Kang Halu

1.6K 31 0
                                    

Seperti biasa, aku kembali mengayuh sepeda onthel pemberian Bapak mertua berisi peti jualan di belakang boncengan, ditengah keramaian hiruk pikuk lalu lintas pagi hari. Banyak ibu-ibu yang mengantar anaknya ke sekolah dengan menggunakan motor. Beberapa orang tua murid juga mengantar anaknya dengan mobil. Dan aku, mencari nafkah hanya dengan menggunakan sepeda tua ini. Mengsedihkan. 

Untung ini bukan kampung kelahiranku, melainkan kampung kelahiran istriku_Dewi. Jika tidak, mau ditaruh kemana mukaku ini jika sempat ketemu dengan teman sekolah dulu. Rata-rata dari mereka sudah banyak yang sukses. Kuliah, punya mobil, punya pekerjaan yang bagus, eh malah dapet jodoh yang sekufu pula. Apa nggak enak tuh hidup mereka. Malah berbanding terbalik dengan kehidupanku kini.

Rasanya cukup tidak adil bahwasanya Tuhan telah menuliskan nasib seperti ini untukku. Mau protes, tapi tak tau entah pada siapa. Sungguh, aku pun tak  pernah menyangka jika di abad yang serba canggih ini, aku masih mengayuh sepeda ontel untuk melakukan mobilitas, dari tempat yang satu berpindah ke tempat yang lain. Beringsut pelan seperti jalan kura-kura.

Dengan mengenakan busana serba merah, jaket dan topi berlogo bulu ayam dan Noah, aku mulai beraktifitas, menunggu bocah-bocah SD yang akan menuntut ilmu di sekolah-sekolah negeri yang kusam. Cat temboknya sudah banyak yang mengelupas dan berlumut. Pagar pembatas sudah banyak yang berkarat tersiram hujan dan tersengat terik matahari. Di situlah aku berdiri, menanti tangan-tangan mungil itu bermurah hati untuk merogoh koceknya dan menyodorkan uang recehan itu untuk menebus Cilok yang kujajakan. 

Seribu dua ribu, uang-uang kusut itu kini telah berpindah ke tanganku. Kedengarannya sedikit, namun untuk mendapatkannya saja sangat sulit. Saingan orang berjualan itu banyak. Macam-macam jajanan mereka tawarkan untuk menarik minat anak-anak untuk membeli. Harus banyak bersabar juga dalam menghadapi anak-anak yang baru tumbuh kepermukaan bumi itu. Ada yang bawel, judas, pelit dan perhitungan. Menurut sifat yang diwariskan oleh orang tua mereka masing-masing.

"Om, beli ciloknya seribu ya. Tapi kasi bonus dua."

"Iya."

"Aku juga, Om. Minta bonusnya tiga ya."

"Iya."

"Bonusnya kok cuman dua, Om? Tadi kan mintanya tiga."

"Iya, udah di kasi tiga tadi."

"Ah, Oom ini bohong. Tadi aku hitung cuma di kasi dua belas."

Eh, ternyata dia ikut ngitung juga. Padahal tadi aku masukin cepat-cepat.

"Cilok si Jhon ini nggak enak. Kemarin aku beli  cuman rasa tepung doang. Bagusan beli di tempat lain."

Kepala kau. Sudah nggak beli, malah menghasut orang lain pula supaya jangan beli. Masih kecil aja sudah kelihatan bakat ghibahnya. Gimana nanti jika sudah besar. Bakalan jadi provokator profesional nih, anak. Kadang kesal melihat bocah cilik tipe yang seperti ini.

"Iya. Aku aja kemarin sakit perut makan cilok si Jhon ini." Teman di sampingnya menyambung. Mendukung perkataan temannya tadi.

Siapa suruh pakai saus banyak-banyak. Di kasi sedikit katanya pelit, minta di penuhin. Rasakan aja sendiri. Sudah dekil, degil, kere. Eh, tukang hasut pula. Aku benci orang yang seperti ini.

"Jhon! Jaket sama topimu kok nggak pernah ganti. Pasti nggak pernah dicuci kan?"

Itu mulut apa comberan, sih. Kok rempong amat.

Kuhitung lembaran demi lembaran uang itu setelah anak-anak kembali masuk ke ruangan mereka masing-masing setelah bel berbunyi panjang, memanggil dari dalam ruangan guru. Sebentar lagi, aku akan beranjak pergi dari sini menuju ke sekolah lain. Di sana waktu istirahatnya sekitar sepuluh menit lagi. Jadi, masih bisa agak santai jalannya. Baru saja aku akan bergerak, tiba-tiba suara seseorang menghentikan langkahku.

"Mas! Mas!," panggil suara wanita dengan keras. Aku berhenti sembari menoleh kebelakang. Barang kali ibu itu mau beli. Kan lumayan dapat uang tambahan.

"Ini sampahnya tolong dikutipin dulu sebelum pergi, ya! Jangan cuma uangnya saja yang di ambil dari sini. Sampahnya di biarin berserakan di mana-mana. Jangan sampai besok-besok anak-anak nggak kami izinin lagi jajan di luar," ucap wanita yang mengenakan baju olah raga itu dari balik pagar besi.

"Iya, Bu. Iya." Aku menyangga sepedaku kembali, dan mulai memungut sampah yang berserakan di halaman bekas limbah jualanku.

"Sudah sering ku peringatkan, Bu. Tolong kebersihan lokasi ini sama-sama kita jaga. Jangan sampai kalian yang buat sampah, malah aku yang kena tegur. Namun, orang ini nggak mau dengar. Mereka pikir malah aku iri sama pendapatan mereka," sambung Mas Aji, Kang jualan pisang molen yang mangkal menetap di tempat itu. Dia tidak berpindah-pindah seperti kami yang lari ke sana lari ke sini demi mengejar sesuap nasi. 

Ah, baru jadi Kang pisang molen aja udah pandai angkat telor. Sok nyalahin orang pula. Ilfil melihat teman tipe yang seperti ini. Di depan orangnya aja berani terang-terangan bicara, bagaimana kalau kita tidak ada. Mungkin perkataannya akan lebih parah lagi.

*

Aku kembali mengayuh sepedaku. Kali ini agak terburu-buru karena jam istirahat sudah akan di mulai. Gara-gara mungutin sampah tadi, aku jadi tergesa-gesa seperti ini. Bahkan, hanya untuk menghayal sebagai pelipur lara sembari mengayuh sepeda saja kini sudah tidak sempat.

"Mas! Cilok." Suara seseorang kembali memanggilku. Suara wanita dan terdengar begitu lembut di telinga. Tidak seperti suara ibu guru tadi. Cempreng. Sudah tua, cerewet pula. Kok betah ya, suaminya pada wanita seperti itu. Andai aku suaminya, mungkin sudah lama aku tinggalin tipe istri toxic seperti itu. Mendengar suaranya saja aku sudah jijik. Mual. Mau muntah. Ih, sebal.

Aku menghentikan sepedaku dan mencari asal sumber suara itu. Saat ini posisiku sedang berada di depan sebuah gedung SMA. Setiap hari ruteku memang melewati jalan ini, namun tidak pernah singgah sama sekali. Di sini Kang ciloknya sudah sangat terkenal dan melegenda. Orangnya juga sudah sangat tua. Tapi masih kelihatan sehat walafiat. Untuk bersaing dengan Pakde itu harus mikir-mikir terlebih dahulu. Sebab menurut kabar yang kudengar, jika berani bersaing dengannya, jangankan manusia, bahkan seekor lalat saja tidak mau singgah ke jualan kita. Serem nggak tuh. Katanya sih, Pakde itu bawa tuyul. Tapi itu kata mereka ya, bukan aku yang bilang. Takutnya salah, jatuh fitnah. Aku hanya menyampaikan saja apa yang mereka katakan sebagai penyambung lidah. Biar lidahnya panjang, menjulur. Nanti, air liurnya bisa buat penglaris.

Pandanganku tertuju kepada sekelompok orang yang sedang duduk-duduk di bawah rindangnya pohon. Mereka memakai seragam olahraga. Mungkin habis olah raga, capek, istirahat, minum es, dan...lapar.

Eh, Mas Ridho mana? Kok nggak ada. Biasanya, dia mangkal di sini. Pandanganku menyapu ke sekitar, mencari jejak-jejak keberadaan Mas Ridho, Kang cilok yang sangat melegenda itu. Tapi nihil. Keadaan aman dan terkendali. Jadi, aku bisa bebas berjualan di sini tanpa harus takut bersaing dengan penjual lain yang jualannya sejenis denganku. Jika jualannya tidak sejenis denganku, itu namanya bukan saingan, tetapi teman. Dan di sini banyak. Ada Kang Es Air, Kang Pisang Molen, Kang Pecel, Kang Gorengan. Pokoknya banyak dech. Tapi, rata-rata dari mereka sudah pada tua-tua, rambutnya sudah pada ubanan dan kulitnya pada mengeriput. Pokoknya sudah pada bau tanah semua.

Tapi menurut kabar yang beredar, rata-rata anak dari mereka sudah pada berhasil, ada yang jadi Polisi, TNI, PNS dan macam-macam profesi sejenis lainnya. Pengen juga sih, jika nanti punya anak, bisa berhasil seperti anak mereka. Kan keren, seperti yang ada di berita-berita yang sempet viral, ' Anak Tukang Cilok Terpilih Menjadi Menteri Perdagangan Dalam Kabinet....'

Uh, betapa bangganya jadi orang tua seperti itu. Tapi, kapan ya? Kami kan belum punya anak.

*****

DRAMA PERSELINGKUHAN(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang