Cantik.
Ah, tidak. Masih cantikan lagi istriku. Belum ada yang bisa menandingi kecantikannya hingga saat ini. Cantik luar maupun dalam. Apalagi sifatnya juga sudah dewasa. Kalau yang ini, emang aku akui. Tapi, masih bau kencur. Masih bocil. Nggak-le-vel.
*
Hari ini aku cepat pulang. Daganganku laris manis berkat bantuan anak itu tadi. Sepertinya, dia memiliki bakat terpendam sebagai pedagang. Orangnya super pede dan menjual. Dia tidak merasa canggung sedikitpun untuk menjajakan daganganku kepada teman-temannya. Bahkan kepada kaum pria sekalipun.
"Enak wei, cilok abang ini! Nggak mau beli kalian? Entar nyesel, lho. Bentar lagi habis, nih," serunya kepada orang-orang yang ngumpul di situ.
Dengan begitu, banyak diantara mereka yang penasaran untuk mencoba. Apalagi yang beli memang lumayan ramai. Jadi, cepat ludes.
"Kenapa buatnya sedikit sekali, Bang?" tanyanya setelah cilokku hampir tatas.
"Iya. Masih baru, Kak! Jadi, buatnya dikit-dikit aja. Yang penting habis."
"Oooo. Besok buat banyak aja, Bang! Kalau segini mah, tanggung jualinnya."
Apanya yang tanggung. Biasanya, sampai malam aja belum tentu habis. Kan sayang jika harus terbuang tiap hari. Mana modal buatnya mahal lagi.
Aku hanya menyunggingkan bibir, tersenyum menanggapi ucapannya. Mencoba bersikap ramah mengimbanginya. Kapan lagi dapat asisten gratisan seperti ini.
"Kok cepat pulang, Mas?" tanya Dewi begitu aku sampai rumah dengan raut wajah khawatir. Mungkin berpikir jika terjadi apa-apa denganku sehingga cepat balik. Tak biasanya 'kan pulangnya jam segini.
"Udah habis," jawabku menyunggingkan bibir, tersenyum. Bawaannya happy aja hari ini.
"Ha. Kok cepat?" ucapnya tak percaya.
"Alhamdulillah, banyak yang beli. Mas Ridho nggak jualan hari ini. Jadi, aku jualan di depan SMA."
"Alhamdulillah," ucapnya bersyukur dengan wajah ceria.
"Iya. Mungkin itu berkat doamu tadi malam. Ternyata manjur juga. Berarti, kita harus sering-sering nih, ngelakuinnya biar rezeki kita semakin lancar," godaku padanya.
"Enak aja. Cukup sekali seminggu aja. Kalau sering-sering juga nggak enak. Cepat bosan."
"Ya udah, deh kalau tidak mau. Tolong ini diberesin dulu ya. Mas capek. Mau istirahat dulu."
"Ya udah. Biar Dewi beresin. Tapi...." Dia diam sejenak sembari menadahkan tangannya.
"Apa?"
Dia memberi kode dengan menggesek-gesekkan jari telunjuk dengan ibu jari.
"Saranghae!"
"Ish. Bukan."
"Jadi?"
"Duit. Duit."
"Kok tumben minta duit?"
"Kan jualannya habis."
"Kalau habis, emang kenapa?"
"Bagi dong!"
"Untuk apa?"
"Mau beli handbody, biar kulit Dewi lembab. Lihat, nih! Kering dan pecah-pecah."
Tanpa menoleh, aku langsung menjawab ucapannya. "Gini aja udah cantik. Sayang duitnya kalau untuk buat beli hal yang nggak penting seperti itu. Sudah nyarinya susah. Mendingan ditabung aja. Mana tau besok ada keperluan mendesak yang jauh lebih penting, 'kan tinggal ambil."
Tiba-tiba kulihat wajahnya berubah cemberut, tidak seperti tadi lagi. Sepertinya Dewi tidak senang dengan ucapanku barusan. Apakah aku salah untuk mengingatkannya agar jangan terlalu boros. Jika nyari uangnya tadi gampang, tidak masalah. Ini mah, sulitnya minta ampun.
Apalagi aku juga tidak ingin hidup kami begini-begini terus. Aku juga pengen maju. Setidaknya, dalam beberapa bulan ke depan harus bisa beli motor untuk jualan. Tidak mesti harus baru, motor seken pun tidak apa-apa asal ada mesinnya. Supaya jangan naik sepeda lagi. Sudah jalannya lamban, dengkulku pun terasa pegal setiap malam.
Toh, aku juga tidak banyak menuntut agar dia terlihat cantik. Begini aja sudah cukup. Aku mencintainya tulus dan apa adanya. Jadi menurutku, tak perlu buang-buang uang untuk hal gak penting seperti itu.
Tapi Dewi, sudah tidak mau bicara lagi. Setelah membereskan ini dan itu, dia tidak masuk ke kamar untuk menemaniku, bertanya tentang perjalananku hari ini. Bercerita, memberi semangat sembari membawakan secangkir teh hangat atau kopi. Jika lagi mau, dia juga memijati tubuhku yang pegal linu. Tapi, kenapa dia langsung berubah saat aku tak memberinya uang untuk hal yang nggak terlalu penting.
Jika yang dia pinta tadi untuk kebutuhan pokok, pasti aku beri karena itu merupakan kewajibanku. Tapi ini....
Ah, perempuan memang tidak ada rasa bersyukurnya. Di kasi rezeki berlebih oleh Tuhan, malah ngajak ribut. Maunya langsung ingin hura-hura dan berfoya-foya terus. Nggak mikirin bagaimana sulitnya perjuangan suami di luaran sana untuk mendapatkannya.
Ah, dari pada pusing mikirin dia, lebih baik aku berkhayal untuk menghibur diri. Membayangkan anak abege yang membantuku jualan tadi. Sepertinya, gadis itu lebih cocok jika diajak untuk bekerja sama. Andai Dewi bisa seperti dirinya, mungkin hidup kami akan jauh lebih baik.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, anak itu tadi....
Ah, cantik. Wajahnya cantik, hatinya juga, baik.
Lama aku berbaring di tempat tidur, guling sana guling sini, gelisah. Sampai aku teringat bahwasanya tadi aku membeli sebungkus nasi padang, pakai rendang untuk dimakan berdua, bersama-sama. Mumpung ada rezeki, sesekali tak apalah makan enak, pikirku tadi. Tapi jadi lupa karena sikap yang di tunjukkan Dewi kepadaku tadi.
Aku keluar dari kamar dan mendapati nasi bungkus yang tadi kubeli masih utuh di balik tudung saji. Segera ku cari Dewi agar kami bisa menikmatinya bersama-sama. Agar berkesan romantis, sebungkus makan berdua. So sweet. Selain itu, bisa lebih hemat juga. Kulihat dia sedang termenung seorang diri di serambi depan.
"Sudah makan, Yang?" tanyaku padanya dengan lembut.
Dia hanya diam, tak menggubris pertanyaanku.
"Makan, yok! Entar nasinya dingin, lho," ucapku lagi dengan lembut. Membujuk.
"Makan aja pencarian kau itu," jawabnya ketus, sembari bangkit dari tempat duduknya. Berlalu pergi, kemudian membanting pintu kamar dengan kuat.
Ah, bikin emosi aja. Dia pikir, aku akan mau membujuknya lagi dan minta maaf segera. Tak usah ye....
Emangnya aku salah apa?
****
KAMU SEDANG MEMBACA
DRAMA PERSELINGKUHAN(Selesai)
RomanceMembaca cerita ini dapat menyebabkan darah tinggi, sakit kepala dan kegilaan. Karena unsur cerita didalamnya banyak menceritakan tentang bagaimana tabiat atau kebiasaan para laki-laki yang sudah beristri diluaran sana. Jangan-jangan suami anda juga...