20. See You in Miami

1.7K 183 3
                                    

Setelah pertemuannya dengan Kieve saat itu, Kavi langsung jatuh sakit. Menyakiti pria itu sama saja dengan menyakiti Kavi. Mulut dan tubuhnya bisa berbohong namun hatinya tidak bisa berbohong, ia memang masih mencintai pria itu, cinta tak bisa hilang dalam satu atau dua hari saja meski Kavi berusaha keras untuk melupakannya.

Sosok Anslee yang selalu ada di sisinya bahkan merawatnya seperti sekarang memang membuat Kavi merasa nyaman ketika berada di sekitar pria itu namun hal itu tetap tak bisa membuat Kavi melupakan Kieve begitu saja.

Pria yang sudah ia cintai selama bertahun-tahun itu tak pernah meninggalkan kenagan buruk meski dalam keadaan terburuk, melupakan seseorang yang memperlakukanmu dengan baik nyatanya lebih sulit dilakukan karena semakin Kavi berusaha melupakannya maka semakin ia membenci dirinya sendiri.

"Argh..." rintih Kavi tanpa disadari ketika merasa keram yang kembali mulai menyelimuti perutnya. Akhir-akhir ini ia sering mengalami keram yang terkadang cukup menyakitkan.

"Perutmu masih sakit?" Anslee yang tertidur dengan posisi duduk di sebelah Kavi pun sontak terbangun dengan siaga, tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya.

"Sedikit," ujar Kavi berbanding terbalik dengan kepalan tangannya yang meremas perutnya sendiri cukup kuat.

"Aku akan menyiapkan kompres."

Tak berselang lama Anslee kembali dengan kompres yang selalu Kavi gunakan beberapa hari ini, pria itu membantu Kavi untuk mengompres perutnya sendiri.

"Hah... terima kasih." Rasa sakitnya perlahan menghilang tatkala kompres hangat itu menyentuh kulitnya ditambah Anslee yang mengusap-ngusap lembut perut Kavi.

"Mau obat pereda nyeri?" tawar pria itu yang langsung ditolak oleh Kavi, ia tak suka meminum obat-obatan.

"Tak perlu."

"Suhu tubuhmu sudah mulai turun," tangannya menyentuh dahi Kavi merasakan suhu tubuh istrinya yang mulai normal, sebelumnya Anslee sempat dibuat cemas lantaran demam tinggi yang dialami Kavi ditambah semalam adalah puncak terparahnya. "Namun wajahmu masih sangat pucat."

"Sebaiknya aku panggilkan dokter jika kau tidak ingin pergi ke rumah sakit," tawar Anslee entah sudah untuk keberapa kalinya namun usulan itu selalu ditolak mentah oleh Kavi.

"Tidak perlu."

"Aku tidak bisa terus-terusan melihatmu dalam keadaan seperti ini."

"Seperti apa? Apa aku sudah berubah menjadi jelek?" canda Kavi, wajahnya yang terlihat sedikit pucat menatap Anslee dengan sayu seperti menahan kantuk.

"Kau masih sama cantik hanya saja ku tidak suka melihatmu sakit seperti ini sedangkan aku tak bisa melakukan apa pun."

"Kau sudah merawatku dengan sangat baik, lihatlah demamku sudah mulai turun bukan?"

Mendengar itu sontak tangis Anslee pecah– Ya, Anslee menangis, entah apa penyebabnya namun Kavi terkejut ketika pria itu menangkupkan wajahnya dan mulai menangis. Awalnya Kavi berpikir jika Anslee sedang bercanda, mengejeknya dengan berpura-pura menangis namun seperkian detik kemudian ia sadar bahwa pria itu tidak sedang bercanda.

"Anslee? Mengapa kau menangis?"

"Aku tidak suka melihatmu sakit," rengek pria itu membuat Kavi tak bisa menahan tawanya sendiri, ini pertama kalinya ia melihat suaminya menangis.

"Kau seperti anak kecil, apa kau tidak malu menangis di depanku?" Mendengar itu tangis Anslee bukannya mereda, tangisnya justru semakin kencang. Entah menagapa Anslee menjadi lebih emosional, bukan hanya hari ini namun sejak Kavi jatuh sakit pria itu juga menjadi sangat emosional.

Pleasing Mr. AnsleeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang