Dua bulan. Sudah segitu lamanya sejak mereka meninggalkan rumah lama yang tak layak huni itu. Tidak terasa juga pengeluaran semakin bertambah, sedangkan pemasukan tidak ada.
Raga sehat, namun upaya mencari penghasilan tak kunjung terlaksana. Berusaha sekalipun akan tetap kalah saing dengan yang ber-title sarjana. Apalah Jihoon yang hanya lulusan SD kelas lima? Jadi kuli bangunan pun belum tentu diterima.
Udah kayak mbak nana belom?
Meskipun udah ngelamar kerja jadi kuli angkut barang, Jihoon tetep aja nggak ngerasa puas sama penghasilannya. Mana Hyunsuk ngedesak dia terus supaya cari kerja yang gajinya gede, katanya sih minim-minim jadi manager.
Kalo kata gue jangan jadi manager deh, kasian perusahaan orang hancur ntar dipegang Jihoon. Pegang janji pernikahan aja gak becus, ini lagi pegang perusahaan orang.
Pernah sih kepikiran mau jual ginjal Junkyu yang nggak guna itu buat bayar tagihan listrik, tapi gagal, mengingat Junkyu anak pertama yang dapetnya nggak asal cap cip cup sat set sat set langsung jadi.
Nggak bayar tagihan, alhasil listrik mereka dipadamkan hampir seminggu. Rasain.
Jihoon rebahan di pos ronda dengan wajah tertutup topi lusuh hitam berlogo minyak kayu putih dengan stiker barbie yang ditempel Junghwan beberapa hari lalu. Tidurnya nampak pulas, padahal aroma topinya nggak kalah busuk sama bangkai cicak di belakang pintu.
Sampai suara klakson berhasil membuat ngoroknya yang mirip knalpot racing itu terhenti. Jihoon bangkit, melihat siapa yang berhenti di pos ronda.
Doi gak kenal. Umurnya kek lebih tua, perawakannya mirip maling nggak pro yang sering ketangkep basah sama anjing bulldog, kekar dan sangar. Bajunya compang-camping kayak preman pasar minggu, pake rompi lepis yang di dalemnya dipakein kaos kutang warna item. Ada sablonan muka bang haji Rhoma di tengahnya.
Pria bersurai biru itu turun dari motor lantas menghampiri Jihoon.
"Pa kabar brou?" sapanya sambil menepuk paha Jihoon keras, memerintah pria itu untuk geser dan memberinya sedikit ruang untuk duduk.
Padahal mah tempatnya luas.
Jihoon masih loading, dia gak kenal siapa orang itu. Menyadari ekspresi Jihoon, barulah sang pria asing tersebut menyebutkan namanya.
"Gue Bangchan. Inget gak?"
Jihoon pasang tampang bingung. Mikir. Dan nggak lama, "OALAHHH ELU TOD! HAHAHAH GUE PANGLING BANGET ANJROT." Jihoon merangkul Bangchan dengan tawanya.
Nggak tau aja yang di sebelahnya ini mau muntah sama bau mulutnya.
Iya, dia Bangchan, teman seper-copet-annya dulu sewaktu di kampung. Gatau kenapa mereka bisa ketemu lagi disini. Takdir kali ya.
"Gimana kabar lo, Chan? Itu orangtua lo yang di kampung udah mati apa belom?"
"Heh! Bangsat bener mulut lo, Hoon!" Bangchan bersiap nabok mulut Jihoon pake pantofel mengkilapnya. "Tapi mereka memang udah meninggal sih, seminggu lalu. Gue bekap di rumah tetangga gue, jadi tetangga gue yang tertuduh sebagai tersangka."
"Goblok."
Keduanya lalu tertawa. Menertawakan kebangsatan masing-masing. Selain sobat seper-copet-an, mereka juga sobat seper-tolol-an.
"Udah kerja belom lo?" tanya Bangchan begitu tawanya habis.
Tampang Jihoon lalu memelas. "Udah dua bulan gue nganggur."
"Kok iso?"
"Lo tau kan, Chan, gue cuma SD kelas 5. Jangankan gue yang putus sekolah dari SD, disini tuh sarjana satu aja kadang cuma jadi OB. Susah pokoknya cari kerja disini," kata Jihoon dengan mulut sok taunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The INIKEREABLE 2
Humor[ Baca The INIKEREABLE yang pertama dulu ] "Suk, gue pengen kere aja kalo kek gini." "Gue juga." _____________________ WARNING!! - 13+ - Bahasa non baku - Toxic bertebaran - Typo? Mohon dikoreksi - Jangan baca ini sambil makan/minum. Nanti keselek...