[10]

39 1 0
                                    

Membayangkan rasa pahit yang timbul akibat minum obat akan membuat setiap orang yang sedang sakit malas meminumnya. Jangankan meminum, menatap pun enggan. Namun hal itu tak berlaku bagi seorang gadis yang kini sedang duduk di pinggiran kasur, menatap sebungkus obat flu ditangannya dengan mata berbinar dan senyum lebar sempurna.

Ya, siapa lagi kalau bukan Liana Pahlevi. Gadis itu sedang bahagia bukan main. Bagi Liana, bisa menginap di rumah seorang bos soang seperti memenangkan medali emas di perlombaan tingkat nasional, membayangkannya pun tak pernah.

"Aaaaaa!" Liana berteriak tanpa suara. "Kok bisa gini ya? Kalo tau bakal gini, gue pura-pura sakit aja dari kemarin. Nggak usah sampai bela-belain kehujanan beneran yakan?"

"Eh tapi apa gue nggak usah minum obat aja kali ya? Biar punya alasan lebih lama disini,"

Liana menggeleng kuat-kuat.

"Nggak Liana. Lo harus cepet sembuh. Dan sebisa mungkin lo harus bisa bujuk bos soang biar mau nganterin lo balik sebelum lo ditendang duluan dari sini," Liana menatap dirinya di depan cermin, mengangguk yakin.

Tanpa ragu Liana segera membuka bungkus obat pereda demam itu dan melempar dua butir obat itu sekaligus ke dalam mulutnya. Tangannya meraba meja mencari segelas air, namun detik berikutnya mata Liana reflek melotot ketika baru menyadari bahwa bos soang tak pernah memberinya air minum.

"Akhh sialan, pahit banget!" Liana menjulurkan lidah, kepahitan. Matanya menyusuri kamar mencari air minum atau apa yang bisa mengurangi rasa pahit itu, tapi nihil. Tak ada satupun makanan atau minuman di kamar itu.

Liana bergegas keluar kamar. Melihat teko air di atas meja makan seperti melihat bongkahan emas bagi Liana saat ini. Segera ia berlari menuju meja makan dan meminum air langsung dari teko itu. Namun air mineral saja ternyata tak bisa menghilangkan rada pahit itu. Melihat roti selai di atas meja, tanpa berpikir lama langsung saja Liana menyantapnya.

"Hah, enaknya," kata Liana dengan mulut yang dipenuhi roti selai stroberi itu. Entah milik siapa roti itu, Liana tak peduli. "Dalamnya empuk, pinggirannya krispi. Tingkat kematangan roti bakar yang sempurna," Liana mengangguk-angguk, menikmati roti selai itu.

Sorot mata Liana tak sengaja melihat kucingnya yang tampak sedang mengambil ancang-ancang menaiki tangga. Liana hanya menggedikkan bahu, membiarkan kucingnya melakukan apa pun yang ingin dilakukan. Tapi beberapa detik kemudian ia tiba-tiba teringat ucapan bos soang beberapa waktu lalu.

Flashback On

"Hanya untuk malam ini, Anda bisa menginap disini,"

"Hah? Serius?"

"Iya, tapi ada syaratnya. Dan Anda tidak boleh melanggarnya,"

"Apa tuh?"

"Anda dan kucing Anda hanya boleh berada di lantai 1. Tidak boleh naik, apalagi ke kamar di lantai 2,"

Flashback off

"Yak jamkkanman!" Liana melahap suapan terakhirnya, berlari menghampiri kucingnya.

Baru saja Liana berniat meraih buntut kucingnya, kucing itu lebih dulu meloncat menaiki tangga. "Aish, nappeun sekki,"

Berdecak kesal, Liana pun terpaksa ikut naik menyusul kucingnya. Hal pertama yang Liana lihat saat berada di lantai 2 adalah kamar di ujung lorong. Hanya ada satu kamar di lantai itu. Dan sebisa mungkin ia tak mendekati kamar dengan pintu berwarna silver itu. Tapi lagi-lagi kucingnya berulah. Kucing itu berlari menaiki tangga di samping kamar itu.

BECOME A BUTTERFLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang