Erin berjalan sendirian menuju kantin. Ia sedang malas ditemani siapa pun. Sekar dan Novi sedang sibuk dengan anak baru sekolah. Sejak kedatangannya, ia mendadak populer dengan sekejap. Mungkin karena statusnya yang pindahan dari jerman, atau wajahnya yang mempesona. Buktinya saja Maya perempuan yang terkenal akan kesempurnaan fisik dan mantan dari kapten futsal sekaligus vokalis dari band bentukan sekolah itu sepertinya telah terpikat. Semenjak Evan datang, Erin harus selalu melihat wanita itu di kelasnya.
"Evan!!" Maya memanggil. Erin ikut menoleh mendengar nama itu. Evan bersama Sekar dan Novi berjalan mendekat. Ada rasa bahagia yang tersirat. Dari arah yang sama Radit melambaikan tangan ke arahnya.
"Rin, kantin?" Ajak Novi.
"Ayo, kantin Rin." Radit menggenggam tangan Erin dan langsung membawanya pergi.
Jam sekolah sudah berakhir 15 menit yang lalu. Erin dengan gelisah menunggu Radit yang tak kunjung turun dari kelasnya. Seseorang mencengkram lengan Erin. Seketika ia berbalik "Evan." Erin tahu itu dia.
"Ikut aku!" Matanya menatap sungguh.
"Tapi, Van aku pulang sama Ra-"
Bruakk
Evan tersungkur setelah mendapatkan satu pukulan keras dari Radit. Ia lekas bangun dan memegangi pipi kanannya yang memerah. Erin tak bersuara. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
"Ayo pergi Rin!" Radit memerintah.
Di arah lain, Hendry memanggil "Dit, mau kemana? Latihan!" Ia menghampiri Radit dengan gitarnya. Ia juga menatap Evan dengan heran saat ia terlihat menahan sakit.
"Ada masalah sama kalian?" Tanya Hendry penuh curiga.
"Ahh-" Radit menepuk jidatnya. Ia baru saja menyadari hal itu.
"Aku harus latian Rin. Kamu pulang sendiri bisa ya."
"Aku bisa nganter dia pulang." Suara Evan menyelinap.
Radit memandang tajam. Ia tak habis pikir dengan lelaki ini. "Kamu masih aja ya berani muncul!" Radit menarik Erin pergi dari masalah itu. Evan tidak melakukan perlawanan berarti. Ia hanya sangat malas meladeninya.
"Ikut aku latihan aja ya. Cuman sebentar." Erin mengganguk. Evan terus menatapnya dalam. Ia tau Erin tidak kan tega melihatnya kesakitan. Wajahnya penuh khawatir. Ia dan Radit mengikuti Hendry menuju ruangan kosong.
###
Haii, Beb..
Come closer to ur windows now. Sebuah pesan singkat dari nomor tidak dikenal. Aku membacanya setengah sadar. Jam baru menunjuk pukul 3 pagi. Siapa yang mengirimkan pesan ini.Aku memberanikan diri mendekati jendela yang bunyinya membuat bulu kuduk ku merinding. Aku rasa ini bukan Radit lalu siapa kalau bukan dia? Sekar dan Novi? Sangat tidak mungkin.
Langkah ku berhenti saat ku pikirkan cara terbaik untuk membuka tirai jendela. Aku harus membawa satu benda yang dapat ku gunakan sebagai pertahanan diri. Setengah menit berlalu kuhabiskan dengan berpikir tindakan apa yang tepat untuk ku lakukan sekarang. Sampai bunyi itu kembali terdengar.
Knoc knock
Baiklah, aku sangat takut saat ini. Setelah menghirup napas cukup panjang, aku pun bersuara "siapa?" Tentunya dengan volume sangat kecil. "Evan rin."
Satu senyum lebar dari dia membuat seluruh rasa takut ku gugur berceceran. Aku membuka jendela kamar itu dengan lebar. Angin malamnya sangat menusuk.
"Kenapa lama? Udah mau mati kedinginan di luar sini!" Ucap Evan kesal.
"Kamu mau apa? Nggak bisa ketemu besok ya?" Harus sekarang? Lewat jendela pula. Dia bisa digebukin satu kampung kalau dikira maling. Aku ngga mau dia mati.
"Ayo ik-kut aku!" Suaranya sedikit bergetar karena udara yang dingin. Ia mengajak ku sepagi ini. Mau kemana dia.
"Mau pergi kemana jam segini? Dingin Van!" Aku mengelak. Aku keluar melalui jendela dibantu Evan yang meraih lengan ku dengan sigap. Ia menatap ku seolah yakin dengan apa yang sedang ia lakukan.
Ia membawa ku ke sebuah resto cepat saji yang letaknya tak jauh dari rumah. Tak banyak orang yang terlihat. Hanya beberapa saja. Kami duduk di samping jendela kaca. Rasa kantuk ku berangsur hilang menyadari Evan di depan ku. Kini, mata coklatnya dapat ku perhatikan dengan jelas, bibir tipisnya menguntai senyuman tanpa henti.
Menu kami saat itu adalah dua porsi ayam goreng dan soda. Dengan seenaknya aku menguam lebar saat itu. Evan tertawa kecil melihat ku. "Masih ngantuk ya?" Aku mengangguk pelan. Ia mendekati wajahnya perlahan kemudian memberiku sedikit ciuman hangat di kening.
KAMU SEDANG MEMBACA
On My Way
RomanceRin, aku nggak tau sampai di mana hubungan kita nanti. Kamu tau aku tulus sama kamu. Di satu tahun ini, aku mau kita bisa ketemu lagi di satu tahun yang akan datang. Disini, nungguin matahari terbit dan masih sama kamu. Radit. ...