepada Mayang.

"Minum dulu."

Mayang menerima gelas yang diulurkan pria itu lalu meneguknya hingga tersisa separuh kemudian memberikan gelas itu pada Mahesa. Setelah meletakkan gelas di meja, pria itu menghempaskan diri di sebelah Mayang.

"Saya pikir tidak akan pernah bertemu dengan Om lagi." Mayang berucap setelah keheningan menelan mereka cukup lama.

"Sekian lama saya berusaha menjauh dari Om, bahkan melarikan diri begitu jauh ternyata semuanya sia-sia."

"Kenapa kamu menghilang tanpa kabar, Yang?" Pria itu memandang lekat Mayang. Memaku sosok yang sudah dua tahun ini tak pernah ia lihat.

"Tante Indri yang telah pergi, Om terbaring koma di rumah sakit karena saya. Apakah hal itu tidak cukup sebagai alasan kepergian saya?"

"Itu adalah kecelakaan, Yang."

"Dan kalian mengalami hal itu karena saya."

Mahesa terdiam.

"Sayalah yang salah. Bukan kamu. Jangan menyalahkan diri sendiri."

Mayang menggeleng. "Saat itu saya sudah berjanji. Jika Om selamat, saya akan pergi dari kehidupan Om dan juga Rico."

"Melihat keadaan Om seperti saat ini, adalah kebahagiaan bagi saya. Akhirnya salah satu beban yang menghimpit saya selama dua tahun sedikit terlepas."

"Sedikit?"

Mayang mengangguk. "Karena beban terbesar adalah kematian Tante Indri."

Mahesa terdiam, sesaat kemudian menarik napas berat lalu mengangguk.

"Ini rumah siapa?" Mayang mengalihkan topik pembicaraan. Suasana canggung mulai terasa. Meskipun dulu mereka begitu akrab. Namun, dua tahun putus komunikasi mau tak mau membuat komunikasi mereka tak semulus dulu.

"Sudah satu tahun saya tinggal di sini."

"Lalu rumah yang lama?"

"Rico yang tinggal di sana. Orang tua saya juga pindah ke sana."

"Kenapa Om justru tinggal di sini?"

Mahesa tersenyum miris. "Dia masih belum bisa memaafkan saya. Karena sayalah yang bersalah, maka saya yang memutuskan pergi."

Mayang memandang sendu pria di sampingnya. Raut itu masih sama seperti dua tahun lalu. Terlihat tampan penuh pesona. Yang sedikit berbeda adalah rahang kokoh itu sekarang ditumbuhi bulu-bulu halus yang makin mempertegas kesan maskulin yang selalu membuat Mayang enggan melepaskan pandangannya.

Hening. Tak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Mayang menggerakkan tubuhnya dari yang semula menyamping demi bisa memandang pria itu, kini duduk lurus ke depan memandang televisi yang tak menyala.

Rasa itu, debar itu masih sama seperti dua tahun lalu. Namun, entah mengapa terasa tak lagi menggebu. Entah, apakah hal itu efek rasa takut tersulut rasa terlarang yang dulu, atau mungkin terbiasa tak bertemu. Setidaknya satu hal yang Mayang tahu. Ternyata, ia masih begitu nyaman berada di sisi pria ini. Benar-benar tak tahu diri.

Menit demi menit mengalir pelan. Meskipun terbelit dalam keheningan tapi Mayang tahu pria di sebelahnya ini memiliki rasa yang sama dengan dirinya. Apalagi saat perlahan Mayang menyandarkan kepalanya dipundak pria itu. Pria itu terasa menoleh sekilas lalu merebahkan kepala ke sandaran sofa. Membuat Mayang yang bersandar di pundak pria itu ikut menyandar juga. Membuat posisinya begitu nyaman. Mayang memejamkan mata. Menikmati kebersamaan dengan pria yang masih menghuni hatinya.

Dalam hati ia mencibir. Mengutuk sikapnya selama ini. Ia begitu ketakutan apabila sampai bertemu pria ini lagi, tapi sekarang ia justru begitu senang bersandar pada pemilik pundak nyaman ini.

Lalu, sebenarnya apa yang telah ia lakukan selama dua tahun ini? Apa yang ia takutkan? Apakah ia takut kembali melakukan kesalahan yang sama seperti dua tahun lalu? Ataukah ia takut pria itu tak memedulikannya lagi?

###

Maret 2022
Publish, 11 Agustus 2022

Bisa bantu Mayang jawab paragraf terakhir nggak?

Yang masih penasaran bagaimana keadaan Tante Indriana, sudah terjawab di sini ya eheeee.... Kalau mau tahu detailnya, ada di buku 1 yg bisa diakses di playstore dan karya karsa.

The Pursuit of Perfection 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang