Ini Kelima Belas

173 48 42
                                    



Waktu Je dinyatakan masuk kelas unggulan, Mama dan Papa bersorak senang, tersenyum dan menyambutnya hangat di rumah. Kemampuan Je dalam akademik bukan hal sepele, ia bahkan bisa merincikan bagian sel tumbuhan dan hewan dengan akurat walau baru sepuluh menit mempelajarinya.

"Aku satu sekolah sama Adam lagi kan?" tanya Je penuh harap.

"Udah esempe masih aja gak mau jauh-jauh dari Adam," ledek Papanya.

"Papa, aku mau satu sekolah sama Adam. Papa betulkan daftarin Je ke sekolah yang sama dengan Adam?" tuntut Je dengan raut cemas.

"Iya, tenang aja," jawab Papanya.

"Asyik!" Je bersorak senang.

Mama hanya geleng-geleng kepala. "Mamanya Adam juga sampai berpesan ke Mama supaya izinin Je ke sekolah yang sama. Kalian ini ya, sejak dulu kayak anak kembar tau gak."

Ekspresi Je berubah cemberut. "Kok anak kembar sih, Mah? Aku sama Adam itu partner seumur hidup. Mama Adam juga bilang mau nikahin Je sama Adam."

"Astaga, Je. Kamu baru kelas tujuh, Nak. Udah ngomong perkara nikah aja," cetus Papa.

"Ya tapi boleh kan, Pah? Mamah sama Papah emang mau jodohin Je sama Adam kan nanti?"

"Kata siapa?" tanya Mama dengan seringai geli.

"Kata Adam. Waktu kita makan malam sama-sama di Grand Meat dulu. Kata Adam dia denger omongan Papa Mama dia sama Mamah Papah," ungkap Je. "Eyang Pramu kan yang ngusulin?"

Mama tersenyum. "Nanti saja ngomongin itu. Kamu masih kecil, Je. Mamah sama Papah nyuruh kamu temenan dekat sama Adam biar kamu semangat, gak sedih lagi keinget sama Nenek."

Je mengangguk, menurut. "Aku udah gak begitu sedih kok. Nenek kan udah lama ke surga."

"Nah kalau gitu, Je harus rajin belajarnya ya, Sayang. Belajar sama-sama Adam, sama teman-teman yang lain juga."

Percakapan itu terjadi jauh di masa lalu, waktu Adam masih bisa meledek dirinya yang cengeng dan manja, terutama sama Nenek. Buat Je, Nenek Haisa itu segalanya, yang selalu menemaninya di saat orang tuanya sibuk bekerja. Nenek Haisa tidak seperti Eyang Pramu, yang paling dituakan tapi sikapnya terlalu galak, sama sekali tidak berbelas kasih pada cucu-cucunya. Memangnya salah siapa jika cucu yang dimiliki Eyang Pramu seperti Je? Seperti Kama? Beruntungnya Eyang Pramu menyukai Adam.

Je pernah punya impian, kelak, di masa yang akan datang, ia bisa lebih disayang oleh Eyang, terus bersama Adam, dan keluarganya tetap rukun dengan utuh; papa, mama dan Kak Kama. Itu impian Je yang terlalu sempurna. Sebab Eyang Pramu tak akan pernah menerima Kama, jelas saja, Kama bukan anak mamanya, beliau juga tidak akan semanis dan sehangat Nenek Haisa, dan satu-satunya yang tampak mungkin hanyalah Adam. Calon pasangannya di masa depan. Namun suatu ketika, Je mengubah mimpi-mimpinya. Menjadi lebih sederhana, lebih nyata dan lebih mudah Je raih, yakni persahabatannya dengan anak laki-laki bernama Junizar.


•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•


Junizar berulang tahun hari itu dan pipinya dikecup oleh gadis kecil yang memberinya setoples cokelat payung warna-warni.

"Selamat tambah umur, Juni!" seru Je.

Kecupan singkat itu masih membuat Junizar mematung. Perlahan ia mengangguk, tersenyum tipis. "Makasih, Je."

"Ayo makan cokelatnya, aku beli spesial buat lo."

"Ini terlalu banyak, kenapa beli sampai setoples?"

"Biar puas," jawab Je, cengirannya melebar, "makan bareng Kak April juga boleh."

Kiss Something GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang