Bagian 5

18 3 1
                                    

Seusai keduanya berpamitan, Remi segera langsung masuk ke ruangnya dan mulai mempersiapkan meja makan dan berbagai peralatan makanan. Tidak lupa juga dia meletakkan kompor portable beserta wadah besar di tengah meja dan mengeluarkan bahan-bahan makanan yang dipersiapkan.

Sembari menunggu air rebus di wadah besar, Remi mengupas dan memotong bahan pengawet alami, seperti jahe dan bawang putih, yang lalu akan ditumiskan di dapur kecilnya.

Sepuluh menit terlewatkan, air sop sudah mendidih, Remi memasukkan beberapa bahan, seperti tofu, daging, bakso, jamur dan sebagainya. Dia juga sempat menyicip rasa kuah tersebut.

"Hm... udah oke, sih," gumam Remi sambil mencicipi masakannya.

Seketika suara ketukan pada pintu terdengar, mengagetkan Remi. "Gak berasa ya, waktunya secepat itu." 

Menatap jam dindingnya sebentar, Remi segera menghampiri pintu masuknya, membukanya. Sosok pria yang berambut pirang pekat, mengenakan baju kasualnya dengan dua lapisan lengan panjang dan celana jogger. Remi hanya menatapnya sekilas dan mengucapkan 'halo' dengan pelan, balasan yang didapatkan pun juga serupa. Begitu lama Remi tidak merasakan kedatangan seorang tamu yang berkunjung ke ruangnya. Ada rasa tersipu dan khawatir jika dia nanti tidak mampu menyambutnya sesuai ekspektasi. 

"Silahkan masuk. Anggap aja ini rumahmu juga." Remi tersenyum hangat, membiarkan Albert masuk ke dalam ruangnya, mempersilahkannya untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Usai mereka duduk di tempatnya masing-masing, mereka mulai makan malam bersama. Awalnya, rasa canggung sempat menhampiri, menemani mereka berdua. Albert lengang karena dirinya sedang tidak mood untuk berbicara, sedangkan Remi sedang mencari waktu yang tepat untuk menginisiasi obrolan. Kendati demikian, Remi memasang muka yang ceria seolah tuan rumah harus selalu menyambut tamu dengan hangat, mulai berbicara dengan basa-basi kepada Albert.

"Aku belum pernah bertemu kamu di sini sebelumnya. Emang sejak kapan kau pindah di apartemen ini?" tanya Remi.

"Sekitar lima hari lalu, sih. Tapi, aku tidak keluar rumah sama sekali." Albert menatap hidangan di atas mejanya. Awalnya sempat ragu dengan masakan Remi, tetapi tetap menyicipnya lebih lanjut.  

Remi awalnya heran mengapa dia tidak bertemu dengan Albert di hari sebelumnya. Mungkin hari itu belum waktu yang tepat untuk mempertemukan mereka berdua. Namun, ada kejanggalan yang dirasakan Remi. Dia tidak merasa ada kehadiran tetangga baru sama sekali lima hari lalu. 

Di sisi lain, Albert merasa belum terbiasa dengan atmosfir di ruang ini. Bukan karena dia semerta menjadi tetangga di sebelah Remi, begitu juga bukan karena ada perasaan negatif dari acara reuni kemarin. Melainkan ada 'rumah' yang tetap menyambutnya dengan harmonis meskipun ruang ini hanya ada dua orang saja. Aroma hidangan mengisi suatu ruang, memberikan kehangatan yang tak mampu dideskripsikan. Sejujurnya, Albert mengakui dalam diam kalau masakan Remi tidak seburuk yang dia pikirkan. Meski ruang tersebut sempit dengan lampu ruang yang cerah dan kelengangan sementara, Albert merasa sedikit lebih rileks dibandingkan dengan ruangnya. 

"Gak nyangka kalau kamu itu tetangga satu-satunya yang bersebelahan dengan ruangku." Albert mengatakan demikian sembari mengunyah kecil. 

"Haha, iya. Kalau begini, dua hari akan cukup, nih."

"Phew... Di sisimu pasti beruntung, tetapi gak denganku," cibir Albert.

Remi hanya tertawa kecil dengan pernyataannya. "Kalau boleh tahu, kenapa kamu mau pindah ke sini?" 

Albert sejenak lengang dengan pertanyaan tersebut, mulai membuka mulutnya. "Karena aku mau mencari suasana saja. Sudah lama aku ingin tinggal sendiri. Dan, aku pilih negara ini juga karena aku kurang suka keadaan cuacanya dibandingkan negara tropis satu ini."

Remi tidak yakin jika alasan yang diberikan Albert itu cukup masuk akal. Apalagi saat dia berkeinginan untuk tinggal sendiri. Apakah dia berencana mengisolasi dirinya dari orang lain? 

Remi hanya membiarkannya begitu saja, bertingkah percaya dengan mengangguk kepalanya atas jawabannya. Toh, dia tidak perlu terburu-buru untuk mengetahuinya. 

"Kalau kau? Kau tinggal di sini sendiri ya?" 

Sama seperti Albert sebelumnya, Remi juga lengang sementara, kemudian menjawab. "Iya, aku merasa nyaman di sini." 

Mengangguk dengan pernyataan Remi, mereka kembali berfokus pada makanannya masing-masing. Seisi ruang lengang. Hanya suara dari air mendidih dan kompor portable yang terdengar. Meskipun keadaan sunyi, perasaan ini tidak menimbulkan kecanggungan, justru kenyamanan dalam rumah menyelimuti. Rasanya melakukan kegiatan bersama seperti ini tidaklah buruk. 

Meskipun tantangan Remi hanya tersisa satu hari kesempatan, dia tidak merasakan cemas dan gelisah seperti tadi pagi. Instingnya mengatakan Albert dapat diyakinkan secara pelan. Memang ini adalah langkah yang kecil, tetapi Remi memutuskan untuk menjalankannya sebisa mungkin dan yakin bahwa aksi kecil pun juga bisa memberikan dampak yang besar baginya. Persoalan menang atau kalah dalam tantangan itu urusan belakangan, sudah bukan menjadi kekhawatirannya lagi. Karena dia memiliki rencana lain jika dirinya suatu saat 'kalah'. Selain itu, Remi juga mengetahui bahwa 'dua hari' hanya memicu rasa tegang dengan waktu yang singkat.  Kini, dia memutuskan untuk memantau, memberhentikannya lagi, serta mengingkari perjanjian kemarin malam yang dibatasi dua hari saja. Hal ini semua dilakukan hanya untuk membuatnya tetap bertahan hidup.

Sementara itu, Albert menduga perasaannya yang sama terhadap Remi seperti kemarin malam. Pengertian. Tidak menyangka wanita yang di depannya adalah academic rival masa SMA-nya. Namun, hal yang membuatnya paling heran adalah gaya bahasanya yang familiaritas. Cara dia mengungkapkan semuanya terasa begitu mulus seakan-akan seperti kutipan dialog yang tertulis dalam suatu buku. Bahkan, tanpa berpikir dalam beberapa waktu saja, dia sudah tahu apa yang ingin diucapkan dan mampu membuat perkataan itu menghipnotis pikirannya lebih tenang dalam sementara waktu. 

Seusai membereskan peralatan makanan di meja, suatu objek menangkap pandangan Albert. Untuk menduga objek tersebut dengan yakin, Albert menghampiri meja Remi yang diletakkan komputer, persebaran kertas, dan beberapa buku di rak.

Tertegun dengan pandangannya di depan, Albert mengambil buku tersebut secara inisiatif. "Kau juga membaca buku Rylie. P?"

Terkesima dengan apa yang barusan ditanyakan oleh Albert, pria tersebut melanjutkan kalimatnya dengan sedikit tersipu, "Aku... suka membaca bukunya."

Tidak seperti kemarin malam dengan pandangannya yang sudah putus harapan, mata Albert kini jauh lebih berbinar saat melihat sampul buku Rylie.P. Meski ekspresi datarnya tidak jauh berubah, baru pertama kali Remi melihat sisi Albert yang lebih hidup dengan karya novelnya setelah kejadian kemarin malam. Seketika dirinya mulai menyadari bahwa Albert tidak mengenal Rylie. P sesungguhnya, yang sebenarnya adalah dirinya sendiri. 

Dua Hari [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang