Author POV
TRIIIIINGGG~
Mata Liana terbuka lebar ketika suara jam wekernya berdering nyaring memekakkan telinganya. Untuk beberapa saat, ia hanya terdiam. Dengan nyawa masih setengah sadar, ia mengamati sekelilingnya. Ia menghela napas lega ketika menyadari bahwa kini ia berada di kamarnya.
"Astaga, mimpi macam apa itu tadi?"
Menyadari setetes air mata membasahi pipinya, dengan cepat Liana menghapusnya. Tadi itu hanya mimpi, namun entah mengapa perasaan sedih, marah, dan kehilangan itu masih Liana rasakan sampai sekarang. Dan itu membuatnya kesal. Belum lagi suara jam weker yang tak kunjung berhenti itu.
"Aish, shibal," umpat Liana. "Diem lo!" Seru Liana dengan suara serak khas orang baru bangun dan jari telunjuk yang menunjuk jam weker di atas nakas.
Satu tangannya berusaha meraih tombol kecil di atas jam itu agar berhenti berbunyi. Dan berhasil. Kamar itu kembali senyap dalam sekejap. Dengan senyum bangga Liana memejamkan mata lagi. Namun itu hanya bertahan 5 menit. Kening Liana mengernyit ketika mendengar jam itu kembali berbunyi.
Liana berusaha mengabaikan bunyi itu. Tapi tak bisa. Itu terlalu berisik baginya. Badan Liana mulai bergerak tak nyaman. Kakinya menendang ke segala arah karena tak bisa mengabaikan suara jam itu. Tak tahan lagi, Liana menyaut jam itu dan mencekeknya. Di mata Liana jam itu adalah sosok cowok berjaket hitam yang muncul di mimpinya.
"Mati lo!"
Saat hendak membanting jam itu ke lantai, seseorang tiba-tiba merebut benda itu dan menjauhkannya dari jangkauan Liana.
"Dua ratus tujuh puluh lima ribu gue beli ini jam weker, dan sekarang mau lo banting gitu aja?" tanya Evelyn, salah satu sahabat Liana yang semalam menginap di rumahnya.
"Berisik, Ev. Lain kali beliin gue donat aja ya daripada jam jahanam kek gitu,"
Liana Pahlevi. Itulah namanya. Seorang gadis berusia 17 tahun yang tumbuh ditengah keluarga yang bisa dibilang bekecukupan. Tidak ada yang spesial dari gadis itu. Ia hanya seorang gadis biasa yang berstatus sebagai siswi di salah satu sekolah swasta di Jakarta. Ia memiliki postur tubuh tak terlalu tinggi, bahkan tergolong pendek, yaitu 150 cm. Iris matanya berwarna coklat terang dengan bulu mata lentik. Rambutnya panjang berwarna coklat gelap.
Melihat Liana yang kembali memejamkan mata, Evelyn langsung menyibak selimut yang dikenakan Liana, menarik tangan gadis itu dan memaksanya berdiri. "Mandi, bego! Udah mau jam 6 ini. Gue gak mau telat dateng ke sekolah di hari special gue cuma gara-gara lo ya!"
Liana menggeram kesal ketika Evelyn mendorong punggungnya pelan hingga ia masuk ke kamar mandi. "Hari special lo, kenapa gue juga yang repot sih,"
"Gue tunggu di bawah sama yang lain,"
Sosok 'yang lain' yang dimaksud Evelyn adalah kedua sahabat Liana yang juga menginap di rumah itu. Namanya Yasya dan Casey. Mereka bertiga memang sudah biasa menginap di rumah Liana, sekedar menemani gadis itu agar tak merasa kesepian karena ditinggal kedua orangtuanya bekerja di luar negeri.
Sebenarnya, Liana sama sekali tak keberatan tinggal di rumah itu sendirian. Mengingat sejak kecil ia sering ditinggal bepergian oleh kedua orang tuanya, entah itu ke luar kota atau ke luar negeri, ditinggal mulai dari tiga hari sampai bertahun-tahun, Liana sudah mengalami itu semua selama 17 tahun. Ia sudah sangat terbiasa hidup sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
BECOME A BUTTERFLY
Teen FictionIni kisah tentang Liana Pahlevi, gadis berusia 17 tahun yang berusaha membantu seorang pria keluar dari masa-masa sulitnya. Mengulurkan tangan dan tersenyum tulus, Liana ingin pria itu terbebas dari trauma masa lalu yang selama ini membelenggunya da...