Bagian 4

17 1 0
                                    

"Dua hari dari sekarang."

Perkataan tersebut terngiang-ngiang terus menerus di kepala Remi. Kecemasan mulai sedikit menyelimuti perasaan Remi. Beberapa jam lalu sebelumnya, dia mulai lega karena sudah meminta maaf pada permasalahan sebelumnya dan cukup berhasil untuk meyakinkan Albert untuk tetap bertahan hidup sementara berhasil. Namun, jumlah hari yang ditentukan untuk menggagalkan aksi bunuh dirinya hanya singkat. Ditambah lagi dengan munculnya rasa keraguan karena jada kemungkinan besar dia akan 'kalah' dengan diberikan waktu yang singkat. Kini, waktu yang tersisa hanyalah 1 hari 8 jam 20 menit 31 detik.

"Gak, Remi. Kamu gak boleh menyerah begitu saja. Kan kamu yang bilang sendiri gak ada kata 'gagal'", batinnya Remi yang berusaha untuk berpikir positif meski tidak ada tenaga untuk membangunkan badannya . 

Pagi hari ini, Remi memutuskan untuk tidak melanjutkan novel terlebih dahulu karena kejadian kemarin menguras energinya dengan pesat. Sembari rebahan dan menutup mata untuk memikirkan rencana selanjutnya, suara seluler berdering di atas meja. Terinterupsi dengan bunyi tersebut, Remi meraih selulernya dan mengangkatnya tanpa mengetahui nama kontak tersebut.

"Halo! Dengan Ibu Remi? Paketnya udah datang ya." 

Kata 'paket' tersebut membuat Remi terbangun dan kondisinya menjadi lebih sadar daripada sebelumnya. Saat dia mulai membalas kurir tersebut, dia menyadari bahwa kertas dan sisa sampah lainnya telah memenuhi bak sampah tersebut. Menghela nafas terhadap betapa berantakan ruangnya, dia memutuskan untuk membuang sampah di lantai bawah sekaligus mengambil paket tersebut. Tampaknya setelah membereskan ini semua, dia akan segera mengontak Albert. 

Setelah Remi menerima paketnya, pemilik apartemen yang sedang berada di meja resepsionis, menyapanya dengan ramah. Alicia Claresta itulah namanya. Kini dia berkepala 5 dan sudah memiliki beberapa cucu. Meskipun demikian, dia termasuk wanita yang hebat dalam usahanya di bidang persewaan yang masih bertahan sejak dulu. Hubungan Remi dan Alicia cukup dekat dengan satu sama lain. Terkadang, ada waktu di mana Remi sudah menganggap Alicia seperti ibu keduanya.

Asik berbincang dengan satu sama lain, banyak hal yang mereka cakap untuk bertukar pikiran, seperti buku yang ditulis, kejadian barusan di apartemen, dan sebagainya. Seusai berbincang singkat, pemilik ramah tersebut sempat menyinggung akan satu hal.

"Hei, kau tahu gak? Ada satu pria yang baru pindah di kamar tepat bersebelahan denganmu, loh." Alicia memberitahu dengan tertawa kecil. Sejak beberapa bulan yang lalu, Remi tidak memiliki banyak tetangga karena hanya 2-3 penghuni yang tinggal di lantai yang sama dengan Remi, bahkan mereka semua cukup berjauhan dengan kamar Remi. 

"Oh, iyakah, bu? Kalau begitu, mungkin saya akan sapa nanti."

Alicia hanya mengangguk sepakat dan berkata, "Kau juga sepertinya bisa dekat dengannya. Siapa tau dia jodohmu, kan? Haha!"

"Aduh, bu! Gak dulu, deh. Haha..." Remi sedikit merasa enggan dengan pertanyaan tersebut, tetapi kukuh untuk mempertahankan keramahan samarannya. 

Alicia hanya tertawa dan memukul pundak Remi dengan perlahan, "Kau ini udah pesimis dulu. Kalau kau begini terus, bagaimana kau bisa punya pasangan?"

Pertanyaan tersebut sempat menusuk Remi meskipun hal tersebut merupakan fakta. Namun, topik tersebut cukup sensitif baginya. Tidak semua orang yang dikenal di apartemen ini mengetahui kehidupan asramanya saat ini. Motifnya disembunyikan erat demi menghindari gosip, ketidakinginan untuk menjerumuskan diri dari pengucilan, serta rasa kasihan mereka terhadapnya.  

"Ah, terima kasih atas sarannya, bu. Tapi, aku sebenarnya gak keberatan kalau aku hidup sendirian aja dulu," Remi mengangguk, menerima pernyataan ini sesabar mungkin. 

Dua Hari [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang