03. Permintaan Maaf

789 131 2
                                    

Gadis itu keluar dari toilet mengenakan pakaian olahraga Juna. Dia berjalan dengan wajah sayu, merasa bersalah dengan sahabat laki-lakinya. "Udah?"

Ayra mengangguk pelan, Juna kemudian berjalan mendekat ke arahnya dan kemudian mengusap pucuk kepalanya.

"Masih sakit?" Ayra kini menggeleng, jambakan dari Resya memang sudah tak terasa lagi. Juna berjalan ke belakangnya, secara tiba-tiba lelaki itu mengeluarkan sisir dan menyisir rambut Ayra. Dia menyisirnya dengan telaten kemudian mengambil karet rambut dari saku bajunya.

"Juna, kenapa lo bawa karet rambut?"

"Pakek jaga-jaga aja, siapa tau nanti lo lupa bawa karet." Dia kemudian menguncir kuda gadis di depannya itu. Merapikan poni nya dan akhirnya selesai, Ayra tampak lebih segar seperti ini.

Juna memang sudah biasa menguncir rambut gadis itu dan bagi Ayra juga itu hal yang biasa. Berteman dari kecil membuat mereka mengenal jauh satu sama lain. Baik Juna ataupun Ayra, mereka mengenal satu sama lain lebih dari diri mereka sendiri. Seperti Juna yang lebih tau tentang Ayra daripada Ayra sendiri. Dia selalu ingat sifat pelupa yang sahabatnya miliki itu.

"Udah." Ayra tak perlu menatap cermin lagi untuk memastikan. Rambut yang di kuncir Juna tak perlu diragukan lagi.

"Lo udah makan?" Ayra hanya menggeleng pelan lagi. Dia masih bisa mendengar dinginnya suara Juna saat itu. Dia ingin Juna yang tadi pagi kembali lagi, Juna yang selalu menyapanya dengan senyum dan kekehan.

"Yaudah ayo makan-"

"Mana cola gue?" Mereka berdua dengan cepat menoleh ke asal suara. Disana berdiri Riki dengan tatapan yang lebih dingin lagi, dengan suara deep khas dirinya, membuat kesan lebih mencekam disana.

"Kan gue suruh beliin, malah disini. Lo udah berani ngingkarin ucapan lo, ya?" Ayra jadi gelagapan sendiri. Cola untuk lelaki itu masih dia ingat, dia meletakkannya di lantai sebelum adu cekcok dengan Resya. Huh, kalau saja dia tak menghiraukan gadis itu tadi, pasti Juna tak akan marah padanya dan Riki tak akan datang padanya dengan tuntutan seperti ini.

Riki berjalan kearah gadis itu. Namun dengan cepat Juna menarik Ayra dan menyembunyikannya dibalik punggung lebarnya.

"Lo minggir. Gue ngga ada urusan sama lo."

"Urusan Ayra urusan gue juga, mau apa lo?"

"Ck! Jangan jadi pahlawan kesiangan, dia salah dan setiap kesalahan pasti ada konsekuensinya!" Riki mulai terpancing emosi, dia berusaha menggapai Ayra yang berada di belakang Juna namun dengan cepat laki-laki itu menepis tangannya.

"Pergi ngga lo!"

"Gue masih ada perlu sama cewek itu!"

Dengan kasar dia ingin menarik Ayra di belakangnya, namun dengan cepat Juna mendorong tubuh bongsor laki-laki itu hingga mundur beberapa langkah.

"PERGI SEBELUM GUE PATAHIN TANGAN LO!"

Riki berdecak lagi. Juna tak pernah berbohong dengan ucapannya, jika dia bilang akan mematahkan tangannya itu bisa saja benar-benar terjadi. Jangan ragukan Juna, seorang pemegang sabuk hitam taekwondo di sekolahnya, dia tak mau berakhir di rumah sakit dan memberatkan kakak laki-lakinya.

Riki mengalihkan pandangannya dari Juna, kemudian menatap gadis di belakangnya itu.

"Awas aja lo." Dia menatap tajam gadis di belakangnya, membuat Ayra hanya bisa menutup matanya dan memegang lengan Juna. Tak lama akhirnya Riki pergi dari sana, tapi Ayra yakin, nanti Riki pasti akan kembali lagi. Jika bukan nanti, mungkin besok, lusa, atau hari-hari berikutnya.

*****

"Nih, makan." Juna menyerahkan totebag yang dia bawa tadi pagi. Mereka tadi sengaja skip pelajaran pertama. Ayra jadi tidak enak dengan Juna.

Monokrom | Nishimura RikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang