#10 - Saluna

13 11 0
                                    

Menang, kebanggaannya tidak seberapa

Kalau kalah, resikonya berkali-kali lipat lebih besar

- Faresta Alfarezi -


"Sebagian orang pasti menganggap ini hanya buang-buang waktu. Mengetahui pemenang yang udah pasti." Fares mengepal tangannya kesal.

"Kecuali ada orang yang bisa melampaui mereka. Itu bukan nggak mungkin dan bisa aja home run. Permainan dimenangkan oleh pemenang baru," ucap Kevin dengan optimis.

Berkebalikan dengan Fares yang malah menatapnya serius, Kevin menampakkan wajah penuh canda.

"Yang jelas kita nggak mungkin ikut," lirikkan Kevin penuh arti.

Kevin mengerti tatapan Fares itu. Kalau menemukan orang yang sepandan dengan otak kedua kakaknya itu sangatlah sulit. Kalau ada, mungkin sudah sama terkenalnya dari dulu. Fares memang terlihat tertarik, mungkin saja ayah bisa mengubah pandangannya kalau Fares memenangkannya. Tapi kalau kalah resikonya lebih besar, karena ayahnya akan terus mengungkitnya seumur hidup. Sebagai anak bodoh yang tidak tau tempat.

"Iya jangankan ini. Soal matematika kemarin aja, belum gue kerjain." celetuk Fares.

"Mending lo cari jawaban matematika sendiri deh," rangkul Kevin dengan erat pada sahabatnya itu.

Tentu saja Kevin sudah hapal dengan raut wajah sahabatnya itu yang ingin minta contekan.



**********


Fares merogoh dalam sakunya. "T-tunggu, mampus."

Diceknya sekali lagi dalam tasnya. "Kok bisa lupa sih?!"

Niat mau beli sandal di market depan. Hanya sisa seribu rupiah. "Ini kenapa gue nggak suka bayar uang kas, cepet-cepet," helaan nafasnya frustasi.

Kata pak ustad, kita harus berbuat baik. Menolong sesama, tapi malah menyusahkan diri sendiri. "Pinjem uang siapa ya?" pikirnya sambil melihat sekeliling. Kelas kosong, hanya dirinya seorang.

Masa sih harus minta tolong ke kakak?

Dasar Genatha, lo nyusahin banget sih.

Fares mulai menggerutu dalam hatinya.


**********


Tok... Tok... Fares mengetuk kaca mobil berwarna putih yang terparkir di pakiran.

Mobil itu baru saja menyalakan mesinnya dan siap melaju. Mobil hadiah dari ayah untuk kedua kakaknya yang memenangkan kompetisi matematika. Mungkin sekarang belum genap sebulan kejuaraan itu dimenangkan.

Fares sedikit melongo ke dalam kaca mobil yang setengah dibuka. "Kak pinjem uang donk. Ada?" Arka yang ada di bangku pengemudi dan Raka yang sibuk dengan hp nya.

"Tumben lo minta uang, habis?" Tanya Arka. Raut wajahnya terkejut. Pasalnya ini hari selasa dan baru kemarin dikasih uang mingguan.

"Sekali ini doank. Gue bawa uang pas. Itupun udah dibayarin buat iuran kas kelas. Ini gue nggak make sepatu, basah. Gue udah coba pinjem ke pos satpam. Katanya nggak ada sandal atau apa gitu yang nganggur. " Jeda. "Gue mau beli sandal di market belokan sekolah tapi nggak ada uang," tawanya kecil. Bagai anak kecil yang merayu kakaknya.

"Oh, karena itu. Kalau sepatu doank. Nih gue pinjemin, lagian kita pake mobil," Ucap Raka sambil melempar sepatunya tanpa ragu. "Udah sana, lagian kita mau jemput ayah hari ini." Raka menepuk pundak Arka. "Lanjut Ar, jangan sampai telat. Lo nggak mau kan gara-gara ini anak, ayah marah lagi," timpalnya kembali.

"Kak Raka, lo yang sopan donk. Gue tau mereka sering ribut, tapi lo nggak usah bahas hal itu. Apalagi sepatu pake lempar segala. Otak bukannya harus dipakai sesuai fungsinya. Lo nggak mikir perasaan Fares lo lempar kayak gitu." tegas Arka, delik matanya tajam.

Fares memang sering ribut sama ayah. Perihal hal kecil lalu membesar. Raka adalah kakak pertamanya, tapi sebagai anak sulung tidak pernah sedikitpun niatan untuk menengahi permasalahan mereka. Raka sering bersikap sinis. Karena dari awal dia benci keributan. Jadi kalau keributan itu selalu ada di dekatnya, wajar Raka menjadi sentimental.

"Nggak apa-apa kak. It's okay" jawab Fares lebih dulu.

"Serius?" Tanya Arka kembali.

"Syukur dapet pinjeman sepatu," senyum Fares meneduhkan hati. "Oh, iya lupa. Dari pada ditunda besok, gue mau bantuin Bu Weni dulu. Susun buat silabus Pkn di semester baru. Pulangnya agak telat ya. Mungkin jam 3-an. Semoga nggak macet itu juga."

"Inget Far. Ayah nggak suka kamu telat karena hal nggak penting. Jadi selepas beres urusan, langsung pulang ya," jelas Arka pada adik bungsunya itu.

"Iya. Mau gimana lagi kalau disuruh wali kelas. Tenang, gue ngebut kok bawa motornya," jawab Fares.

"Palingan juga cuman Alibi," Raka mengalihkan pandangannya. "Buruan Ar nyetirnya. Kita jemput ayah. Setidaknya rumah hening deh kalau dia pulang telat. Makin sedikit ketemu ayah, makin bagus. Lagian Fares itu mau telat atau nggak, pasti ribut. Heran, gimana bisa dia terlahir sebagai anak keluarga Alfarezi. Gen genius aja, sedikitpun nggak ada," timpal Raka kembali.

"Raka jaga bicara lo!" Fares menekan nada bicaranya. Berani seperti biasa.



TRAILER CONCEPT AND WRITING (ORIGINAL)

PLEASE DONT PLAGIARISM. THANKS



Tolong tinggalkan vote dan komentarnya, apabila kalian menyukai ceritaku disini :)

Sesungguhnya dukungan kalian yang membuat penulis semangat menyelesaikan ceritanya!

Kalian juga bisa terhubung denganku di instagram.
Ig: advertisement.shineraiz
Ig: shintyaanikasari


Hallo semuanya...
Maaf kalau tulisanku masih kacau. Ini cerita pertama yang sudah aku bereskan sampai ending. Masih perlu banyak belajar. Semoga kalian suka.



GANTARA COMPETITION (On-going/ Novel Fiksi Remaja)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang