08. Hanya Kita Bertiga

592 98 0
                                    

Roda-roda itu berhenti berputar saat sepeda motornya memasuki pekarangan rumah sederhana yang sudah ia tinggali selama bertahun-tahun. Dia melepas helm nya dan berjalan memasuki rumahnya.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Nertranya langsung tertuju pada dua remaja yang duduk di ruang tengah bersama. Namun satu kejanggalan didapat saat dia menatap adik perempuannya.

"Kak? Udah pulang, sini duduk bareng."

"Ayra? Itu dahi kamu kenapa, dek?" Mahendra berjalan tergesa-gesa menuju Ayra dan Juna yang sedang bersantai, dengan cepat menangkup pipi Ayra dan memeriksa luka pada keningnya.

"Kenapa sampek gini sih dek? Juna!"

"?!"

Juna yang sedari tadi sibuk memperhatikan mereka dikagetkan dengan suara Mahendra yang tiba-tiba meninggi. Menatapnya tajam seakan-akan menuntut penjelasan.

"I-itu.. anu.."

"Ini kenapa Ayra sampek luka gini?" Juna makin gelagapan saat mendengar suara dingin dari laki-laki yang jauh lebih tua darinya itu. Ingin sekali Ayra tertawa kencang saat melihat raut wajah Juna yang benar-benar panik, namun rasa kasihan juga tersirat di hati gadis itu.

"Udah, kak. Bukan salah Juna juga kok." Mahendra kembali menatap Ayra, masih dengan raut wajah khawatirnya.

"Tapi ini kenapa.. Kok bisa sampek luka gini?"

"Tadi Resya yang puku—"

"Kepentok meja, kak." Baru saja Juna membuka suara, perkataannya langsung saja dipotong oleh Ayra. "Kok bisa kepentok meja? Terus Resya apa hubungannya?"

Mahendra menatap Juna penuh tanya, namun pandangan Juna tertuju pada Ayra yang memelototi dirinya sembari menggeleng samar. Ah! Dia tau, pasti gadis ini tak ingin kakaknya mengetahui yang sebenarnya.

"Em.. Tadi Resya yang panggil Juna! Iya, dia panggil Juna juga cerita kalo jidat Ayra kepentok meja terus luka. Jadi langsung di bawa ke UKS."

"Tapi kamu gapapa kan?" Mereka menghembuskan napas lega saat Mahendra mempercayai perkataan Juna begitu saja, dia kembali memperhatikan luka di kening Ayra.

"Gapapa kak, ya Allah." Ayra mulai merasa bersalah saat melihat kekhawatiran benar-benar terlihat jelas di kedua netra Mahendra, dia terus saja mengusap kepala Ayra dengan lembut. "Lain kali hati-hati Ayra, jangan sampek luka gini. Kakak khawatir sama kamu.."

"Iya kak, Ayra gapapa. Namanya juga kecelakaan, kan?" Ayra tersenyum menatap kakaknya, seakan-akan mengatakan bahwa dia benar-benar baik-baik saja, hanya dengan itu mampu membuat Mahen merasa hangat dan langsung saja menarik Ayra kedalam pelukannya.

"Lain kali hati-hati lagi, jangan sampek luka."

"Iya kak, iya.."

"Kalian udah makan belom?" Mahen melepas pelukannya. Dia kemudian beralih menatap Ayra dan Juna bergantian, dan langsung disambut gelengan dari kedua sejoli itu. "Yaudah, gimana kalo kita masak nasi goreng aja? Ini kakak habis beli cemilan, nanti selesai makan kita nonton bareng. Gimana?"

Mata mereka berdua berbinar setelah mendengar hal itu. Dengan cepat mengangguk setuju dengan masing-masing senyum yang terlukis di bibir mereka.

"Yaudah, Ayra mandi dulu. Juna juga, nanti pinjem kaos kakak dulu."

"Oke!" Jawab mereka serempak kemudian berlari menuju kamar mandi secepat kilat. Mahen masih disana, entah apa yang sekarang sedang mondar-mandir di kepalanya. Dia merasa kepalanya sangat penuh, tapi dia bahkan tidak tau apa yang dia pikirkan.

Monokrom | Nishimura RikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang