"Bu... bukan begitu maksudnya, Dek! Mas hanya terbawa suasana saja tadi. Saat berjualan, biasanya Mas menyebut diri Mas, dengan panggilan Abang kepada pembeli." Aku beralasan. Mudah-mudahan Dewi percaya dengan semua ucapanku dan tak memperpanjang masalah ini lagi.
"Yang bener?" Dia menatapku dengan tatapan serius.
"Iya lho, Sayang. Dewi tau sendiri 'kan bagaimana sifat Abang selama ini. Eh, maksudnya, Mas. Mas tidak mungkin berbicara dengan sembarangan orang. Apalagi sama cewek. Masa Dewi nggak percaya sama Mas. Jangan-jangan Dewi cemburu buta ya, sama Mas?" Aku mencoba menggodanya agar dia tidak merasa curiga lagi.
"Itukan dulu sewaktu kita belum menikah, Mas! Biasanya sifat seseorang itu akan berubah seratus delapan puluh derajat saat sudah berumah tangga. Yang dulunya jahat, bisa jadi baik luar biasa. Dan begitu juga sebaliknya, yang dulunya baik bisa berubah jahat luar biasa. Ada lho kejadian, suami temannya Dewi sendiri yang dulunya rajin kerja sekarang malah malas-malasan setelah sudah menikah. Hanya bergantung pada istrinya saja. Dewi hanya tidak ingin jika Mas berubah seperti itu. Boleh berubah, asal jangan banyak-banyak. Itupun berubahnya ke arah yang lebih baik."
"Iya. Iya. Mas tidak akan berubah sedikit pun untuk Dewi. Mas berjanji akan tetap seperti ini sampai kapanpun jika itu yang Dewi inginkan. Tapi, Mas juga tidak ingin jika Dewi berubah manja dan tukang merajuk seperti ini lagi, ya!" Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya sehingga tatapan kami saling beradu.
"Janji?"
"Hemm." Dewi menganggukkan kepala pelan.
Lalu sebuah kecupan lembut kudaratkan tepat dikeningnya sebagai tanda cinta. Lega. Masalah selesai. Mudah-mudahan Dewi tidak menaruh curiga dan merasa cemburu buta lagi kepadaku.
"Pergi mandi sana! Mas bau," perintahnya sembari mendorong tubuhku menjauh.
"Bentar lagi. Mas masih lelah. Pengen istirahat dulu sebentar."
"Ish, Mas jorok, dech. Pergi cepat mandi sana! Biar segar."
"Bentar lagi lho, Sayang!"
"Cepetan! Dewi lagi mau, nih," ucapnya manja.
Dia masih saja mendorong-dorong tubuhku agar segera keluar dari kamar menuruti perintahnya.
Eh, apaan itu maksudnya? Apakah itu merupakan sebuah kode rahasia?
*
Pagi ini aku kembali berangkat jualan menuju tempat biasa aku mangkal. Sekolah SD yang jaraknya paling dekat dengan kediaman kami. Setelah mereka masuk kelas, aku tidak lantas pergi. Aku berdiam diri sejenak, menaksir-naksir kira-kira anak SMA sudah masuk apa belum. Aku tidak ingin berjualan di sana lagi. Selain masih merasa canggung untuk bertemu dengan Mei, aku juga tidak ingin merusak hubunganku yang mulai membaik dengan Dewi. Bagaimanapun juga, Dewi merupakan istri yang sah untukku. Sudah layaknya aku memperlakukannya dengan baik. Walaupun yang di sana terlihat lebih segar, namun itukan rumput tetangga. Tak patut aku berharap banyak padanya. Takut jadi dosa.
Selang beberapa menit kemudian, barulah aku bergerak. Tak apa kehilangan banyak pemasukan untuk hari ini. Toh, kalau rezeki takkan lari kemana. Nanti juga datang sendiri. Buat apa juga banyak uang jika kita tidak merasa bahagia. Berantem. Berantem. Berantem hanya perkara uang. Lebih baik sedikit asal mencukupi. Itu baru berkah namanya.
Setelah melewati gedung SMA, kulihat para siswa sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa orang siswa yang terlihat masih berkeliaran di halaman sekolah, belum masuk ke dalam kelas. Dan Mas Ridho terlihat sudah berjualan kembali. Ah, syukurlah. Berarti, mulai besok aku sudah bisa leluasa lewat dari sini. Beraktifitas normal seperti biasa kembali. Terbersit rasa lega dalam hati.
*
Hari ini rasanya tidak bersemangat dalam berjualan. Daganganku terasa sepi sekali. Sudah hampir jam empat sore, Cilok yang kubawa masih banyak tersisa. Mungkin karena efek ramai selama tiga hari belakangan ini, membuat aku kehilangan gairah untuk hari ini. Biasanya, jam segini aku sudah pulang, bisa selonjoran di atas kasur melepas lelah. Dan saat ini, aku masih disini, menunggu seribu dua ribu rupiah dari saku anak-anak kecil yang lewat sebagai tambahan modal untuk besok. Ah, susahnya cari uang.
Lama aku menunggu, namun hanya ada satu dua orang anak yang datang mendekat untuk membeli daganganku. Itupun tak seberapa, hanya seribu dua ribu saja. Orang tuanya pada pelit semua, seperti kebanyakan emak-emak lainnya. Suka perhitungan dengan uang. Bahkan perkara untuk mengeluarkan seribu rupiah saja pun sanggup berdebat hebat dengan anaknya yang masih kecil di hadapan orang ramai.
"Baru lagi kau minta jajan, ini sudah minta jajan lagi. Di rumah berserak jajanmu pun bukan kau makan. Bagus kau tak usah ikut tadi," ucap seseibu memarahi anaknya ketika anak itu meminta untuk dibelikan cilok jualanku.
Mendengar celoteh ibu itu saja sudah naik tensiku. Namanya juga anak-anak, ya wajarlah minta jajan terus. Kalau memang belum sanggup untuk memenuhi kebutuhan anak, mendingan nggak usah di buat dulu. KB...KB.....Kalau tidak childfree....
Lama aku tercenung, merenungi nasib. Hingga terdengar suara seseorang menyapaku.
"Cilok, Bang!" Suaranya terdengar begitu lembut dan tak asing di telingaku.
Aku menoleh setengah terkejut. 'Mei!'
Ternyata benar. Mei datang ketempat lapak jualanku. Sore-sore begini. Mau apa dia?
" Kok melamun aja, Bang? Lagi mikirin apa?" tanyanya lembut sembari menabur senyum. Ah, manis.
"Eh, Mei. Kamu kok ada disini?" tanyaku heran.
"Ya, mau beli lah Bang. Jadi mau ngapain lagi."
"Oh, iya ya." Aku jadi salah tingkah dengan menggaruk-garuk rambut bagian belakangku.
"Masih ada, Bang jualannya?"
"Iya, ada. Malah masih banyak." Tanpa kuperintah, dia langsung membuka tutup panci jualanku.
"Masih banyak ya! Kenapa tadi tidak jualan di depan SMA? Padahal sudah Mei tungguin, lho."
"Oh iya. Sengaja nggak singgah. Soalnya segan sama Mas Ridho."
"Nggak apa-apa, Bang! Namanya juga orang jualan. Ngapain segan-segan. Orang sama-sama cari makan."
Uihh, kok dewasa banget ngomong adik ini ya? Padahal masih duduk di bangku SMA.
"Iya, sih. Cuman Abang aja yang malu. Masih newbie, pemula. Malu sama senior."
"Alah, jualan aja pun, Bang! Ngapain malu-malu." Aku hanya cengar-cengir. Tambah malu diceramahi sama bocil.
"Ini berapa semuanya, Bang? Biar Mei aja yang borong."
"Haaa. Kamu mau beli semuanya?" Tanyaku tak percaya.
"Iya lho, Bang. Biar cepat abis. Kasian liat abang belum pulang jam segini. Tadi abang kesiangan ya?"
"Kok kamu tau?"
"Jangan panggil kamu dong, Bang! Panggil Mei aja!"
"Iya. Iya. Kok Mei tau?"
"Tadi Kan sudah Mei bilang kalau Mei nungguin Abang."
Aduh. Melihat sikap Mei blak-blakan seperti ini, kenapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak ya? Takut jangan-jangan feelingku selama ini benar. Dia menyukaiku. Aduh, gimana ini? Bisa gawat jika Dewi sampai tau.
Apalagi jika diterawang lebih dalam lagi, anak ini terlihat pemberani. Bagaimana jika dia sampai nekat datang ke rumah untuk menemuiku.
Bisa perang dunia ketiga, nih.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
DRAMA PERSELINGKUHAN(Selesai)
RomanceMembaca cerita ini dapat menyebabkan darah tinggi, sakit kepala dan kegilaan. Karena unsur cerita didalamnya banyak menceritakan tentang bagaimana tabiat atau kebiasaan para laki-laki yang sudah beristri diluaran sana. Jangan-jangan suami anda juga...