Ini Kesepuluh

127 51 62
                                    


A/N :
Sebelum lanjut baca, aku mau minta kalian untuk konsentrasi sama alur dan penokohan yang aku buat. Cerita ini punya sesuatu yang akan membuat kalian sedikit berpikir -sedikit aja kok- dan kalau kalian mulai bingung setelah baca part ini, jangan khawatir, karena ke depannya satu per satu akan diperjelas. Dari part 1 hingga 9 yang sudah kalian baca, sekiranya tidak keberatan, boleh kalian baca ulang untuk pahami setiap detail alur, tokoh dan dialog, tapi kalau masih segar di ingatan, maka silakan lanjut. Saranku, rekam baik-baik setiap dialog, tindak tanduk para tokoh, sifat, dan kejadian-kejadian -sekecil apa pun- yang terjadi di antara para tokoh. Kenapa? Nanti terjawab di part-part berikutnya ☺️ btw, jangan lupa tekan bintang ya biasakan memberi vote, komen dan share cerita ini ke teman-teman kalian. Silakan lanjut baca.


•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•

Je tidak heran ketika merasa acara keluarganya tidak menyenangkan untuknya. Melihat kedua orang tuanya yang bercengkerama mesra, termasuk interaksi mereka dengan anak-anaknya dan kalimat-kalimat Eyang Pramu yang lebih sering Je abaikan. Namun Je tidak menampik kalau dirinya senang bisa semeja dengan Kak Jou, si anak haram yang selalu membuat Eyang Pramu mendengus keras. Namun apa pun tingkah Eyang yang berusaha menyingkirkan Kak Jou, tidak perlu dikhawatirkan sebab Mama tidak tampak keberatan sama sekali dengan fakta bahwa suaminya punya anak dari perempuan lain. Je tahu alasan Mamanya menerima semua anak-anaknya dengan tangan terbuka, Je tidak permasalahkan toh semua manusia memang bertindak sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Kak Ceril, gadis yang tinggi dan cantik, tersenyum tipis pada Je dari seberang meja makan.

"Kenapa adik gue yang cantik ini keliatan gak bersemangat?" tanya Ceril.

Je tidak menjawab. Dirinya sebenarnya agak takut dengan sang Kakak. Selama ini Je menyaksikan sendiri perbuatan Kak Ceril dengan gadis-gadis lain. Jika ditanya siapa cewek paling Je takuti, maka jawabannya adalah Kak Ceril.

"Kenapa sih lo takut amat sama gue, hm?" bisik Ceril seraya memajukan wajahnya ke arah Je. "Yang dulu-dulu gak bisa lo lupain ya Je?"

Kontan Je langsung pucat pasi.

"Je???" panggilan sang Mama membuat Je menoleh. "Kamu kok pucat? Kamu sakit?"

"Emm.. enggak," jawab Je pelan.

"Kalau sakit, mending kamu istirahat. Jangan dipaksain," saran Mama.

Kak Ceril menyunggingkan senyuman tipisnya lagi. Je kembali merinding. Lebih baik dirinya segera menyingkir dari sini sebelum betulan jadi hal buruk. Ketika Je melenggang pergi dari meja makan, Mama langsung menatap Kama.

"Jou, tolong kamu cek di kamar Je, soalnya adik kamu pucat tadi."

"Oke, Mah."

Kama dengan sigap menuruti titah beliau kendati dirinya anak dari wanita lain, orang yang ia panggil Mama sejak kecil hanya ada satu. Kama tidak mau repot dengan drama mencari-cari Ibu kandungnya. Bodo amat! Kalau sudah meninggalkan berarti menelantarkan, berarti tidak butuh dan tidak sayang. Kama menganggapnya takdir.

"Oh iya, Jou! Jangan lupa," imbuh Mama, "coba bujuk Je minum obat kalau diperlukan. Tiap sakit, adik kamu itu susah sekali kalau disuruh minum obat."

Kama mengangguk dan segera menyusul ke kamar Je.


•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•


Kama mendapati adiknya sedang duduk di tepi jendela. Terali besi yang terpasang di jendela kamar Je manfaatkan untuk mengikat tirai-tirai yang terbuat dari benang wol berwarna biru bergradasi. Je menganyam kumpulan benang tersebut seperti kepangan dengan empat bagian.

Kiss Something GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang