04. Kita Berbeda

739 122 1
                                    

Tak terlihat satupun bintang dimalam ini, entah dimana mereka semua bersembunyi. Bahkan bulan pun tak menampakkan wujudnya dimalam ini. Namun semua itu tak mempengaruhi semangat anak-anak yang sedang berada di area lintasan, bersiap dengan motor masing-masing yang berknalpot amat memekakkan.

"Rik! Semangat!" Terdengar seruan seseorang dari arah kanan, dan disitu berdiri Jaya, Jaka, dan Satria.

Riki. Laki-laki itu hanya menoleh dan mengangguk menanggapi seruan tersebut. Kembali memfokuskan pandangannya pada lintasan di depannya.

Bendera itu dinaikkan. Seseorang yang membawanya berjalan menepi, sebelum akhirnya bendera itu kembali dikibarkan. Dan akhirnya suara deru motor itu terdengar seolah bersahut-sahutan, bersamaan dengan tangan seseorang yang secara tiba-tiba memegang bahu Riki.

Riki yang kaget secara refleks menoleh ke belakang, dan ternyata seseorang datang disaat yang tidak tepat.

"Pulang."

Hanya itu kata yang mampu membuat Riki memutar balik motornya begitu saja menuju kearah rumah. Motor itu melaju membelah jalanan dengan kecepatan diatas rata-rata. Knalpot dari motor itu bisa terdengar jelas di jalanan yang sepi, karena memang sudah larut malam– ralat, subuh.

Kenapa dia dateng disaat begini sih? Habis gue, besok pasti diolok-olok sama tu anak.

Dia bergulat dengan pikirannya sendiri, wajah datar sang kakak laki-laki yang menghampirinya tadi masih tergambar jelas. Walaupun kini motor itu perlahan memasuki pekarangan rumahnya, namun jiwanya seakan-akan kasih tertinggal disana.

Riki kemudian turun dari motornya. Berjalan masuk kearah rumah yang memang sudah terlihat sangat sepi. Hal itu wajar,  siapa juga yang mau beraktivitas saat jam tiga pagi?

Kini dia melangkah masuk ke rumahnya, namun langkahnya berhenti saat melihat kedua orangtuanya duduk di sofa sembari menatapnya tajam.

"Bagus. Jam segini baru pulang, masih inget rumah kamu?" Itu adalah suara pertama yang dia dengar dari ibunya saat itu. Sekarang tak ada yang bisa dia lakukan, hanya bisa diam dan menerima konsekuensi yang akan dia hadapi.

"Sekalian aja jangan pulang-pulang. Remaja macam apa kamu? Bawa nama buruk keluarga aja." Tambah ayahnya, bersamaan dengan langkah kaki lain yang mulai memasuki rumah.

"Liat tuh kakak kamu! Dia ngga tidur sampek subuh gini cuma gara-gara kamu! Dia pergi subuh-subuh gini cuma buat nyari kamu. Lah kamu bisanya bikin orang repot aja."

Jinan, laki-laki yang baru saja masuk ke dalam rumah itu merasakan atmosfer yang berbeda, dia merasa sebentar lagi akan ada kehancuran disini. "Kamu contoh kakak kamu. Apa dia pernah kek gini? Dia itu pulang paling malem jam sembilan, lah kamu adiknya malah–"

"Mah, udah." Jinan memotong ucapan ibunya. Tapi wanita paruh baya itu tak menghiraukan pandangannya.

"Liat? Sekarang dia belain kamu. Dia baik, juga disiplin, lah kamu?" Tak henti-hentinya wanita itu membeda-bedakan Riki dengan Jinan. Ayahnya disana hanya menatapnya tajam, sedangkan Jinan hanya bisa terdiam.

"Kayaknya takdir keliru buat ngasih dia adik dulu–"

"Riki juga ngga pernah berharap, mah." Kata itu berhasil membuat wanita itu seketika bungkam. Remaja itu mengangkat kepalanya, menatap ibunya yang berdiri dengan tatapan tajam kepadanya. Tak lupa juga tatapan dari sang ayah untuknya.

"Kalo aja Riki bisa milih mau lahir di keluarga yang mana, Riki ngga bakalan mau lahir di sini–"

"RIKI!"

Suara ayahnya menggelegar seantero rumah. Bahkan pria itu sudah berdiri dari duduknya. "Jangan kurang ajar kamu!"

"Riki kurang ajar karena Riki emang ngga pernah diajari." Anak itu berhasil menyulut emosi ayahnya saat itu. Terlihat dari tatapan matanya yang penuh amarah pada Riki. Namun Jinan sekarang sudah merasa was-was. Dia takut hal yang tak diinginkannya terjadi, lagi.

"Itu karena kamu emang ngga pernah nurut! Kamu beda sama kakak kamu Riki–"

"Ya emang beda. Riki ya Riki, bang Jinan ya bang Jinan. Kita beda mah! Mama ngga bisa maksa Riki buat jadi Abang!"

"Tapi kamu bisa contoh kakakmu!" Teriakan-teriakan itu bersahut-sahutan disana. Bahkan para tetangga sudah tak perduli lagi, karena memang mereka sudah terlalu sering mendengar semua itu. Bahkan disaat jam segini.

"Mama cuma ngasih pendapat kamu buat contoh Jinan! Dia lebih baik daripada kamu."

"Mama ngga berpendapat, tapi mama memerintah. Mama selalu banding-bandingin Riki sama Abang. Coba mama di posisi Riki, apa mama suka? Ngga ma! Kita itu beda, berapa kali Riki harus bilang kalo Riki beda sama Abang!"

"Riki udah–"

"LO DIEM AJA! Jangan ikut campur!"

"RIKI! DIA KAKAK KAMU! DIMANA SOPAN SANTUN MU SAMA KAKAKMU?!" Ayahnya kembali angkat bicara. Selesai sudah. Kini laki-laki itu berjalan dan secara tiba-tiba mendaratkan pukulannya pada rahang Riki membuat Jinan membelalakkan matanya.

"Papa udah!"

"Jinan, kamu diem aja! Dia udah kurang ajar." Ucap ibunya, memegangi Jinan yang berusaha berlari kesana untuk menghentikan sang ayah yang masih membabi buta.

Dia memukul, menendang, bahkan menghempaskan tubuh Riki ke lantai berkali-kali hingga Jinan bisa lihat adiknya yang mulai melemah. Tenaga ayahnya tidak setara dengan Riki yang masih dalam masa pertumbuhan. Bahkan kini dia hanya bisa diam saat ayahnya menyeret Riki menuju kamar mandi.

"PAPA UDAH!"

"DIAM KAMU JINAN!"

Tubuh adiknya dihempaskan begitu saja kedalam kamar mandi. Tak sampai disitu, laki-laki itu kembali memukuli Riki sampai anak itu benar-benar terlihat payah. Dengan amarah kemudian dia mengunci pintu kamar mandi dan meninggalkan Riki disana dalam keadaan babak belur.

"PAPA KELUARIN RIKI!"

Jinan berhasil lepas dari cekalan ibunya. Kemudian berlari menuju kamar mandi untuk melihat kondisi Riki. Tapi lebih dahulu sang ayah datang dan giliran dia yang diseret sampai ke kamar dan dengan brutal Jinan berusaha memberontak tapi sayang, tubuh ringkihnya tak bisa melawan cekalan kuat sang ayah.

Bagaimana bisa dia melawan ayahnya yang sudah jelas-jelas langganan GYM setiap Minggu?

"Papa lepasin! Riki kesakitan, Pa!"

"Kamu diam disini! Apa mau papa buat kek Riki juga kamu, hah?!"

Brak!

Pintu ditutup keras kemudian dikunci dari arah luar. Membuat Jinan kini terkurung didalam sana.

TOK! TOK! TOK!

"PAPA BUKA!"

Sekuat apapun dia berusaha untuk mendobrak pintu tak akan pernah bisa. Pintu itu terbuat dari kayu jati yang amat kuat. Nanti jika dia mendobrak pintunya, bukannya terbuka malah tulang-tulangnya yang patah. Yang dia bisa lakukan hanyalah terduduk di lantai. Memikirkan kondisi adiknya saat ini. Apakah Riki baik-baik saja? Dia pasti kesakitan sekarang.

Namun sebesit ide muncul begitu saja saat dia melihat sesuatu di hadapannya. Dengan cepat dia menjalankan rencananya untuk menyelamatkan Riki sekarang. Berjalan kearah jendela dan kemudian turun menggunakan tangga.

Tenang aja, gue bakalan nolong lo.

*****

Boleh minta vote nya dulu? Kalo sudah terimakasih banyak dan sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Monokrom | Nishimura RikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang