Tatapan yang Menggetarkan Kalbu

1.3K 21 0
                                    

"Masih baru. Waktu jualan di depan SMA kemarin."

"Kenapa Mas, tidak cerita?"

"Bagaimana Mas mau cerita, sedangkan Dewi aja merajuk terus kerjaannya."

Dia diam. Tak bicara lagi sepatah kata pun. Sampai tiba-tiba sebuah mobil berwarna merah mengejutkan kami dengan menyalakan klaksonnya, berhenti dan parkir tepat di belakang kami. Dari dalam mobil itu keluar seorang wanita cantik yang sudah tidak asing lagi di mataku.

"Sudah lama Abang sampai?" tanya wanita itu ramah kepada kami sembari memperlihatkan senyuman terindahnya.

"Ba_baru saja," jawabku gugup sembari menelan ludah.

"Ini istri Abang?" tanyanya lagi, menunjuk ke arah Dewi. 

"I_iya. Ini istri saya," jawabku masih gugup seperti tadi.

Ah, jantungku berdebar semakin tidak karu-karuan saat melihat penampilan Mei berdandan seperti ini. Dengan mengenakan baju Dress berwarna kuning keemasan sebatas lutut, penampilannya terlihat sangat menawan. 

Bibirnya yang tipis dipolesin dengan lipstik berwarna merah cerah. Kulit wajahnya yang putih bersih kini terlihat semakin mempesona karena di permak dengan mengaplikasikan berbagai macam alat kosmetik sehingga terlihat kinclong dan berwarna kemerah-merahan. Begitu juga dengan tatanan rambutnya yang hitam legam, kini digulung-gulung kecil seperti bentuk sosis goreng siap makan. Aku saja hampir pangling saat melihatnya tadi. Apalagi ketika dia baru saja keluar dari dalam mobil. Sungguh tidak menyangka jika itu adalah Mei yang aku kenal selama ini.

Penampilannya yang terlihat menawan itu sangat kontras jika di bandingkan dengan penampilan Dewi yang saat ini terlihat seperti.... Ah, entahlah. 

Aku saja tidak sampai hati untuk mengatakannya. Dewi hanya mengenakan baju tidur sejenis piyama, kesayangannya. Salah satu baju yang dia beli saat akan menikah denganku beberapa waktu lalu. Dengan budget yang pas-pasan, Dewi memilih piyama yang harganya agak miring agar dapat dua helai. Kemana-mana,  pakaian itulah yang ia kenakan selama ini. Selain nyaman untuk dipakai, stelan piyama itu yang paling baru di antara pakaiannya yang lain. 

Sedangkan wajahnya, terlihat kusam tanpa riasan sedikit pun. Bibir dan rambutnya... Ah, sudahlah. Nanti dia nangis jika aku sebutkan satu persatu.

"Kenalkan! Saya Mei." Mei menjulurkan tangannya kearah Dewi dengan tatapan ramah. Sedangkan senyumannya masih mengembang menghiasi bibirnya yang merekah. Dewi menyambut uluran tangan Mei dengan raut wajah bertambah cemberut.

 Ih, geram melihat ekspresi Dewi seperti itu. Malah bersikap seperti orang sombong. Entah apa yang dia sombongkan. Apa sih susahnya memasang wajah ceria barang kali sedikit saja, sebagai bentuk penghargaan agar orang lain yang melihatnya ikut senang. Ini malah menunjukkan raut wajah masam, seperti orang susah saja. Persis seperti raut wajah orang belum makan satu bulan.

"Dewi," jawab Dewi kecut, sembari berjabat tangan.

"Maaf ya agak telat. Tadi agak sibuk di rumah," ucap Mei ramah, dengan senyuman manis yang masih menghiasi bibirnya.

"I_iya. Tidak apa-apa," jawabku, masih dengan kegugupan yang hakiki.

"Ya udah. Ayo kita berangkat sekarang!" Ajaknya sembari berjalan menuju ke arah mobilnya tadi.

Aku dan Dewi saling terpaku, merasa bingung melihat tingkah laku Mei. Katanya ingin mengajak kami ke rumahnya, tapi kenapa malah mengajak naik ke mobil, bukan mengajak masuk ke dalam ruko. Bukankah rumahnya ada di sini?

"Kok malah bingung? Ayo cepat naik," teriaknya dari balik kemudi mobil merah itu. 

Aku dan Dewi saling bersitatap, sama-sama merasa kebingungan.

"Ayo! Kok malah diem aja?"

Aku celingak-celinguk, antara melihat Mei dan ruko yang ada di belakangku. Kemudian, Mei turun kembali dari mobilnya dan mendekat menghampiri kami.

"Ayo! Bapak sama ibu sudah nungguin kita di rumah, lho," ucapnya menjelaskan.

"Tapi, ini." Aku menunjuk ke arah ruko yang dipenuhi oleh berbagai macam corak warna pakaian itu.

"Oh, ini rukonya Bapak untuk jualan aja. Kami tidak tinggal di sini. Kami tinggal di kompleks."

"Oh, gitu ya." Aku baru paham.

"Iya." Mei tersenyum melihat kebodohan kami. Aku kira tadi, mereka tinggal di ruko ini.

"Sengaja Mei suruh Abang nunggu di sini supaya nyari alamatnya gampang. Kalau nyari alamat langsung ke kompleks agak ribet. Harus lapor dulu sama securiti kalau mau masuk."

"Oh, gitu ya. Abang kira tadi Mei tinggal di sini."

Dia kembali tersenyum. Ih, senyumannya itu, sungguh sangat-sangat menggemaskan. Jadi pengen tak cubit tuh pipi tembemnya.

"Kakak di depan aja sama Mei," ucap Mei sebelum masuk ke dalam mobil kembali.

Sedangkan aku, langsung mengambil tempat untuk duduk di belakang. Sengaja aku memilih duduk di sebelah kiri agar Dewi tidak cemberut lagi. Pasti cemburu tuh, makanya raut wajahnya kecut terus seperti itu.Ternyata, susah juga kalau punya istri yang terlalu sensitif seperti Dewi. Terlalu gampang  cemburu buta.

"Kenapa kakak tidak naik, Bang?" tanya Mei kepadaku setelah menunggu beberapa saat, namun Dewi tak kunjung masuk ke dalam mobil. Dewi hanya berdiri di luar saja. Celingak-celinguk seperti orang oon.

Aku hanya menggeleng. Merasa ikut bingung dengan kelakuan anak itu. Aneh-aneh saja.

"Apakah Kakak merajuk lagi?" tanya Mei kembali. Mungkin merasa tidak enak juga, mengingat bagaimana sikap Dewi selama ini setelah mendengar ceritaku tempo lalu.

Aku kembali menggeleng. Tak mengerti.

"Coba Abang tanya dulu!" pinta Mei padaku.

Aku mendengus kesal, sembari keluar dari mobil.

"Kenapa tidak masuk? Apa kamu tidak ingin ikut, ha?" tanyaku geram dengan intonasi suara meninggi, namun sedikit tertahan karena takut di dengar orang.

Kulihat Dewi menunduk, raut wajahnya kini terlihat gelap. Dia memain-mainkan jari-jemarinya seperti anak kecil.

"Hei!" hardikku kesal sembari menepis sedikit lengannya agar dia merespon pertanyaanku.

"Pintunya nggak bisa di buka," ucapnya pelan, seperti sungkan untuk menatap wajahku.

Segera ku buka pintu itu, dan..., creeekkk.  Terbuka.

Dewi langsung masuk tanpa menoleh sedikitpun padaku lagi.

Setelah aku duduk, barulah Mei menghidupkan mesin mobil. Selang beberapa menit kemudian kami telah meluncur ke badan jalan yang disesaki oleh berbagai macam jenis kuda besi. Berlalu lalang kian ke sana kian kemari. Ramai. 

Di sela-sela keramaian itu, terlihat pula Mei begitu lihai dibelakang setir kemudi, menyalip dari celah-celah badan jalan yang berongga, melewati tiga sampai empat kendaraan yang saling berkejar-kejaran untuk saling mendahului. Berlomba-lomba mengikuti keinginan tuannya, kemana dia akan diantar pergi.

Melihat kelihaiannya itu, aku semakin takjub dibuatnya. Tak lepas pandanganku tertuju kearah Mei, melihat bagaimana dia melakukannya. Sesekali, tatapan mata kami saling bertemu, melalui kaca spion yang ada di depannya.

Dan tatapannya itu, begitu menggetarkan kalbu.

*****







DRAMA PERSELINGKUHAN(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang