Bagian 2

32 3 4
                                    

"Wah, itu Albert. Hei, sini, sini."

Kaget dengan apa yang diucapkan oleh temannya barusan, Remi terbelalak dan langsung menoleh keberadaan pria itu. Yang benar saja, Albert datang sesuai dengan perkiraan dan perasaannya.

"Hai, guys. Udah lama gak ketemu, nih," sapa Albert dengan murah senyum.

Banyak sorakan berupa rasa kangen dan permintaan oleh-oleh yang dikeluarkan dari mulut mereka. Beberapa dari mereka juga bersalaman atau berpelukan ramah dengannya. Teman-temannya sangat gembira bertemu dengan Albert karena terakhir kali mereka bertemu adalah hanya saat graduation day. Suasana dalam acaranya menjadi lebih meriah seolah-olah dia merupakan tamu undangan yang paling ditunggu-tunggu. 

"Gimana kabarmu? Ceritain pengalamanmu di Amerika, dong." Albert hanya tertawa kecil mendengar ujaran salah satu temannya, tetapi dia memutuskan untuk menceritakannya. 

Setelah kelulusan SMA, dia memilih untuk berkuliah di Universitas Stanford dengan jurusan Ilmu Komputer. Baru mendengarkan awal perkuliahan tersebut saja sudah membuat bulu mereka bergidik karena seleksi untuk masuk ke dalam universitas tersebut sangat ketat. Namun, salah satu dari teman mereka mampu masuk ke dalam universitas tersebut meskipun itu hal yang wajar karena keturunannya dari Amerika. Hal ini sungguh menakjubkan jika dia mampu masuk ke dalam universitas ternama itu. Walau banyak sanjungan dan pujian yang diberikan kepada Albert, dia hanya tertawa dengan sedikit canggung dan menyatakan bahwa ini semua karena hasil perjuangannya, bukan murni dari kepintarannya. Bahkan, dia dengan rendah hatinya tetap berkata bahwa teman-temannya juga memiliki kesuksesan yang tidak jauh kalah keren dan memuji pencapaian mereka. 

"Ah, kamu baik banget, Albert. Dari dulu sampai sekarang gak pernah berubah ya," ujar salah satu temannya. 

"Biasa ajalah. Emang benar kok, kalian jauh lebih berkembang daripada sebelumnya, kan?" balas Albert yang diikuti dengan reaksi senang temannya. 

Berbeda dengan teman-temannya, rasa ketakutan Remi makin parah daripada sebelumnya. Seiring waktu berjalan, keringat tanpa henti mengucur dari pelipisnya. Walau pikirannya sedang mencari alasan mengapa tubuhnya bereaksi seperti ini, tidak ada sepatah katapun yang keluar mampu menjelaskan kondisi ini semua. Apakah dia menjadi gugup karena dia bertemu dengannya pertama kali selama bertahun-tahun? Padahal, dia sudah menyiapkan dengan matang apa yang dia akan lakukan saat mereka berdua berbicara satu sama lain. Meski sudah memikirkan beberapa kejadian yang akan terjadi, Remi yakin bahwa dirinya sudah siap untuk menghadapi konsekuensi pada akhirnya. Bahkan dengan suasana yang meriah saat ini juga seharusnya tidak membuatnya merasa canggung karena tingkah laku Albert tidak sama sekali berubah. Apapun balasannya pasti pilihan kata yang akan dia lontarkan tidak sekasar yang di pikiran Remi. 

Remi berusaha untuk mengambil nafas masuk dan mengeluarkannya perlahan-lahan untuk menenangkan dirinya. Berkat bantuan teknik pernafasan ini, dia mulai merasakan ketenangan bermunculan untuk membantah pikiran dan batinnya yang aneh. Dia mulai meyakinkan dirinya sendiri bahwa hari ini adalah reuni paling terakhir setelah mengucapkan permohonan maaf dengan benar. Dan, semuanya akan berakhir dengan baik-baik saja dalam pertemuan ini. 

Selama memanipulasi pemikiran negatif untuk berubah menjadi positif, Remi tetiba teringat dengan perasaan horor yang dialami semalam.  

"Maaf ya, Remi. Aku sudah tidak tahan lagi."

Albert melemaskan tubuhnya dan menjatuhkan dirinya dari bangunan tersebut sebelum Remi meraih tangannya. Nama yang dikeluarkan oleh teriakan Remi terdengar begitu jelas sembari dia berusaha meraih tangannya, tetapi semuanya sia-sia. Tempat kejadian tersebut cukup persis dengan jalan raya yang barusan dilewati, di mana para kerumunan mengelilingi mayat tersebut dan polisi berusaha untuk memberikan jarak dengan peringatan pita kuning. 

Dua Hari [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang