3

62 2 0
                                    

Mereka bertiga terdiam. Radit memang begitu, nggak peduli siapa dia, kalau sudah menyalahkan Erin yang nggak bersalah,  langsung ia sambar dengan kata-kata pedasnya.

"Wisss, santai. Ok ok. Saya nggak akan nyalahin dia lagi." Sahut Henry yang langsung di iyakan oleh yang lainnya.

Jadilah mereka murid terlantar. Jam pertama baru saja dimulai dan mereka tidak punya tujuan selama jam itu berlangsung.

Kalaupun mereka berniat untuk ke kantin, pasti sudah mereka lakukan tanpa pikir panjang. Sayangnya kantin nggak buka kalau jam pelajaran berlangsung. Diamlah mereka bersamaan. Memikirkan sebuah cara menghabisi masa ketidakjelasan mereka.

"Dit? Kita ke Kopsis aja yuk. Walau cuman ada minum, tapi kita bisa kan modusin anak ibu Kopsis yang suka diem disana.

Dit? Kok diem aja sih. Kalian yang lain gimana? Ada ide?" tanya Henry.

Radit membingkai sebuah senyuman lebar.

"Ikut saya." Ia mengajak ketiga temannya. Seperti dugaan Henry, Radit berjalan menuju kelas pacarnya, Erin. Sekarang mereka tepat berada di samping dinding kelas itu, dimana seseorang berjalan mendekat.

"Eh, dia kan yang tadi di kerumunin cewek-cewek?" Avan bersuara.

"Husst, diem. Kalau kita terlalu ribut disini, bisa-bisa guru yang ngajar di dalem keluar. Mau lo diadili dua kali?!" Avan teringat bu Melani lalu menggeleng-geleng cepat. Tidak perlu teringat hal itu lagi. Hal Itu membuat Avan selalu ingin menyalahkan Radit, temannya sendiri.

"Dia masuk ke kelas pacar kamu Dit. Cowok itu. Cakep ya, lumayan. Tapi, masih cakepan saya kemana mana lah." Henry percaya diri.

"Jiahhh, ibaratkan semut dan gajah perbedaannya jauh banget kan? Itulah kalau kamu dibandingin sama anak baru itu." Avan nggak mau kalah.

"Dan, lo kok diem aja sih? Terpikat sama pesona cowok itu?"

"Nggak lah. Amit-amit deh. Kalau ngomong jangan asal dong Hen." Danuar langsung menepis pernyataan si Henry.

Radit mengintip ke dalam kelas memastikan kalau Erin membaca pesan yang dikirimkannya. Di saat Radit kembali mengintip, Erin terlihat meminta izin keluar dengan wajah yang menunduk.

"Kenapa Dit senyum sendiri?"

"Nanti kalian liat Erin keluar. Pasti dia mau kesini. Tungguin aja." Ucap Radit percaya diri.

Ketiga temannya hanya mengangguk seolah berkata 'okelah, terserah kata kaulah'

Sedetik kemudian, "Erin tuh! Tapi, maaf dit kayaknya Erin nggak tau kamu disini. Buktinya dia nggak noleh dan malah jalan cepet ke arah toilet." Kata Avan pada yang lain.

"Ayo kita ikutin!" Radit mengikuti langkah Erin dengan tentunya tetap menjaga jarak aman.

"Gila kau dit. Mau masuk toilet cewek? Saya tahu Erin pacar kamu. Tapi, kamu tetep aja belum sah ngeliat apapun itu dari Erin." Danuar berucap serius. "Nggak Danuar.  Kamu yang gak waras. Mikir kejauhan. Anggap aja kita kayak lagi main di james bon. Jadi tutup mata dan pasang telinga."

Mata-mata. Begitulah mereka sekarang. Berdiri di balik dinding toilet perempuan dengan pandangan penuh curiga. Erin berhenti di tempat wastafel dan memandangi wajahnya dari cermin toilet tersebut.

"Jangan bilang itu dia. Please... Dia nggak mungkin tiba-tiba ada disini. Kalau sekilas saya liat tadi, mirip sih. Tapi, tetep aja. Dia bukan.... Uuh, please please please." Ia menundukkan wajahnya terlihat seperti sedang berdoa dan memohon.

Dia siapa?

"Erin ngomong apa sih? nggak ngerti nih. Guys, lagi bingung juga ya makanya diem gitu?" Radit yang berada paling depan tak menyadari kalau-

On My Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang