Ini hari ketiga aku jualan di tempat yang sama. Di depan sekolah SMA. Kelihatannya hari ini Mas Ridho tidak jualan lagi. Syukurlah. Mudah-mudahan dia tidak jualan lagi untuk selamanya. Sudah tua juga sih. Buat apa lagi cari uang banyak-banyak, coba? Sudah saatnya dia pensiun dan menikmati hasil pencariannya selama ini. Beri kesempatan kepada kami yang muda-muda ini untuk berkreasi. Jangan serakah. Toh kalau mati nanti, uangnya juga tidak akan dibawa.
"Abang kok pandai buat cilok begini? Ini dibuat sendiri atau orang tua abang yang buatin?" tanya Mei disela-sela kesibukan kami.
"Abang sendiri yang buat."
"Kok bisa?"
"Dulu abang pernah kerja di warung bakso."
"Oooo." Dia manggut-manggut.
"Kenapa berhenti?"
"Gajinya kecil. Sudah nggak cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga abang lagi, jika terus dilanjutkan ."
"Abang bantuin orang tua juga?"
"Tidak."
"Jadi?"
"Untuk kebutuhan keluarga sendiri."
"Maksudnya abang punya keluarga sendiri, gitu?" tanyanya penasaran. Dengan tatapan penuh selidik.
Aku mengangguk sembari tersenyum.
"Abang sudah menikah?" tanyanya lagi, seakan-akan tidak percaya.
"Iya."
"Serius, abang sudah menikah?" Dia terlihat masih belum percaya juga.
"Iya. Serius. Jika belum menikah, mana mungkin abang mau kerja seperti ini," ucapku meyakinkan.
Tiba-tiba saja kulihat wajahnya berubah datar, seperti kecewa. Tidak ceria lagi seperti tadi. Dan setelah itu, dia hanya diam saja. Namun, masih mau menemaniku, membantu untuk melayani pembeli.
Dengan ekspresi yang ia tunjukkan saat ini membuat aku merasa canggung sendiri. Kenapa tadi aku berkata jujur jika hanya untuk merusak suasana saja. Lebih baik aku tadi berbohong saja demi menjaga perasaannya. Tak apalah sedikit berbohong jika itu demi kebaikan bersama.
Eh, tapi, kenapa dia berubah cemberut begini ya? Apakah dia sedang cemburu?
Aku mencoba tetap bersikap tenang, tak mau terlalu terbawa perasaan atau malah kegeeran tentang asumsi ku barusan. Nggak mungkinlah dia sampai naksir sama aku, sedangkan aku, yah lihat saja sendiri. Nggak ada yang bisa dipandang dari hidupku ini sedikitpun.
"Mei, itu cowokmu ya? Dari kemarin lengket terus. Apa nggak ada lagi cowok lain yang mau sama kamu selain tukang cilok?" Segerombolan laki-laki datang mendekati kami sembari meledek Mei.
Oh iya, gadis ini namanya Mei. Teman-temannya juga memanggil dengan sebutan demikian. Mei. Tapi aku tidak tahu entah Mei apa kepanjangannya. Segan untuk bertanya. Takutnya dia salah paham dan menganggap aku peduli dan menyukainya. Padahal sesungguhnya, ada sih rasa itu. Tapi cuma sedikit. Hanya secuil saja.
"Abang ini udah nikah tau! Kalau dengar istrinya, abis kalian kena marah," ucap Mei ramah menjawab ledekan mereka.
"Apa? Abang ini sudah nikah?" Kali ini, teman ceweknya pula yang menanggapi ucapan Mei tadi.
"Iya." Mei mengangguk.
"Ah, nggak percaya."
"Iya, lho."
"Iya, Bang! Abang sudah nikah beneran?"
Aku mengangguk. "Iya. Emangnya ada nikah bohongan?"
"Ah, masak sih. Emang usia abang sudah berapa? Kami kira masih lajang lho, Bang! Nggak kelihatan dari mukanya kalau abang sudah nikah."
Aku hanya tersenyum, tak berniat untuk menjawab pertanyaan teman Mei itu. Nggak penting juga, sih.
Tapi, bagaimana dengan Mei? Apakah setelah ini dia akan pergi menjauh dariku? Ah, sudahlah. Buat apa juga aku terlalu memikirkannya. Toh besok-besok aku nggak jualan di sini lagi, kok.
*
Hari ini aku pulang cepat lagi. Kali ini, aku membawakan sebungkus bakso untuk Dewi. Aku tau itu merupakan makanan favoritnya. Walaupun selama tiga tahun bekerja di warung bakso, tidak lantas membuatnya merasa bosan untuk memakan makanan yang terbuat dari campuran tepung tapioka dan daging sapi giling itu. Hitung-hitung untuk mengambil hatinya kembali yang sudah tiga hari tidak mau bicara padaku.
Sebenarnya, banyak hal yang ingin aku sampaikan padanya. Termasuk ingin memberitahu bahwasanya selama tiga hari ini jualanku cepat habis, berkat telah di tolong oleh seorang malaikat kecil. Tapi karena dia hanya diam membisu, apa yang ingin aku sampaikan itu hanya kupendam seorang diri. Tak tersalurkan. Dan itu rasanya....
Ah, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Yang! Ini ada bakso untukmu. Cepat dimakan selagi masih panas." Aku masuk kedalam kamar dan mendapati Dewi sedang rebahan di atas kasur.
"Yang. Ini ada bakso. Mau nggak?" Dia hanya diam. Tak menjawab ucapanku.
Segera ku sentuh lengannya untuk membangunkan. Mana tau dia sedang tertidur.
"Yang. Ada bakso. Mau nggak?"
Dewi terjaga dan segera bangkit. Namun belum beranjak dari tempat tidur.
"Mau nggak? Nanti aku habisin, lho" ancamku padanya.
"Kok tumben ingat sama istri," ucapnya ketus.
"Kan memang setiap hari ingat. Emang apa aku pernah lupa?"
"Kemarin waktu bawa nasi bungkus, dimakan sendiri. Dewi nggak ditinggali."
Oh, karena itu perkaranya makanya aku dicueki selama tiga hari ini.
"Tapi Dewi nggak mau saat Mas tawari kemarin."
"Namanya juga orang lagi merajuk." Kini gaya bicaranya sudah terdengar sedikit lembut. Namun sikapnya masih jutek seperti tadi.
"Jadi, kenapa Mas yang disalahin?"
"Ya iyalah. Kan nggak mungkin jika Dewi mau nyalahin suami orang. Orang Dewi merajuk karena gara-gara Mas juga."
"Ya sudah. Kalau begitu Mas minta maaf ya, jika selama ini Mas telah menyakiti atau menyinggung perasaan Dewi. Mulai hari ini, Mas berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Sakit rasanya saat dicueki istri sendiri seperti itu. Sepanjang hari kepikiran terus sama Dewi. Takut jika Dewi pergi minggat dari rumah. Mas harus nyari kemana, coba?"
"Makanya hati istri itu dijaga kalau merasa takut kehilangan. Kalau istri itu minta sesuatu, apa salahnya jika sesekali dituruti. Bukan pun setiap hari Dewi minta dibeliin ini dan itu sama Mas. Lagian, karena Dewi tau bahwa Mas punya uang berlebih, makanya Dewi pinta. Tak baik jika laki-laki dibiarkan memegang uang banyak-banyak. Nanti penyakitnya bisa kambuh. Penyakit main perempuan di luar sana."
"Ya ampun, Dek, Dek! Kok bisa-bisanya adek berpikiran jahat seperti itu sama Abang. Apa pernah selama ini abang berbohong sama adek. Begini-begini abang ini orangnya setia lho, Dek. Adek kan tau sendiri bagaimana sifat abang dari dulu. Adek kan sudah mengenal abang lama, kenapa masih curiga sama abang, sih?" ucapku membela diri. Menyayangkan ucapannya.
"Abang? Sejak kapan Dewi memanggil Mas dengan sebutan Abang. Jangan-jangan feeling Dewi benar. Mas sudah punya selingkuhan di luar sana, iya?" Sorot matanya menatap tajam ke arahku. Tatapan penuh selidik.
Ah, kenapa aku sampai salah ngomong dengan menyebut diriku sendiri Abang di hadapan Dewi. Apakah aku masih kepikiran terus kepada Mei, ya? Kenapa wajah anak itu tiba-tiba berubah datar saat aku bilang sudah menikah. Apakah benar, dia merasa kecewa padaku. Kalau benar, kok bisa?
****
KAMU SEDANG MEMBACA
DRAMA PERSELINGKUHAN(Selesai)
RomanceMembaca cerita ini dapat menyebabkan darah tinggi, sakit kepala dan kegilaan. Karena unsur cerita didalamnya banyak menceritakan tentang bagaimana tabiat atau kebiasaan para laki-laki yang sudah beristri diluaran sana. Jangan-jangan suami anda juga...