22. Kebodohan yang Sudah Terjadi

572 108 4
                                    

Mahendra tak mengingat kapan terakhir kali Jinan menelpon dirinya, mungkin itu beberapa Minggu yang lalu? Seingatnya laki-laki itu menelpon dirinya hanya untuk mengatakan bahwa mantan pacarnya di SMA dulu baru saja menikah. Ya tak masalah sebenarnya, tapi Jinan mengabarinya tepat di tengah malam hanya untuk membuat Mahendra naik pitam. Malam itu Jinan benar-benar membuatnya menggeram.

Namun beberapa saat lalu laki-laki itu kembali menelponnya tepat pada pukul satu dini hari, Mahendra pikir dia hanya akan mengatakan hal bodoh yang ujung-ujungnya membuat dirinya kesal. Padahal Mahendra sudah berniat tak mengangkatnya, namun laki-laki itu terus-terusan menelponnya membuat dirinya terpaksa menjawab panggilannya. Dengan suara berat yang gemetaran, Jinan menceritakan keadaan Riki yang benar-benar memprihatinkan.

Dan itu adalah awal bagaimana dia bisa sampai kesini bersama Ayra yang sudah menangis sedari tadi di pelukannya. Walaupun tak mengeluarkan isakan, dia tau betul Ayra tengah menangis.

"Gue ga tau kenapa dia bisa berpikir kek gini, Hen. Gue ga pernah berpikir kalo Riki bisa buat begini." Jinan berbicara dengan suara beratnya. Mahendra bisa lihat kekacauan di kedua mata seseorang yang sudah bisa dia sebut temannya itu. Sedangkan di kursi lainnya, ada Sastra yang sedari tadi memeluk Shinta yang kini menatap lurus kedepan dengan tatapan sayu. Terlihat sangat hancur.

"Kalo kita semua ketiduran tadi, gue rasa besok pagi gue udah ga punya adik lagi--"

"Hus! Ga boleh ngomong gitu! Sekarang kita doa yang terbaik buat Riki, Ji. Lo jangan pesimis gini, pasti ada jalannya nanti." Jinan membiarkan punggungnya yang lelah bersentuhan dengan dinginnya kursi tunggu. Menatap lurus tepat kearah ruangan yang belum terbuka sejak satu jam yang lalu membuat hatinya tambah merasa takut.

"Apa Riki masih disini? Dia ga ninggalin gue, kan?"

Lagi-lagi Jinan bertanya dengan suara seraknya. Hanya suara seperti itu yang membuat pertahanan Mahendra runtuh seketika. Bagaimanapun dia juga memiliki seorang adik yang baginya adalah segala-galanya. Laki-laki itu mengeratkan pelukannya pada Ayra, mengecup kening gadis itu dengan air mata yang perlahan-lahan meleleh.

Mahendra merasakan apa yang dirasakan Jinan saat ini. Adik bagi seorang kakak adalah teman terbaik. Tentu saja baik Jinan maupun Mahendra tak mau kehilangan mereka.

"Kak, sekarang kita ga bisa ngapa-ngapain. Untuk menyesal aja sudah terlambat rasanya." Ayra angkat suara setelah lama menangis dalam diam di dekapan Mahendra. Menghapus jejak air mata yang tersisa, dan kemudian membawa kedua iris yang tampak sayu itu untuk menatap pintu ruangan di depannya.

"Jadi Riki itu ga gampang. Aku ga tau seberapa besar luka yang pernah dia terima. Dia kesepian, dia sendirian, dan bahkan seorang Riki menurut aku adalah deskripsi luka yang sebenernya." Ungkapan itu hanya membuat Jinan semakin merasa sesak. Ungkapan dari Ayra seakan-akan membawa dirinya untuk melihat kebelakang, saat-saat dimana dulu dia hanya menjadi seorang 'pajangan'. Dirinya yang hadir dalam hidup Riki seolah-olah patung yang hanya bisa diam kala adiknya menerima semua ketidakadilan.

"Dengan keluarga pasien?"

Jinan yang menundukkan kepala lantas saja menoleh kearah sumber suara. Ternyata sang dokter sudah keluar dari ruangan Riki, menanyakan status mereka sebagai keluarganya.

"Iya, dokter. Kami orangtuanya." Jika saja Riki berada disini pasti dia hanya akan berdecak malas mendengar apa yang baru saja Sastra tuturkan. Memang mereka orangtua Riki, setidaknya ada bukti pada kartu keluarga bahwa Riki masih menjadi anggota keluarga mereka-- yang tidak dianggap sebenarnya.

"Dok gimana keadaan anak saya?" Lantas Shinta bertanya dengan nada cemas, benar-benar mengharap jawaban yang sesuai harapan.

"Pasien dalam keadaan kurang baik. Dia mengalami benturan yang cukup kuat di kepalanya, juga darah yang banyak terbuang membuat pasien kekurangan darah. Kami harus segera mengambil tindakan donor darah untuk pasien." Dokter tersebut berucap panjang lebar, namun mendengar bahwa Riki hanya kekurangan darah membuat Jinan merasa sedikit lega di hatinya. Setidaknya kini dia bisa menghirup udara sebagaimana mestinya, tidak tercekat seperti barusan.

Monokrom | Nishimura RikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang