Kepincut Anak SMA

3.7K 43 0
                                    

Setelah sepeda yang kutunggangi berhenti, segera kuambil sebilah kayu yang kubawa dari rumah untuk menyangga peti agar tidak jatuh. Setelah itu, barulah  aku kembali menoleh ke arah sekelompok orang tadi. 

Sekumpulan anak remaja perempuan yang lagi asik ngerumpi. Paling lagi ngebahas Drama Korea, tuh. Dari raut wajahnya saja sudah bisa kelihatan jika mereka sangat mengidolakan Oppa-Oppa korea itu. Padahal masih gantengan aku lho, dari Oppa-oppa itu. Lihat aja nih, gayaku aja sudah mirip seperti Ariel Noah lengkap dengan jerseynya. Kurang keren apalagi coba?

Namun, para siswi yang rata-rata berusia baru empat belasan tahun itu hanya diam, santai, selow, cuek bebek, seperti tidak terjadi apa-apa. 

Eh, suara yang memanggil tadi mana ya? Kok nggak ada? Apa aku salah dengar tadi? Aduh, gimana, nih? Mau bergerak pergi, sudah terlanjur berhenti. Malu, dong.

Atau..., jangan-jangan mereka hanya iseng dan ingin mengerjaiku saja. Seperti yang viral-viral di youtube itu, tuh. Ngeprank kalau tidak salah namanya. Hanya untuk membuat sebuah konten semata. Ih, tega amat ya, mempermainkan orang susah. Aku ini lagi cari makan tau! Jangan hanya gara-gara keisengan kalian, istriku kelaparan di rumah.

"Tanggung jawab kalian, Woy! Cepat! Abang itu sudah nungguin dari tadi." Akhirnya, salah satu dari mereka buka suara juga.

Oh, syukurlah. Berarti telingaku masih normal. Bukan salah dengar tadi. Tapi, suara yang memanggil tadi, yang mana ya, orangnya? Kok nggak tanggung jawab, nih! Jangan sampai aku marah, nekat masuk ke dalam sana dan langsung menciumnya sekalian. Biar kapok. Karena dia sudah berani mempermainkanku.

Eh, kok di cium? Ya iyalah. Kalau di pukul entar masuk penjara. Mendingan di cium, paling minta di kawinin.

Tapi, anak-anak itu tak satupun yang bergerak dari tempat duduk mereka semula. Mereka hanya saling dorong, saling sikut, dan bahkan saling tuding dengan menyuruh tanggung jawab.

Emangnya aku hamil, apa? Sehingga harus ditanggung jawabin.

Aku masih berdiri, menunggu dan jadi salah tingkah sendiri. Antara ingin pergi dan tetap bertahan di sini. 

Jika aku pergi, kemungkinan sekolah SD yang akan aku tuju semula, sudah pada keluar istirahat. Telat dong. Andaipun aku lanjut ke sana, kemungkinan besar uang jajan mereka sudah habis. Ah, mendingan aku tungguin di sini aja dulu. Tidak apa-apa. Tidak akan lari gunung di kejar, kecuali gunung kembar. Eh.

Toh, kalau rezeki, pasti akan datang sendiri. Yang penting, sabar.

Tak lama, salah satu dari anak cewek itu bangkit dan datang menghampiriku. Dia berdiri di balik pagar pembatas sekolah. Sedangkan aku, berdiri di luarnya saja. Tepat di pinggir jalan.

"Ciloknya dua ya, Bang! Sambelnya yang banyak!" ucapnya dari dalam.

"Iya, Kak!" jawabku sembari membuka tutup panci. Untung ciloknya masih baru, masih segar. Baru di olah pagi tadi. Kalau tidak, bisa malu-maluin, dong. Nggak ada rasa. Anak SD aja komplain, apalagi anak SMA.

"Dua ribu ya, Kak?" tanyaku memastikan. Sembari memasukkan butiran cilok itu kedalam kantongan plastik dengan menggunakan sendok garpu yang sudah dimodifikasi.

"Dua bungkus, Bang! Lima ribu lima ribu, ya!" jawab anak gadis remaja itu.

Alhamdulillah, lumayan, batinku dalam hati. 

Enak kalau dapet pelanggan anak SMA atau orang dewasa kek gini. Uangnya bisa cepat dapat banyak. Tapi, ya gitu. Orangnya pada malu-malu. Mungkin mereka pikir aku masih lajang, jadinya kegeeran. Eh, malah aku jadi ikutan grogi. Lihat, nih! Tangan aku aja sampai gemetaran masukin ciloknya. Abisnya dilihatin terus, sih.

Setelah selesai, aku langsung mengulurkannya pada gadis itu dan mulai membungkus pesanannya yang satu lagi. Kulirik, dia langsung memakannya, menjujut langsung dari dalam bungkusan plastik. Tanpa menggunakan pincuk lidi yang telah ku sediakan tadi.

"Enak, woi! Enak lho cilok Abang ini! Nggak mau kalian?" serunya pada teman-temannya yang masih ngumpul seperti kotoran lembu. Menumpuk.

"Maulah, aku pesan lima ribu."

"Satu lagi ya, Bang!" perintah gadis itu.

"Iya. Iya." Aku mengangguk sembari menabur senyum. Senang dapet lima belas ribu. Sudah bisa, nih buat nafkahin istri.

"Aku juga mau, Mei!" Terdengar teriak yang lain dari jauh.

"Satu lagi ya, Bang!"

Akhirnya aku sangat sibuk sekali. Apalagi harus bolak-balik, berjalan antara peti sepeda dan pagar pembatas sekolah. Lumayan jauh, tidak terjangkau oleh uluran tangan. Saking sibuknya, sehingga aku tidak sempat untuk melihat wajah-wajah daun muda itu lagi. Sekarang, sudah banyak yang mendekat ke dinding pagar karena tidak sabar menunggu antrian.

"Sini Bang! Aku bantuin. Abang bungkus aja, biar aku yang anterin." Suara seseorang mengejutkanku. Sekilas kulirik ke arah dadanya, untuk melihat siapa nama anak itu. Kok baik banget, mau bantuin orang yang lagi sibuk dan membutuhkan bantuan banget. Masih kecil. Baru tumbuh mungkin. Eh, mikir apa aku.

"Enak ya, cilok Abang! Lain dari yang lain," ucap anak itu memuji. Alhamdulillah, baru kali ini ada yang memuji masakan ane. 

Aku hanya tersenyum, merasa tersanjung oleh pujiannya. Apalagi yang memuji itu cewek. Wah....Seneng banget rasanya.

"Kalau sore, Abang mangkal dimana? Kok nggak pernah liat?" tanyanya ramah.

"Oh, di sana." Aku menyebut salah satu tempat biasa aku mangkal jika sore hari. Tempatnya enak, pinggir laut. Jualan sambil melihat nelayan pulang dari melaut.

Biasanya jika mereka pulang, akan banyak anak-anak yang menunggu di pelabuhan tempat kapal nelayan bersandar. Masing-masing mereka membawa kantongan kresek untuk meminta ikan pada para nelayan itu. Katanya untuk dimakan. Padahal, anak-anak yang mayoritas berambut pirang mirip bule itu berbohong. Ikannya mereka tawarkan kepada orang-orang yang mau beli. Sekilo atau dua kilo gram ikan segar di jual dengan harga murah. Siapa yang tidak mau coba?

Tapi, yang namanya nelayan, tetap akan memberikan jatah itu walaupun mereka tahu ikannya bakalan di jual, bukan untuk dikonsumsi sendiri. Karena mereka tahu bahwa mereka mencari rezeki di alam bebas. Dan diantara rezeki yang mereka dapatkan itu, ada banyak hak orang lain di dalamnya. Termasuk hak anak-anak itu.

Istilahnya rezeki laut, jika ada yang meminta untuk di makan, namun tidak di beri, katanya akan sial pas waktu melaut lagi. Makanya, mereka takut. Karena mereka percaya tentang hal itu.

Kalau ikan yang di minta oleh anak-anak itu laku mereka jual, mereka akan datang kepadaku, membeli daganganku. Seribu dua ribu rupiah, kan lumayan untuk nambahin beli saus.

Ah, orang dagang itu harus banyak perhitungan. Bahkan lima ratus rupiah pun harus masuk hitungan juga. Parah kan?

"Bagusan Abang jualannya di depan Ganesha aja, Bang! Kalau sore, banyak anak les Bahasa Inggris di sana. Orang jualan juga rame," ucap gadis itu memberi tahu. 

Gemes dech, mendengar suaranya yang merdu. Itu baru ngomong, belum nyanyi.

"Yang di jalan pelajar itu, ya?"

"Iya. Abang tau?" 

"Tau." Aku mengangguk.

"Kenapa nggak jualan di sana?"

"Banyak saingan."

"Oh. Kalau nggak mau bersaing, jualan di hutan aja, Bang!"

"Jadi, siapa yang mau beli?"

"Monyet, kali mau, Bang," jawabnya tertawa.

"Abang ini lucu, jadi pedagang kok malah takut bersaing. Abang baru ya, jualan?" Aku mengangguk. 

Kok nyaman banget ya ngomong sama adek ini. Orangnya cepat akrab. Rame dan seru. Apalagi orangnya, lumayan....

******


DRAMA PERSELINGKUHAN(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang