Liana berdiri di depan rumah yang dikelilingi dinding dan gerbang berwarna hitam yang menjulang tinggi di bagian depan. Untuk ukuran sebuah rumah di pedesaan, rumah itu tergolong sangat besar dibanding rumah warga lain. Bahkan dibandingkan dengan rumahnya di Jakarta, rumah ini jauh lebih besar dan luas. Minusnya dari rumah ini adalah terlalu tertutup. Saking tertutupnya, Liana bahkan tak bisa melihat apa saja yang ada di dalam gerbang itu.
Liana berdehem, lalu mengetuk gerbang besi itu. "Permisi, ada orang kah di dalam?"
5 menit berlalu, dan tak ada respon apapun.
Liana kembali mengetuk gerbang itu. "Pak, Bu, apa boleh saya numpang tidur semalem? Ini dingin banget di luar. Janji cuma numpang tidur aja kok. Nggak macem-macem," Liana mengacungkan jari kelingkingnya tinggi-tinggi dengan senyum lebar, berusaha meyakinkan.
"Tunggu, kalau yang punya rumah ini masih bujang sepantaran gue gimana? Itu terlalu sopan," Batin Liana.
"Woy, gue tau lo ada di dalem. Sini tunjukin muka lo!" Seru Liana dengan wajah songong. Sedetik kemudian ia menghela napas berat. "Enggak, maksud gue, ini ada cewek yang lagi kedinginan diluar sendirian di pagi buta gini. Masa lo diemin aja sih? Tega banget,"
Benar-benar tak ada respon apapun dari dalam rumah itu. Hingga setengah jam berlalu begitu cepat. Liana masih disana. Berdiri di depan gerbang rumah itu dengan tangan menyilang di depan dada dan wajah kesalnya.
"Gini deh," Liana menjeda kalimatnya dan menatap CCTV di pojok atas gerbang itu, sengit. "Gue bayar. Berapa duit buat nginep semalem? Lima juta? Sepuluh juta? Sebut! Mampu gue bayar. Bokap gue tajir,"
Setengah jam berlalu. Dan lagi-lagi tak ada balasan apapun dari sang pemilik rumah. Dengan mata menyipit dan hati dipenuhi rasa kesal, Liana mengumpat. "Nappeun sekki,"
Liana berbalik badan dan menyandarkan punggung di gerbang itu. Badannya melorot kebawah. Bibirnya komat kamit mengutuk pemilik rumah itu yang tak tau belas kasihan.
"Dasar nggak berperikemanusiaan! Nggak punya hati! Jantung! Usus! Empedu! Nggak punya semua organ, karena lo emang setan!"
Dada Liana naik-turun menahan kesal. Dan kali ini Liana tak bohong. Ia benar-benar kedinginan. Bahkan hoodie yang ia kenakan tak bisa melindunginya dari dinginnya suhu disana. Sebenarnya ia masih ingin berteriak lebih kencang lagi agar pemilik rumah itu keluar dan menolongnya, namun ia tak memiliki tenaga lagi. Selain kedinginan, sekujur tubuhnya juga dipenuhi rasa sakit.
"Gue sumpahin pantat lo kemasukan kecoa pas lo lagi tidur!"
🦋
"Ev, lo tau nggak Liana sama Acha kemana?" tanya Casey sambil menggoyangkan lengan Evelyn, berusaha membangunkan gadis itu yang sedang tertidur pulas sambil memeluk guling.
Evelyn yang merasa tidurnya terusik, dengan cepat menepis tangan Casey di lengannya. "Nggak tau gue,"
"Ev, gue serius. Gue bangun tidur si Acha udah nggak ada di tenda. Gue kira dia kesini, ternyata nggak ada dan Liana juga. Gue udah cari mereka di dapur sama toilet, tapi nggak ketemu," jelas Casey.
"Heh kutu babi, lo dengerin gue nggak sih?!" Casey menoyor kepala Evelyn cukup keras.
Evelyn menggeram dan akhirnya membuka mata. "Apa sih?! Berisik banget gila,"
"Ya lagian lo jadi orang kebo amat. Orang kalau camping jam segini udah pada sibuk di dapur, lah ini malah ngorok di tenda. Stress!"
"Iya, gue stress. Udah sono lo! Gue mau lanjut tidur. Lagi mimpi indah juga,"
Evelyn berniat memejamkan mata dan melanjutkan tidurnya, namun sebelum itu terjadi Casey lebih dahulu menarik tangannya dan memaksanya berdiri.
"Jangan harap gue biarin lo tidur sebelum kita temuin Liana sama Acha!"
KAMU SEDANG MEMBACA
BECOME A BUTTERFLY
Teen FictionIni kisah tentang Liana Pahlevi, gadis berusia 17 tahun yang berusaha membantu seorang pria keluar dari masa-masa sulitnya. Mengulurkan tangan dan tersenyum tulus, Liana ingin pria itu terbebas dari trauma masa lalu yang selama ini membelenggunya da...