Ini Kelima

201 59 108
                                    


Katakanlah Je saat ini sedang melawak. Melakoni peran tokoh pendukung dalam kisah cinta dua insan yang begitu manis, Adam dan Innata. Je mendadak kecanduan menyinggahi rumah Innata. Pulang sekolah, ia menghampiri gadis itu ke kelasnya. Tanpa perlu kehadiran Adam, Je dan Innata sudah akrab. Innata yang manis, nenek yang hangat dan perbincangan mengenai puisi. Tiga hal yang ingin Je nikmati.

"Aku seneng Je, kenal kamu."

Ucapan Innata itu membuat Je terdiam beberap saat. Ia memandang lurus pada Innata tanpa ekspresi.

"Kata anak-anak di kelasku, aku itu terlalu lugas dan gak neko-neko," imbuh Innata, "yaahh itu bahasa halusnya. Maksudnya aku ngebosenin. Kalau bukan karena anak sanggar dan pacaran sama Adam, aku gak punya temen."

Je tidak yakin harus merespon bagaimana tapi ia mencoba memberi tanggapan. "Kamu aktif di sanggar?"

"Dulu sih. Kalau sekarang udah kelas dua belas, stop dulu. Mau fokus belajar. Bentar lagi ujian," jawab Innata.

Ah iya, ujian. Je nyaris tak pernah mengkhawatirkan hal paling krusial yang tengah melanda teman seangkatannya.

"Je, kamu mau kuliah dimana?" tanya Innata. Gadis itu baru ingat belum pernah membahas hal tersebut dengan Je.

"Belum tau," sahut Je pelan.

"Bareng sama Adam dan aku yuk? Beda jurusan gak apa, tapi sekampus yuk?" ajak Innata dengan bersemangat.

Je bergeming. Innata tidak paham kenapa perkara kuliah ini membuat sinar mata Je meredup. "Je, kamu belum mikirin soal ini ya?"

Kembali Je terdiam. Binar di kedua iris milik Innata seolah menghipnotis Je. Nada antusias itu membuat Je tersadar kalau dirinya sudah terpengaruh hal-hal sentimentil yang seharusnya Je buang jauh-jauh.

"Je?"

"Aku laper. Nenek kamu masak gak hari ini? Sop buatan nenek tuh ya... the best!"

Innata mudah terdistraksi. Je nyerocos panjang lebar tentang masakan nenek sepanjang jalan. Bagi Innata, Je itu teman paling masuk akal dibanding teman-temannya yang lain. Je lebih mengutamakan urusan perut, Je jarang mengeluh, Je jarang curhat, Je bukan tipe siswa ambis apalagi sampai memusingkan masa depan.

Perkara di kampus mana Je akan mendarat kelak, adalah urusan yang tak perlu dirisaukan. Innata berpikir sesederhana ini. Je adalah gadis baik yang seperti itu, sama seperti sepupunya -setidaknya itu yang Innata ketahui detik ini- Adam dan Je adalah orang-orang favorit Innata. Gadis itu tidak repot-repot mengulik lebih jauh sikap Je yang terlampau santai akan masa depan; Je lahir dalam lingkungan aristokrat kental dengan segunung harta yang dikelola dengan amat baik, melalui perjanjian kerja sama yang melahirkan keuntungan besar berjangka panjang. Fakta yang terpampang nyata, namun Innata memang senaif itu.



•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•



Sementara pikiran Innata berenang damai, tenang dan penuh syukur akan kehadiran sang pacar dan kawan baik, batin Je bergejolak. Ada kalanya Je seperti ditarik oleh masa-masa gilanya. Perkara beberapa tahun yang selama ini masih sesekali Je rasakan sendiri sengatannya. Hingga detik ini pun Je merasa masih tidak karuan jika mengingat perasaan-perasaan itu. Perasaan muak yang menyekik dan meremas paru-paru, rasanya membuat Je ingin mati....

"Aku gak bohong! Dia yang masuk kamar aku dan grepe-grepe badan aku!"

"Hati-hati kamu kalau bicara!"

"Jangan bohong!"

"Anjing, gue gak bohong!"

"Anak sialan!"

"Dasar amoral!"

Kiss Something GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang