Tujuh

8 6 0
                                    

Nyatanya percakapanku dengan Panca kemarin gak ada titik terangnya. Aku masih belum buka block nomor Panca, jadi aku gak tau apa dia juga mengirim pesan.

Sama seperti kemarin, hari ini aku memilih untuk gak ke kantin. Oh benar, tadi pagi Panca gak jemput dan menurutku itu hal yang bagus. Tapi itu semua gak cukup untuk membuatku merasa tenang, pasalnya aku mendengar beberapa gosip tentang hubunganku dan Panca. Beberapa anak kelas tadi bahkan ada yang bertanya, namun tentu saja aku menyangkal. Termasuk Gaya, untuknya karena dia sahabatku maka aku ceritakan semua. Gaya tentu saja gak percaya kalau Panca ternyata diam-diam menghanyutkan. Gaya juga memberi ide agar aku bertanya pada panca, tentang sejak kapan dia bisa suka padaku. Tapi sayangnya aku gak sepenasaran itu.

"Natasya."

Aku yang saat ini sedang membaringkan kepala di atas meja, mendengus mendengar suara Panca. Gak berniat untuk bangun sama sekali, aku mendengar dia menghela nafas.

"Natasya."

Aku masih diam, biar dia bosan dan pergi dengan sendirinya.

"Sayang."

Deg!

Aku langsung bangun dan menatapnya tajam. Apa-apaan panggilannya itu! Untuk saat ini di kelas hanya ada budi, siswa ambis yang matanya gak pernah lepas dari buku. Semoga dia bukan penggosip.

"Oh, harus dipanggil sayang dulu?" ujarnya bercanda, tapi gak lucu.

"Apa, sih! Kenapa suka banget gangguin orang," ujarka kesal. Entah kenapa aku merasa sekarang ini Panca menyebalkan, rasa seganku sedikit berkurang.

Dengan santainya Panca duduk di bangku depanku, dia duduk sambil menghadapku. Ergh, aku terganggu. Nuraniku terganggu melihat wajahnya yang benar-benar terlihat bahagia. Apa sebahagia itu baginya melihat wajahku.

Panca lelaki baik, aku akui itu. Ya, meskipun licik, dia gak pernah punya pikiran untuk benar-benar melukaiku atau orang lainnya. Tapi, tetap saja aku sadar kalau kami beda keyakinan. Dan itu menyulitkanku untuk bisa membuka hati, dan menerima rasa sayang yang dilimpahkan Panca padaku.

"Makan. Kamu kenapa akhir-akhir ini gak ke kantin? Menghindar?" tanya Panca, sambil membuka kotak sterofom  yang berisi nasi goreng lalu didorongnya ke arahku. Panca juga membeli sebotol air mineral, dibukanya lalu diletakkannya di depanku.

"Iya, aku menghindar. Gak mau ketemu kamu."

Panca tertawa kecil. Seolah yang aku ucapkan itu lucu dan gak menyinggungnya.

"Kenapa gak pindah sekolah sekalian," ujarnya, masih dengan wajahnya yang menunjukkan gurauan.

"Boleh juga," kubalas dengan wajah yang serius. Dan ternyata hal itu melunturkan ekspresi cerah Panca.

"Coba aja," desisnya.

Aku hanya mengedikkan bahuku. Lalu memakan nasi goreng di depanku santai.

"Aku serius, coba aja. Karena kayaknya sampai sekarang kamu masih ragu denganku."

Aku menghentikan kunyahanku. Terdiam sebentar, lalu melanjutkan lagi. Aku biarkan Panca menunggu sampai aku selesai menelan, dan menanggapinya.

"Aku gak ragu sama kamu. Aku ragu dengan kita."

Aku melirik ke arah Panca. Dia terlihat memejamkan matanya, pasti berusaha menahan marah.

"Oh, dan buka block nomorku."

Aku hanya menggeleng malas. Aku dorong kotak sterofom yang sudah kosong itu ke depan Panca. Aku sedikit terkejut ketika dengan santainya Panca merapikan bekas makanku, lalu keluar sebentar untuk membuang sampahnya.

IN BETWEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang