"Nih cewek lo!" Dimas sedikit mendorong punggung Liana pada Rama yang sedang duduk di tangga teras rumahnya sambil mengibas wajahnya menggunakan topi petani.
"Dibilang gue temennya Rama," sahut Liana sambil mengelus kepala seekor kucing oren kecil di gendongannya.
"Ngapa lo bawa dia kesini?" Tanya Rama.
"Ya terus? Lo berharap gue mau nampung ini cewek lama-lama?" Dimas menatap Liana sebentar, kemudian menghela napas panjang. "Gue nggak tau lo dapet manusia kek gini darimana. Tapi sumpah, gue nggak bisa bawa itu cewek sama gue lebih lama dari ini,"
"Emang kenapa? Orang gue juga cuma diem daritadi. Nggak ada tuh gue nyusahin lo. Iya kan, cing?"
Dari sini Liana mulai berani membalas ucapan Dimas karena setelah setengah hari menghabiskan waktu bersama pria itu, ia mulai tau Dimas sebenarnya tak semenakutkan yang ia pikirkan. Dari segi penampilan dan tatapan mata, Liana akui cowok itu memang cukup menyeramkan, sangat mirip seperti preman-preman yang ia lihat di sinetron-sinetron. Tapi siapa sangka ternyata cowok itu sangat humble dan friendly pada siapa pun.
"Nggak ada begimane?" Emosi Dimas tersulut. "Asal lo tau, Ram, itu cewek dari pagi nyusahin gue mulu, sumpah. Nih ya, pertama, dia ngebiarin pencuri buah di kedainya mpok Nuri kabur gitu aja. Gue mau kejar tuh pencuri, tapi kaki gue digandolin sama ulet sawi lo tuh,"
"Mana ada pencuri? Dia kan udah janji bakal bayar kalau udah punya uang,"
"Dan lo percaya?" Balas Dimas. "Kedua, dia minta semua duit hasil kerja gue hari ini cuma buat beli itu kucing kampung!"
"Gue bilang pinjem, bukan minta!"
"Lo pikir dengan penampilan lo yang kayak gembel perempatan gitu gue bakal percaya lo bisa balikin semua duit gue?"
Liana mengatupkan bibir rapat-rapat. Tadi ulet sawi, sekarang gembel perempatan. Entah apalagi panggilan yang akan Dimas ciptakan untuk Liana. Oke, penampilannya saat ini memang sangat buruk. Pakaiannya penuh lumpur karena jatuh kemarin malam, celananya sedikit sobek, tangan dan kakinya juga terdapat banyak luka. Tapi bukan berarti ia harus mendapat panggilan itu kan?
"Tapi gue bisa—"
"Ketiga..."
JEDERRR!!
Suara petir menggelegar kuat membuat Liana terjengit. Gadis itu menengadahkan wajahnya ke atas, menatap langit abu-abu yang mulai merata oleh angin. Setetes air dari langit jatuh mengenai wajahnya, hingga tak lama kemudian tetesan air lain mulai berjatuhan semakin deras.
"Masuk masuk! Hujan," Rama bergegas mengambil sekarung cabai di sepedanya, dibantu oleh Dimas. Melihat itu, Liana mengurungkan niatnya untuk masuk ke rumah Rama dan berniat membantu, tapi Rama dengan tegas melarangnya.
"Lo diem disana!" Seru Rama saat melihat Liana mengambil ancang-ancang untuk menerobos hujan untuk menghampirinya.
Setelah memindahkan semua karung berisi cabai ke teras, Rama masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil handuk untuknya dan Dimas.
"Mandi dulu gih!" Kata Rama sambil melempar handuk pada Dimas yang sedang melepas baju di teras rumah.
Liana yang tak sengaja melihat tubuh shirtless Dimas spontan memalingkan wajahnya dan berdehem pelan. Dimas yang menyadari hal itu pun berdecih dan tersenyum remeh. Ia menutupi badannya menggunakan handuk itu, berjalan melewati Liana dan masuk ke toilet.
Rama duduk berhadapan dengan Liana. "Lo bukan orang sini kan? Asal mana lo? Kenapa bisa disini?"
"Sebelum gue jawab, gue minta air dong. Haus," pinta Liana. "Sama makan juga kalau ada," tambahnya saat Rama baru selangkah beranjak meninggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BECOME A BUTTERFLY
Teen FictionIni kisah tentang Liana Pahlevi, gadis berusia 17 tahun yang berusaha membantu seorang pria keluar dari masa-masa sulitnya. Mengulurkan tangan dan tersenyum tulus, Liana ingin pria itu terbebas dari trauma masa lalu yang selama ini membelenggunya da...