7

12 1 0
                                    


"Ini," Evan menyodorkan air aneh yang hanya terisi seperempat gelas. Baunya.. Hekkss. "Ih, baunya ga enak banget Van. Ini apa?"
"Yaampun, Rin. Ini kamu nggak pernah diajakin gaul sih sama Radit." Apapun itu, Erin sama sekali nggak tertarik. Melihatnya saja ia tak mau.
"Dikitt, cobain dehh!"
"Ngga Van. Aku ngga mau." Erin menolak keras.

"Van? Evannn!" Suaranya kini tertupi oleh suara musik kencang. Evan juga meneriaki Erin seperti tak mendengar. Erin mulai risih berada disini. Seperti ada yang memperhatikannya. Walau semua orang terlihat sibuk sendiri, kemungkinannya sangat kecil ada yang mengawasi mereka.

Erin berniat maju dan membisiki ucapannya di telinga Evan. Namun Evan salah tangkap dan malah mengecup bibir Erin dengan cepat. "Kamu mau bilang apa Rin?" Erin menggeleng lemah. Radit baru saja terlintas dipikirannya. Ia bangkit dari duduk dan melangkah pergi dari tempat itu.

###

Pagi itu di kelas, pelajaran Kimia sedang berlangsung di bawah ajaran bu Frida. Tampaknya Erin tidak begitu bersemangat mengikuti pelajaran itu. Ia sibuk melirik handphone nya . Ada hal yang ia tunggu. Bukan pesan dari Radit. Tapi, sms dari Evan lah yang ia inginkan. Hari ini Evan tidak terlihat sama sekali. Ia tidak masuk. Tidak ada kabar yang datang dari keluarganya. Surat keterangan kosong. Wajah Erin kawatir. Ia sesekali memainkan pulpen hingga berbunyi mebuat suara bising. Bu Frida menoleh saat itu. "Erin! Biasakan untuk tidak ribut di dalam kelas." Mendapat teguran pertama ia hanya bisa mengangguk.

"Hussh.. Heii!" Suara kecil dari belakang memanggilnya. Ia berbalik
"Kenapa Rin? Gelisah banget dari tadi."
"Evan Nov. Evan ko ngga masuk sih. Ga ada suratnya lagi."
"Mungkin dia lelah." Novi bergurau. Sekar menimpal ucapannya.
"Apaan coba lelah. Eh, Rin siapa tau dia sakit. Bisa jadi kan." Percakapan kecil tersebut sampai terdengar ke telinga bu Frida. Habislah mereka! "Ehemm!!"

Kebiasaan guru yang satu ini, bisa dibilang sangat baik. Setiap anak yang membuat gaduh kelas hanya diberikan beberapa nasihat panjang darinya. Begitu panjangnya sampai menghabiskan 15 menit jam pelajaran. "Mulai kan. Bu Frida kotbah jum-at."
"Kamu sih!" Novi menyalahkan. Walau entah siapa yang ia maksud.

Nasihat yang mereka terima terpotong saat bel istirahat berbunyi. Menyenangkan rasanya mendengar suara bel ini. Tidak! Lebih menyenangkan jika bel pulang yang barusan terdengar. Sudahlah. Waktu pulang masih panjang, pikir Erin.
"Kantin?-" Ajak Sekar.
"Eh, itu Hendry." Novi teriak. Melihat tingkah Novi, kedua temannya melihatinya ragu. "Sejak kapan kamu histeris ngeliat Hendry?"
"Bukannya kamu ngga pernah tertarik sama geng-nya Radit ya?"

Novi hanya bisa menyembunyikan rasa kagumnnya. Ia tersenyum simpul saat menyadari kalau perasaannya kini terbongkar. "Bukan begitu, hanya saja Hendry sekarang-"
"Rin, ikut aku!" Radit mencengkram lengan itu. Kedua alisnya saling bertaut. Ada apa? Sekar dan Novi terhalang oleh Hendry dan Avan yang mencegah mereka.
"Haii, Hend." Hendry terheran. Setidaknya, Hendry punya satu fans tambahan. Huftt..
"Lo pikirin Erin dong Nov. Malah cengingikan ngeliat Hendry. Gimana sih!"
Oh, iya ada Avan. Saat Sekar ingin mencoba merayu Avan. "Maaf sayang. Sekarang aku harus jadi Avan. Temannya Radit. Aku ngga bisa biarin kamu ngejar Erin." Di saat itu juga Sekar sangat kesal mendapati kata-kata itu.

"Sakiittt. Dit, sakiitt uhh.." Lengan Erin memerah. Radit menggenggamnya sangat kuat. Mereka berhenti di satu lorong. Lorong ini tempat yang sama saat Evan membawanya untuk bertemu pertama kali. Saat pertama Evan melihat nya setelah kembali dari Jerman. Ia masih mengingat itu dengan jelas. Kini, ada Radit di depannya. Evan, pikirnya.

"Aku nggak bisa terima ini!!" Lamunan Erin tentang Evan buyar. Radit membuatnya tersontak kaget dengan satu kata keras. Erin membuat raut wajah bertanya-tanya. Jadi, ia tidak perlu mengeluarkan banyak kata-kata. Radit melanjutkan "Rin, aku nggak pernah semarah ini sama kamu. Bahkan, mungkin aku nggak pernah marah selama ini." Jadi?
Radit terdiam cukup lama. Ia memilih tidak melanjutkan perkataannya.

"Ditt-" Erin meraih kedua lengan Radit. Ia menyejajarkan jari-jari mereka. "Mungkin kamu punya masalah di rumah. Aku tau kamu nggak pernah marah. Lihat, aku ada disini. Kamu bisa cerita semua masalah kamu." Erin membuat suasana tidak membaik. Niatnya gagal. Radit semakin membentaknya.

"Yang punya masalah itu kamu! Bukan akuu. Ternyata bener ya, selama ini kamu punya hubungan rahasia sama Evan. Anak baru songong itu." Tidak!! Erin semakin khawatir. Ia menggigit bibir bawahnya seketika. Tenang. Erin bisa mengatasinya. Ia berpikir sebentar alasan apa yang pas buat menutupi semua ini.

"Radit, sayang. Kamu punya bukti apa? Ngga ada kan. Palingan ini cuman gosip. Sejak kapan sih Radit aku dengerin gosip murahan kaya gini."
Radit menggeleng pelan. "Ini bukan gosip. Ini fakta Rin. Aku punya bukti banyak." Ia mengeluarkan beberapa lembar foto ukuran sedang dari saku celananya. Erin curiga. Jangan-jangan. Oh, God please help me!

"Ini semua bukti nyata yang barusan aku dapet dari Maya. Rin gua sayang sama kamu!" Radit menunduk lemas. Ia mengulangi kata-katanya. "Aku sayang banget sama kamu Rin."Kini dengan nada lemah. Erin mengambil lembaran foto itu dari tangan Radit.

Siapa yang melakukan ini?
Erin terus tak percaya ada yang mengambil gambar ia dengan Evan.
Rasanya tidak mungkin ada yang mengikuti mereka.

Erin melihati foto itu satu persatu. Foto pertama, saat di lorong ini. Saat Evan memeluknya.
Lembaran kedua, di resto cepat saji. Saat Evan mencium keningnya. Lembaran terakhir, sangat menyiksa batinnya. Erin saja tak kuat melihat itu. Apalagi Radit. Oh, ayolah! Erin meneteskan air matanya. Ia memandang Radit yang sekarang terduduk tak berdaya. Radit berusaha berdiri. Ia tak mau tampak lemah di depan Erin. 

"Kamu lihat saja semua foto itu, temui aku hanya saat kamu mau bilang kalau itu semua rekayasa!" Radit pun berlalu.

Foto terakhir saat dimana Evan menciumnya. Di club. Benar firasatnya saat itu. Ada yang memperhatikan mereka. Ternyata seseorang mengambil semua gambar ini. Dengan semua gambar itu, alasan apa yang bisa membuat masalah ini selesai? Wajar Radit marah. Erin pacarnya. Dan, pacarnya mengecewakannya. Ia memilih berjalan cepat mengejar Radit. Sekarang apa? Selama ini Radit cukup menjaga persaaan Erin. Kini Erinlah yang mengejar Radit.

On My Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang