Awal Menikah

8.5K 71 0
                                    

"Nggak abis lagi, Mas?" tanya Dewi saat menyambut kepulanganku.

"Hemmm," sahutku, mengangguk sembari menyangga sepeda yang baru saja aku tunggangi dengan sebilah kayu, yang di rancang khusus sebagai tongkat penyangga tambahan agar tidak jatuh.

Dewi, yang sedari tadi berdiri di ambang pintu menungguku, keluar mendekat ke sepeda yang baru saja aku cagak, lalu membuka tutup panci yang ku ikat kuat dengan tali karet agar tidak terbuka saat dalam perjalanan. Seketika, aroma anyir langsung menyeruak keluar dari sana menyengat hingga ke lubang hidungku.

Mencium aroma tersebut, tiba-tiba saja perutku terasa mual. Bagaimana tidak, sudah sebulan ini, aroma anyir itu senantiasa menemani hari-hariku. Cepat aku berlalu meninggalkannya sendirian, menuju kamar untuk mengambil handuk, lalu bergegas pergi menuju kamar mandi.

Setelah selesai membersihkan sekujur tubuh, aku membaringkan diri di atas kasur, meluruskan badan untuk mengusir rasa lelah. Kasur itu terletak di sudut kamar yang kecil begitu saja, tanpa adanya kaki penyangga sama sekali. Rumah ini baru saja kami tempati sekitar dua minggu yang lalu, setelah kami berdua memutuskan untuk pindah dari rumah mertua dan mengontrak di sini.

Rumahnya minimalis, hanya ada satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Ruang tamu dan dapur yang sangat kecil sekali.

"Tidak apa-apa kecil, Mas! Yang penting ada tempat kita untuk bernaung. Tidak basah terkena hujan, dan tidak panas tersengat matahari. Lagian, Dewi juga tidak terlalu repot untuk mengurusnya nanti jika Dewi sudah mendapatkan pekerjaan. Toh, kita juga bakalan jarang di rumah juga, kan! Cuma untuk numpang tidur doang," ucap Dewi untuk sekedar menghiburku, sembari memeluk erat tubuh ini sebelum kami tidur.

"Apa kamu merasa nyaman tinggal di tempat seperti ini?" tanyaku lagi, karena rumah yang kami tempati ini lebih cocok untuk kandang monyet.

Dewi mengangguk sembari tersenyum menatapku lekat. 

"Dewi merasa lega dan bahagia sekarang, setelah bisa keluar dari rumah ibu. Di sini kita berdua bisa bebas, tanpa harus diatur lagi oleh mereka, Mas."

Aku diam sejenak, menarik napas dalam. Kupalingkan pandangan ke langit-langit kamar, sembari menatap cahaya bulan yang mengintip dari celah atap yang berlubang.  Baru sadar, jika memulai dari awal kembali itu sangat sulit sekali, apalagi tanpa campur tangan dari orang tua.

Ah, sebenarnya untuk pengantin baru seperti kami ini masih sangat membutuhkan bimbingan dari mereka. Baik itu dukungan secara moral dan juga material. Kami sangat memerlukan bantuan. Namun, apa yang kami dapatkan dari mereka? Tidak ada. Mereka semua seolah-olah lepas tangan dan menganggap kami sudah mapan karena telah menikah.

Kakak, adik, saudara, ipar, semuanya menatap rendah kami saat masih menumpang di rumah ibu mertua. Okelah, jika mereka memperlakukan itu padaku, tidak apa-apa. Karena nyatanya aku memang orang asing yang menumpang di rumah orang tua mereka. Namun, hal ini mereka lakukan juga kepada Dewi, seolah-olah ingin mengeluarkan saudari mereka sendiri dari sana dengan dalih sudah menikah dan harus ikut dengan suami. Apakah hal itu perbuatan yang pantas untuk dilakukan?

"Sudah makan, Mas?" Suara Dewi menyadarkanku dari lamunan. Aku menggeleng.

"Pergi makan dulu sana! Dewi masak sup ayam tadi. Mumpung masih hangat." 

"Iya," jawabku masih tetap dengan posisi semula. Rasanya malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur. Selain karena seluruh persendian kaki terasa pegal karena mengayuh sepeda seharian, semangatku juga rasanya menghilang karena tidak membawa pulang banyak uang hari ini.

Ada, sih sebenarnya hasil penjualan cilok hari ini, namun sangat sedikit sekali. Untuk modal jualan esok hari saja masih kurang. Sedangkan jualan hari ini yang tidak habis, sudah semestinya di buang saja karena sudah tidak layak untuk di jual lagi. Cilok itu merupakan cilok kemarin yang tidak habis. Rasanya sudah terasa hambar karena terlalu sering dipanasi. Para bocah yang rata-rata duduk di sekolah dasar langgananku sudah banyak yang protes dengan mengatakan jika cilok yang ku jual tidak ada rasa sama sekali. 

"Kenapa ciloknya seperti rasa tepung saja, Jhon? Apa si Jhon lupa ngasi bumbu, ya?" Komplain beberapa anak yang membeli jualanku. Rasanya sangat malu sekali untuk menjawab pertanyaan mereka itu. Untung saja mereka masih anak-anak yang belum banyak mengerti, sehingga mudah untuk aku bohongi.

"Iya, Jhon! Tadi lupa ngasi garam," ucapku untuk meyakinkan mereka. Agar besok mereka mau beli lagi. 

Jhon itu panggilan anak-anak untuk kami para pedagang laki-laki yang berjualan di sekitar sekolah mereka. Entah darimana mereka mendapatkan gelar itu. Aku yang merupakan orang baru merintis disini, mengikuti kebiasaan mereka saja. Apa yang mereka bilang, begitu juga yang aku bilang.

Dewi mengambil posisi duduk di sampingku yang masih dalam posisi berbaring.

"Ciloknya dibuang saja ya, Mas! Rasanya sudah tidak enak," ucapnya sembari mengelus bahuku dengan lembut.

"Tapi, uangnya tidak cukup untuk buat yang baru."

"Dewi ada simpanan sedikit. Mas pakai saja untuk modal besok. Mudah-mudahan jualan Mas besok, bisa habis dan laris manis. Amin," ucapnya sembari tersenyum, dengan sebuah keyakinan yang besar. Berharap jika jualanku akan habis dan ramai pembeli.

"Kamu tidak menyesal, menikah denganku?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.

Dewi menggeleng." Tidak, Mas! Dewi tidak pernah menyesali keputusan Dewi untuk menikah dengan, Mas. Sekalipun hidup kita susah, bahkan jika Allah menguji dengan kesusahan yang lebih parah dari ini sekalipun, mudah-mudahan Dewi akan tetap setia untuk mendampingi, Mas," ucapnya tulus dengan penuh keyakinan.

Aku tertegun mendengar penuturan darinya, merasa bersyukur karena telah di titipkan oleh Tuhan wanita tegar seperti dia. Beruntung dapat memilikinya, walaupun usianya terpaut dua tahun lebih tua di atasku. Justru itu, yang membuatnya terlihat lebih dewasa dariku. Sedangkan aku sendiri, merasa malu dengan kelemahan yang kumiliki. Tak pantas rasanya aku harus senantiasa berlindung di bawah ketiak istri. Setiap ada masalah dalam biduk rumah tangga kami, Dewi Lah yang senantiasa mencarikan jalan keluarnya, bukan aku. 

Sama halnya dengan hidup mandiri seperti saat ini, awalnya aku merasa ragu saat Dewi mengajakku untuk mencari rumah kontrakan. Selain tidak memiliki uang, aku juga tidak memiliki pekerjaan tetap. Bahkan  sehabis menikah tempo hari, aku belum mendapatkan pekerjaan sama sekali. Mau ku kasi makan apa istriku nanti.

"Jangan takut, Mas sebelum kita mencoba terlebih dahulu. Yakinlah bahwa menikah itu merupakan jalan pembuka beribu pintu rezeki. Yang penting kita harus senantiasa berikhtiar dan tetap berusaha. Mana tahu, setelah kita tinggal di rumah kontrakan nanti, ada orang yang mau berbaik hati datang untuk menawarkan pekerjaan buat Mas, ataupun buat Dewi. Kan, tidak ada yang tahu," ucapnya kala itu untuk meyakinkanku. Dirinya terlihat bersemangat sekali untuk pergi meninggalkan rumah ini.

"Jikapun kita tetap tinggal menumpang di sini, mau sampai kapan? Dewi hanya tidak ingin mereka semua memandang rendah pada Mas. Biarlah kita bersakit-sakit dahulu, makan tak makan pun tidak mengapa, yang penting kita bisa keluar dari rumah ini secepatnya. Mumpung Dewi masih memiliki sedikit simpanan untuk mengontrak rumah. Jika uangnya nanti habis, mungkin kita tidak akan bisa lagi keluar dari sini. Bagaimana, Mas? Apakah Mas mau mendengar ucapan Dewi?" Dia menatapku dengan penuh harap. Memohon agar aku mau menuruti permintaannya.

Dengan setengah keyakinan, akhirnya aku menurut juga. Walaupun aku tahu bahwa semua ini akan sangat sulit untuk kedepannya. Jujur, saat ini aku memang belum siap untuk itu.

*****

DRAMA PERSELINGKUHAN(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang