Sembari memasukkan butiran Cilok kedalam kantongan plastik, mulut Mei terus menyerocos bertanya padaku.
"Jauh juga ya Abang jualan sampai sini? Nggak capek apa, mengkayuh sepedanya?"
"Namanya juga kerja, Mei. Sudah pasti capek lah."
"Kenapa Abang tidak naik motor aja?"
Aku kembali nyengir seperti kuda Sumbawa. " Kalau punya sudah Abang bawa Mei dari dulu."
"Maksudnya, Abang nggak punya motor?" Lagi-lagi dia bertanya seperti tidak percaya. Mungkin merasa aneh, kok bisa ya di zaman sekarang ini masih ada manusia yang tidak punya motor.
Aku mengangguk sembari nyengir lagi. Sekilas kulirik dia menatapku serius. Namun dengan cepat segera kualihkan pandangan. Namun sebentar-sebentar kulirik lagi. Dan dia masih menatapku seperti tadi.
Entah kenapa jantungku terasa bergetar saat melihat tatapannya barusan. Aneh, seperti sorot mata seseorang yang menatap iba kepada orang lain. Apakah dia merasa kasihan padaku? Ah, jika betul seperti itu, aku jadi terharu. Ternyata masih ada orang yang mau peduli padaku. Mendapat perhatian begitu saja, aku sudah merasa senang.
Mungkin anak ini benar-benar berhati mulia, lembut, sama persis seperti suaranya. Mudah tersentuh saat melihat orang lain dalam kesusahan.
"Di rumah ada motor nggak terpakai. Apa abang mau? Entar biar Mei bilang sama Bapak."
"Apa?"
"Di rumah Mei ada motor nggak terpakai. Bekas motor bapak dulu. Sekarang sudah jarang di pakai. Apakah Abang mau? Nanti biar Mei mintakan sama Bapak."
"Oh, tidak usah Mei," ucapku menolak. Sambil nyengir, pasti. Nyengir, menertawakan nasibku yang menyedihkan ini.
"Kenapa, Bang?"
"Abang merasa tidak enak jika harus merepotkan Mei."
"Nggak merepotkan, kok. Inikan kemauannya Mei. Bukan abang yang minta."
"Iya. Tapi tidak enak nanti dengan keluarga Mei."
"Nggak apa-apa lho, Bang! Bapak juga suka bantu-bantu orang, kok. Malahan Bapak akan senang jika tau anaknya bersikap santun kepada orang lain. Kan semuanya itu Bapak yang ajarin."
Aku kembali nyengir.
"Bagaimana, Bang? Apa Abang mau?"
Aku kembali menggeleng. Malu sebagai seorang lelaki harus dikasihani. Selain itu, aku juga tidak ingin berhutang budi terlalu banyak padanya nanti. Sebab aku tahu bahwa hutang budi itu akan di bawa sampai mati.
"Ya udah kalau tidak mau," ucapnya dengan nada kecewa.
Sekilas kulirik wajahnya kembali. Kali ini dia telah memalingkan pandangan ke tempat lain. Menoleh ke arah laut tempat kapal-kapal ikan nelayan bersandar.
"Enak ya Bang di sini. Bisa melihat-lihat pemandangan sore seperti ini. Suasananya romantis, banget."
"Iya. Makanya abang suka mangkal di sini."
"Abang suka sama laut?"
"Suka."
"Kok samaan ya, Bang! Mei juga suka dengan laut. Di kamar Mei aja temanya tentang pemandangan laut semua."
"Iya?."
"Iya. Mei juga suka nonton Spongebobs. Mereka jualan di dalam laut. Seru ya Bang kalau kita punya restoran di dalam laut."
Kita. Eh, apa itu maksudnya.
"Maksudnya?"
"Kalau kita bisa bikin restoran di dalam laut, seru ya! Keknya pasti romantis, dech makan di tempat begituan."
KAMU SEDANG MEMBACA
DRAMA PERSELINGKUHAN(Selesai)
RomanceMembaca cerita ini dapat menyebabkan darah tinggi, sakit kepala dan kegilaan. Karena unsur cerita didalamnya banyak menceritakan tentang bagaimana tabiat atau kebiasaan para laki-laki yang sudah beristri diluaran sana. Jangan-jangan suami anda juga...