6

13 1 0
                                    

Setelah pertemuan singkat Erin malam itu. Ia mulai sering menemui Evan di saat waktu luangnya. Hanya saja, ini tidak mudah dilakukan. Erin harus pandai melihat situasi agar tak ada yang mengetahui tindakannya. Ia juga menutup diri tentang Evan dari kedua sahabatnya.

Erin percaya kalau mereka bisa menjaga rahasia ini. Tapi, bukan itu yang ia khawatirkan. Erin tak mau saja semuanya terbongkar hanya karena sifat asal ceplos yang dimiliki Novi. Sekar? Bisa saja. Tapi Sekar punya Avan. Mereka sudah pacaran cukup lama tanpa ada yang mengetahui. Erin dan Radit juga baru tahu tentang hubungan mereka.

Sementara itu dikelas..

Kapan kita bisa pergi lagi?

~ Kapan? Jam 03:00 pagi?

Ngga usah. Kemarin udah. Pulang ini gimana?

~Mau kemana?

Setengah jam telah berlalu. Bu Rani sebagai guru Geografi menjelaskan materi tentang Benua dengan sangat rinci. Semua murid memperhatikan pelajaran dengan cermat terkecuali Erin dan Evan.

Erin tidak bisa menyembunyikan senyumannya di saat Evan membalas setiap pesannya. ia tak sanggup untuk tidak menoleh. Herannya, tak ada yang memperhatikan mereka. "Coba kalian jelaskan Benua apa yang dijuluki sebagai benua kuning?" Tanya bu Rani. Sekar tunjuk tangan. "Asia!" Ucapnya lantang.

Bu Rani membubarkan pelajaran saat suara bel pulang terdengar. Erin memasukkan semua buku pelajaran yang nyaris tak ia sentuh. Saat Evan ingin meninggalkan kelas, suara Maya menahannya.

"Haii, Van. Aku ga ada yang nganter pulang ni. Bareng yuk." Ucapnya. Tak lama setelah itu, Radit muncul bersama Hendry dan Avan.

"Rin. Ayo, pulang." Ucap Radit dengan manis.

"Jadi gimana Van? Kamu mau kan kita pulang bareng." Maya memohon. "Ayo lah Van. Kamu tega ngeliat cewek secantik aku naik angkot. Nanti rambut aku bisa kena debu. Terus, kusut. Belum lagi aku ke salonnya." Dengan kemampuan merayunya, ia terus berusaha membujuk Evan.

Sementara Avan celingukan mencari Sekar. "Sekar pergi ke toilet tadi." Ucap Erin membaca sikapnya.

"Lagian May, lo kan tau saya suka sama kamu. Masih aja ngarepin Radit. Ehemm." Hendry membingkai senyum lebar. "Kamu pulang sama Hendry ya May. Saya mau balik duluan." Evan lalu pergi. Maya terus memanggil, namun tak berhasil. "Yaudah kali sama saya aja." Hendry memberi tawaran seraya memperlakukan Maya bak putri Raja. "Males. Mending saya pulang sendiri. Bye!" Melihat Maya pergi, Hendry berlari mengejarnya. Sedangkan Sekar sudah lebih dulu pulang dengan Avan.

"Kalau gitu gue pulang dulu ya Rin. Dady gue udah jemput di depan" Novi juga berlalu seperti yang lainnya. Tersisa Radit dan Erin. Di kelas yang telah sepi tersebut mereka saling terdiam. "Jadi pulang?" Tanya Erin. "Rin?-" Suara pelan itu memanggil. "Kamu ada hubungan apa sama Evan?" Sambungnya.

Erin tercengang. Ada sesuatu apa yang membuat Radit berpikir seperti itu. "Ngga ada apa-apa. Memang ada apa sih?"

"Bukan gitu, cuman setiap Evan ngeliat kamu kaya ada yang beda dari tatapannya. Kamu gak bohong kan?" Suara Radit melemah.
"Aku sayang sama kamu Dit. Itu gak cukup ya buat kamu percaya?" Erin terlihat sedih.

"Kamu kenapa Rin?" Erin menggeleng. "Kita pulang aja yuk." Ajak Radit dengan meraih lengan Erin dan mengantarnya pulang.

07:00 pm.

Erin membuka lemari bajunya dengan ganas. Ia tak mau Evan lama menunggunya. Dengan celana selutut dan t-sirt bertuliskan cool kids don't dance ia berjalan cepat keluar. Sedetik kemudian ia kembali saat mengingat white sneakers yang tertinggal di kamar. Ia terpincang berjalan. Tentu, ia memakainya seraya berdiri.

Bippbipp..

Ngga usah buru-buru. Aku bisa nunggu kamu selama mungkin.

Hufftt.. Membaca itu ia sedikit lega. Ia memoleskan lipstik soft pink, bedak tipis dan rambut yang dikuncir asal. Sebuah tas kecil berwarna tosca menambah aksen penampilannya malam itu.

Perjalanan tidak terlalu lama. Mereka sampai di satu tempat asing bagi Erin. "Tempat apaan nih, Van?" Melihat tempat itu tertutup dengan penjagaan ketat di depannya. "Udah, ikut yuk." Evan melangkah duluan. Ia tampak berbicara kecil dengan penjaga pintu tempat itu. Seperti telah menyepakati sesuatu Evan memanggil Erin tanpa ragu.

Tempat gelap, yang hanya beberapa lampu sorot warna-warni?

Glekk.

Erin tertegun. "Clubbing?" Evan hanya menggangguk. Ia menggenggam lengan Erin dan membawanya ke tempat duduk cukup besar namun kosong. Ia mempersilahkan Erin duduk dengan manis sementara Evan mengambil minuman di meja bar. Raut wajah Erin masih mengkerut. Ia masih tak mengerti dengan Evan. Sejak kapan Evan suka dengan tempat macam ini? Erin yang polos sesekali celingukan mendapati dirinya berada di antara orang-orang setengah sadar.

On My Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang