Ini Ketiga Belas

92 44 24
                                    



Satu hari di mana sakit kepala dan pusing menyerang kepalanya, Junizar menyingkir dari kelas dan bertemu dengan gadis itu. Waktu itu dirinya terpaksa mengunjungi koridor paling sepi yang terletak di lantai tiga gedung sebelah barat. Di sana deretan kelas kosong yang digunakan untuk menyimpan kursi dan meja baik yang rusak parah mau pun yang masih bisa dipakai. Ruang-ruang kelas itu terkunci, tentu saja. Tapi Junizar bisa mengakses kelas paling ujung karena ia pernah menduplikat kuncinya secara diam-diam ketika ikut menemani sang satpam sekolah di malam perpisahan kakak kelas mereka setahun yang lalu.

Begitu ketahuan, Junizar dipanggil menghadap kepala sekolah dan kunci miliknya diambil. Tapi namanya Junizar, ia tetap tenang dan tidak merasa risau sama sekali. Sebab pintu itu sudah ia rusak engselnya, ia bongkar pasang sedemikian rupa sehingga ketika dirinya ingin membolos tanpa gangguan, tempat itu tersedia untuknya. Di kelas paling ujung itulah, Junizar berbaring santai dan mendengar satu suara yang sangat akrab di telinganya. Suara milik Jennika di hari pertamanya kembali ke sekolah ini.

"Gak basa-basi dulu nih?"

Terdengar suara Je bertanya. Junizar langsung bangun dari posisi tidurnya, tanpa suara ia bergerak menuju jendela, mengintip dari balik kaca. Benar, itu memang Je yang ia kenal. Dirinya sudah diberitahu kalau Je akan kembali lagi ke sekolah semester ini tapi Junizar tidak tahu tepatnya hari inilah gadis itu akan muncul.

"Disuruh mama tinggal di sini."

Terdengar lagi suara Je. Junizar memfokuskan pandangannya. Kaca jendela ruang kelas ini kotor sekali sih? Gak pernah dibersihin apa? Sambil menggerutu dalam hati, Junizar mempertajam telinganya.

"Tenang aja. Lagian aku tetep pilih UGM kok ntar kuliah. Dan itu enam bulan lagi."

Junizar ternganga. Kembali ia pertajam indera pendengaran, sampai telinga dan pipinya menempel pada kaca jendela.

"Bertahun kamu cerita a to z tentang pacar kamu, mana mungkin aku gak tau."

Seperti ada kabel kusut yang mengaliri listrik ke seluruh otak Junizar ketika mengamati Je. Seluruh sistem sarafnya bagai disengat listrik saat menyaksikan bagaimana raut wajah Je, mendengar semua kata yang keluar dari bibir gadis itu ditambah tempat sepi yang kini didatanginya.

"Terus, kamu maunya bagaimana? Dam... apa yang kamu khawatirkan? Kan kamu gak cerita ke si Inem kalau kamu punya tunangan. Jadi, Inem gak kenal aku. Coba utarakan ke aku, imajinasi kamu soal 'curiga' itu gimana?"

Ada keinginan kuat untuk segera mendobrak pintu kelas, keluar dan muncul di depan wajah Je detik itu juga. Tapi Junizar membeku karena masih ingin mendengar semua dialog yang Je lontarkan. Semuanya tentang Adam, Adam dan selalu Adam.

"Adam, for your information, yang berangkat dan pulang sekolah bareng bukan cuma pasangan. Kakak adek bisa. Sodara sepupu bisa. Jadi, ada lagi yang mengganggu pikiran kamu?" tanya Je.

Gelagat Je terlihat akan mengakhiri percakapan bersifat pribadi tersebut, Junizar tak tahan lagi. Setelah menghela napas panjang dan memasang ekspresi setenang dan sebiasa mungkin, ia melangkah menuju pintu.

"Pasti Adam saraf otaknya udah rusak." Terdengar Je bergumam.

Detik itulah Junizar menghasilkan suara gaduh. Je terlonjak kaget dan menatap ngeri pada pintu kayu yang tertutup di sampingnya.

"Mampus!" Je berseru pelan ketika pintu kayu didorong kasar. Disusul umpatan kasar setelah melihat wajah Junizar. "Anjing!"

Junizar tergelak. Sebelum menghampiri Je yang pucat pasi, dengan santainya ia tendang pintu sampai salah satu engselnya yang sudah karatan lepas sempurna. Nanti ia perbaiki lagi engsel pintu sialan itu, pikir Junizar.

Kiss Something GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang