Malam ini langit Kota Jakarta terlihat cerah dengan banyaknya bintang berhamburan mengelilingi satu bulan berbentuk bulat penuh. Malam yang sempurna untuk merayakan promnight yang sedang diadakan di sekolahku untuk merayakan kelulusan para siswa yang sebentar lagi akan menjadi alumni. Hari ini, tugasku sebagai panitia acara adalah menghias sekolah ini menjadi secantik mungkin agar para calon alumni tidak akan mampu melupakan indah dan meriahnya acara ini.
"Liana!" panggil seorang siswi, berjalan menghampiriku yang sedang memasang lampu hias di pohon. Namanya Casey, sahabatku yang merupakan panitia juga.
"Udah mau maghrib, nih. Buruan mandi, makan, terus sholat. Jam tujuh kita ngumpul di audit, mau ada rapat bentar," ia menarik-narik rokku agar aku mau turun dari atas kursi.
"Duh, nanggung, Sey. Bentar lagi mau selesai," ucapku sembari berusaha menyingkirkan tangan Casey dari rokku.
"Perasaan udah dua jam lo pasang itu lampu kenapa nggak beres-beres dah?"
"Ya gimana mau cepet beres? Salahin aja nih semut-semut merah gigitin tangan gue mulu,"
"Cari pohon lain, bego!"
Menghela napas berat, aku tetap fokus melilitkan lampu hias itu ke pohon itu. "Tanggung, Sey, bentar lagi beres,"
"Ya kalau—"
Ucapan Casey terhenti ketika terdengar suara dering dari ponsel yang ia genggam di tangan kirinya. Mengangkat panggilan itu sambil berjalan sedikit menjauh dariku, membuat alis mataku bertaut bingung. Apa-apaan itu? Emang siapa yang menelpon? Kenapa dia harus menjauh dariku? Orang sepenting apa di dalam ponsel itu sampai aku tak boleh mendengar percakapan mereka?
"Iya, halo,"
Wajau jarak kita lumayan jauh, tapi suara Casey masih terdengar di telingaku.
"Iya nih lagi sama gue. Kenapa?"
Casey terdiam beberapa saat, mendengarkan ucapan lawan bicaranya di dalam telpon itu yang cukup panjang. Detik berikutnya Casey mengangguk mengerti, lalu memutus panggilan itu.
"Li,"
Aku terkesiap ketika mendengar dia memanggil namaku. Aku mulai gugup. Jelas-jelas mereka tadi membicarakan aku, kan? Berbagai pikiran negatif pun muncul di otakku, seperti apakah aku telah melakukan kesalahan? Atau apa karena kerjaanku yang sejak tadi tak kunjung selesai?
"Li, lo ditunggu someone di ruang OSIS. Buruan kesana gih! Lampu itu biar gue yang beresin," jelas Casey, menarik paksa tanganku agar turun dari kursi.
"Sekarang banget? Emang siapa sih?"
"Udah sih tinggal kesana doang,"
Sambil meniup poni, malas, aku beranjak meninggalkan Casey. Kulirik jam tangan yang melingkar di tangan kananku. Jam itu menunjukkan pukul 17.45 WIB. Satu jam lagi acara akan dimulai, sedangkan masih banyak tugasku yang belum terselesaikan. Ditambah sekarang aku harus menemui seseorang yang entah kukenal atau tidak.
Ruang OSIS berada di gedung belakang, sedikit jauh dari gedung pendidikan. Itulah mengapa aku jarang ke ruangan itu walaupun kata anggota OSIS lain ruang itu sangat nyaman untuk tidur di saat jam istirahat atau jam kosong. Hampir 3 bulan aku sekolah disini, ini adalah kali pertama aku ke ruangan itu untuk menemui orang yang jujur saja membuatku kepo setengah mati.
Setelah menaiki satu persatu anak tangga, kini aku telah sampai di lantai 3, dimana di ujung sana terlihat pintu ruang OSIS terbuka lebar. Hening. Aku tak melihat ada kehidupan di gedung itu selain burung gagak yang hinggap di pohon mangga yang terus mengawasi setiap pergerakanku. Itu membuatku mulai takut dan was-was. Apa mungkin Casey mengerjaiku? Jika iya, awas saja!
Saat hendak menghampiri ruangan itu, kakiku spontan berhenti melangkah ketika terdengar suara berisik seperti meja dan kursi yang saling bertubrukan berasal dari ruangan itu.
BRUK!
Mataku melebar sempurna ketika melihat dua orang cowok tiba-tiba keluar dari ruang OSIS. Aku tak mengenal mereka. Wajah mereka tertutup masker hitam. Tapi yang jelas mereka mengenakan seragam yang sama sepertiku, dengan satu cowok mengenakan jaket warna hitam, dan cowok satunya memakai jaket warna navy. Perkelahian itu masih terus berlanjut. Kini cowok berjaket hitam itu menyeruduk cowok depannya sampai terpojok di pagar pembatas, lalu mencekik leher cowok itu dengan kuat.
Aku terdiam membatu melihat aksi itu. Ingin menolong pria berjaket navy? Tentu saja tidak. Aku tak memiliki nyali sebesar itu untuk ikut campur dengan perkelahian pria. Aku hanya ingin segera kabur dari sana, tapi kaki ini seperti tidak mau diajak bekerja sama. Tanpa sadar kugigit bibir bawahku ketika melihat cowok berjaket navy itu berusaha melepaskan tangan yang mencekik lehernya, namun tenaganya tak cukup kuat. Badannya mulai lemas.
Mataku melebar ketika melihat cowok berjaket hitam itu mengambil pisau dari saku jaketnya, lalu menusuk dada cowok berjaket navy menggunakan pisau itu.
Darah segar muncrat mengenai tangan dan wajah cowok berjaket hitam. Dengan senyum iblisnya, cowok berjaket hitam itu menoleh padaku sejenak, lalu mendorong cowok didepannya itu hingga terjatuh ke lantai dasar.
Keringat dingin bercucuran dipelipisku ketika cowok berjaket hitam itu berjalan menghampiriku. Deru napasku kian memburu ketika cowok itu menghentikan langkahnya tepat disamping kiriku dan berbisik pelan.
"Udah gue peringatin dia sebelumnya. Dia nggak seharusnya disini. Dan waktu itu lo seharusnya nggak perlu nolongin dia," ucapnya dengan nada rendah.
Tanganku meremas rokku kuat-kuat ketika mendengar suara cowok itu yang entah mengapa terdengar menakutkan. Tapi tunggu, apa maksudnya tadi? Nolongin dia? Memangnya kapan? Aku bahkan tak tau siapa cowok berjaket navy itu. Ini orang ngigo apa gimana?
"Kalau aja waktu itu lo ninggalin dia, gue jamin semuanya nggak bakal berakhir kaya gini. Gue nyaman, dia aman, dan lo bisa hidup dengan tenang," ucapnya sangat lirih, hampir seperti bisikan.
"Lo—"
"Sshttt," cowok itu memotong ucapanku dengan satu jari telunjuknya yang ia tempelkan pada bibirku, hingga bau anyir darah segar yang menempel pada tangannya menyeruak menusuk indra penciumanku, membuatku spontan menahan napas. Aku benci bau darah. Itu membuatku pusing dan mual.
Tak sampai situ, napasku tercekat ketika cowok itu tiba-tiba mendekat padaku dan memakaikan sebuah kalung berlumuran darah dileherku. Sempat kulihat kalung itu memiliki liontin berbentuk batu berwarna biru laut yang menyala dikegelapan. Sangat indah.
"Ini punya cowok tadi. Karena hari ini mood gue lagi bagus, lo bisa ambil itu. Dengan begitu lo bisa inget dia kapanpun dan dimanapun lo berada," ucapnya lembut, namun mencekam. "Dan lo bisa terus mengingat apa alasan dibalik kematian dia. Itu...elo,"
Cowok itu tertawa pelan, mengeluarkan sebuah kertas dari saku celananya, lalu memberikannya padaku, sebelum akhirnya dia beranjak meninggalkanku. Dengan tangan gemetar, aku membuka kertas itu dan membacanya isinya.
Ada satu cewek. Dia punya niat mulia. Dia pengen bantu seekor ulat yang terjebak di dalam kepompong bisa bebas dan terbang jadi kupu-kupu. Sayangnya, ada satu fakta yang cewek itu lupain.
Fakta bahwa membantu seekor ulat dalam proses metamorfosisnya akan menghambat tumbuh kembang dan bisa membahayakan keselamatan ulat itu.
Aku terdiam beberapa saat, meresapi tiap kata yang terangkai dalam surat itu. Sebelah tanganku terangkat menyentuh liontin kalung yang kupakai. Aku bahkan tak menyadari saat air mata menetes begitu saja dari pelupuk mataku.
Apa semua ini terjadi karenaku?
.
KAMU SEDANG MEMBACA
BECOME A BUTTERFLY
Teen FictionIni kisah tentang Liana Pahlevi, gadis berusia 17 tahun yang berusaha membantu seorang pria keluar dari masa-masa sulitnya. Mengulurkan tangan dan tersenyum tulus, Liana ingin pria itu terbebas dari trauma masa lalu yang selama ini membelenggunya da...