[3]

86 10 12
                                    

Pagi ini langit kota Jakarta tak secerah biasanya. Sinar matahari yang biasanya mulai menyengat di pukul 7 pagi kini tak terasa panas sama sekali karena  tertutupi oleh awan berwarna abu-abu. Biasanya di saat seperti ini orang-orang akan enggan bepergian dan melakukan aktifitas di dalam rumah. Cuaca seperti ini juga sangat cocok untuk tidur.

Itu juga yang terpikir oleh Liana saat ini. Gadis yang masih menggunakan baju tidur itu kini sedang terlentang di atas kasur sambil melihat awan abu-abu melalui jendela kamarnya. Biasanya di cuaca seperti ini ia akan membolos sekolah dan menghabiskan hari dengan menonton drama korea di rumah. Ia ingin melakukan hal yang sama hari ini. Namun apalah daya, ketiga sahabatnya yang masih ada dirumahnya itu menentang keinginan itu.

"Li, buruan mandi gih! Satu jam lagi kita berangkat," kata Evelyn yang baru keluar dari kamar mandi, mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Merasa tak mendapat respon apapun dari Liana, ia pun menoleh ke belakang. Dilihatnya Liana yang masih terdiam dengan posisi tubuh sama seperti tadi.

Liana mendengus malas. "Gue nggak ik—"

BRUK!

Belum selesai Liana berbicara, Evelyn melempar bantal sofa pada gadis itu. Dan BOOM! Bantal itu tepat mengenai wajah Liana.

"Minggu kemarin lo nggak ikut ngerayain ultah bokap gue, enak aja sekarang nggak mau ikut camping. Nggak. Gue nggak bakal biarin satu dari circle kita berkurang di acara kali ini,"

"Malem itu gue nyelametin abang lo, gila! Dia mau bunuh diri. Ya masa gue tinggalin abang lo di rumah sakit itu sendirian buat dateng ke rumah lo ngerayain ultah?" Balas Liana.

"Bang Kenno nggak mungkin punya niatan kayak gitu, Li. Hidup dia itu 10. Pasti waktu itu preman-preman itu yang maksa bang Kenno buat ngelakuin itu," Dan ya, hingga saat ini Evelyn masih menyangkal bahwa saudara kembarnya memiliki niatan bunuh dini.

Liana memutar bola mata, jengah. "Serah lo deh. Mau gue ngomong sampai ini lidah jadi ijo juga nggak bakal bikin lo percaya. Lagian lo kenapa tiba-tiba pengen ikut camping dah? Setahu gue lo paling males ikut acara-acara begituan deh? Apalagi ini di hutan,"

Evelyn tampak mengulum senyum. Belum sempat ia menjawab, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Casey muncul dengan membawa handuk dan melemparkannya pada Liana. Dan sekali lagi, handuk itu mendarat tepat di wajah Liana. Kali ini Liana pun menggeram kesal.

"Gue hitung sampai tiga kalau lo belom beranjak dari itu kasur, gue seret lo ke kamar mandi!" kata Casey sambil mengambil jepit rambut di meja rias kemudian memakainya.

"Sey, lo tau nggak sih kalau ini tuh namanya pemaksaan? Lagian lo nggak liat nih—"

"Satu...."

"Denger, kayaknya gue lagi sakit deh,"

"Dua...."

"GUE BENERAN MALES IKUT CAMPING AELAH,"

Casey menoleh ke belakang, lantas menghela napas panjang melihat Liana yang sedang berguling-guling di atas kasur dengan kaki menendang-nendang ke segala arah layaknya seorang bocah SD yang ingin dibelikan mainan tapi tidak dituruti kemauannya.

Pandangan Casey beralih pada jam tangan berwarna silver yang melingkar indah di tangan kirinya. "Eve, ambilin baju buat Liana!"

Evelyn mengangguk dan dengan sigap membuka lemari pakaian untuk mencari sepasang pakaian yang sekiranya simple dan cocok untuk camping. Setelah sepuluh menit bingung mencari pakaian yang pas, Evelyn pun mengambil celana jeans dan hoodie biru.

"Ini aja gimana?" Evelyn menunjukkan hoodie bergambar logo Seventeen dan celana jeans berwarna dark blue di tangannya pada Casey.

Liana berdecak. "Kok jadi kalian yang repot milihin baju buat gue sih? Gue bisa sendiri,"

BECOME A BUTTERFLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang