Prolog 1; Narendra Riki Aditya

3.7K 275 5
                                    

"Sampek kapan lo bakalan gini Rik? Gue capek tau ngga ngurus lo. Apa ngga bisa sekali aja, sekali aja Rik jangan nyusahin gue. Gue udah capek kerja, ngurus lo juga. Setidaknya kalok dikasih tau itu nurut. Jangan egois dan ngikutin kemauan lo sendiri."

Remaja itu tak berani mengangkat kepalanya. Hanya bisa tertunduk mendengar ocehan kakak laki-lakinya yang sekarang sedang sibuk dengan sebotol alkohol dan tisu di tangannya.

"Masa setiap malem pulang bawa muka bonyok? Emang apa untungnya? Mau jadi jagoan gitu?"

"Mereka duluan bang! Jangan salahin Riki aja, mereka yang dulu- shh, bang! Pelan-pelan." Ucapan lelaki itu terpotong saat dia merasa kakaknya menekan luka pada sudut bibirnya.

"Bisa ngga kalo dibilangin jangan nyaut. Dinasehati malah nyolot!" Sentak kakak laki-lakinya. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya lagi dan lagi.

"Maaf." Cicitnya.

Hanya terdengar helaan napas berat dari lelaki itu. Dia menaruh alkohol itu pada tempatnya beserta tisunya. Menutup kotak P3K itu dan menatap kecewa pada adiknya.

"Rik, dengerin gue kali ini aja. Tinggalin mereka, tinggalin dunia malam lo dan balap liar lo itu. Tolong, gue udah capek sama lo Rik."

Riki. Lelaki itu tak berkutik, masih memainkan ujung jaketnya dengan kepala tertunduk. Tak berani menatap wajah sang kakak saat ini. "Apa manfaatnya Rik? Dunia malam lo itu cuma bawa pengaruh buruk buat lo. Apa lo sadar sama itu?"

"Tapi bang.." Riki mengangkat kepalanya. Menatap sang kakak yang sekarang juga sedang menatapnya.

"Cuma itu hiburan buat gue. Cuma dengan itu gue bisa melepas semua emosi gue. Dan dunia itu adalah tempat healing terbaik gue-"

"Healing? Iya healing buat lo, tapi ngga buat gue." Kakaknya kembali memotong ucapannya. Riki merasa semua yang diucapkannya sekarang salah dimata kakaknya. Mungkin kakaknya tau apa yang terbaik untuknya, tapi ada saat dimana dia tidak mengerti apa-apa tentang Riki.

"Lo ngga tau seberapa khawatirnya gue Rik. Tolong lo jangan egois, gue ngga punya siapa-siapa lagi selain lo-"

"Gimana sama mama?" Sekarang dia memutar balikkan keadaan. Dia yang kini memotong ucapan sang kakak.

"Terus papa? Ngga bang, lo salah."

Riki berdiri dari duduknya, disusul juga dengan sang kakak yang kini menatapnya dengan tatapan bingung. "Mungkin lo satu-satunya buat gue, tapi gue bukan satu-satunya orang yang ada buat lo."

"Lo masih jadi anak kesayangan mereka bang."

"Rik. Jangan ungkit-ungkit hal itu lagi."

"Tapi itu kenyataannya? Kan?"

Riki benar-benar tau topik yang pas. Dia tau dimana titik kelemahan kakaknya. Itu sederhana, hanyalah tentang dia dan kedua orangtuanya.

"Lo bilang lo capek bang? Apa lo ngga tau seberapa capeknya gue juga? Gue rasa disini gue yang paling capek."

"Lo ngga tau rasanya dibeda-bedain sama saudara sendiri. Abang gue sendiri. Lo itu sempurna dimata mereka bang, lo itu selalu benar."

"Rik jangan gitu-"

"Apa lo ngga sadar?" Riki benar-benar tidak memberikan celah untuknya berbicara. Memojokkan kakaknya dengan topik yang sama itu andalannya. Dia tak ingin selalu dibatasi, karena kakaknya yang merasa tau segalanya tentang dirinya itu tidaklah benar.

"Lo itu sempurna dimata mereka. Apa yang lo lakuin itu selalu benar dimata mereka. Tapi lo ngga tau rasanya diposisi gue bang. Saat gue udah ngelakuin hal yang bener gue salah, dan saat gue ngelakuin kesalahan gue semakin disalahkan."

Sekarang lelaki itu tau dimana titik kesalahannya adalah, mengeluh kepada Riki yang sebenarnya memiliki posisi yang lebih buruk darinya. Dia mengangkat lengannya, hendak menepuk singkat bahu adiknya. Tetapi lengannya lebih dahulu ditepis oleh adiknya.

"Rik, dengerin gue-"

"Ngga perlu bang. Gue udah terlalu banyak mendengarkan dan sekarang gue yang ingin didengar."

Riki menatap lekat manik kakaknya yang sekarang juga menatapnya dengan rasa bersalah yang besar. "Jangan halangi gue buat mencari kebahagiaan gue sendiri, kalo lo ngga tau yang terbaik buat gue bang."

Riki meninggalkan kemar kakaknya begitu saja dengan emosi yang tentu saja sudah meluap-luap. Menutup pintu dengan sedikit dobrakan. Dia pergi, meninggalkan kakak laki-lakinya yang kini menatap dirinya dengan rasa bersalah.

Gue memang ngga pernah tau tentang lo. Tapi tolong ngerti, gue cuma ngga ingin lo ngelukain diri lo sendiri cuma karena ingin melepas emosi.

*****

"Walaupun hidupku tanpa warna, namun kehadiranmu membuatnya menjadi lebih sempurna."

Monokrom.
©Indaheart, 2022.

Monokrom | Nishimura RikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang