2

80 2 0
                                    

"Ciee, happy anniversary ya Rin. Langgeng terus sama Radit. Kita terus dukung kalian pastinya."

"Aku juga. Semoga kalian bisa,--"

Krik krik krik

"Bisa apa? Aduh Novi, kamu kebiasaan ya mikirnya lama!"

"Iih, Sekar bisa aja deh. Terus aja ngeledekin."

"Udah, ah. Apapun itu aku aminin yang baik-baik dari kalian. Thank you so much."

Kemudian, Sekar yang mempunyai insting kuat melihat beberapa murid berlarian ke arah yang sama. Mereka segera keluar untuk mengetahuinya.

"Tumben Novi nggak bersuara. Nov? Kamu hilang ya?" Sekar dan Erin saling memandang. "Novi hilang Kar!" Seru Erin.

"Siapa bilang, tuh dia udah jalan duluan ke gerombolan murid disana." 

Kirain dia hilang beneran. Ternyata..

Mereka akhirnya mendekat ke arah kerumunan. Disaat mereka mendekat jumlah kerumunan pun semakin berkurang. Belum saja Erin melihat apa yang terjadi, seseorang menarik tangannya dengan cepat sehingga membuatnya berbalik ke arah lain.

"Radit? Sakit tau dit lengan aku." Ucap Erin sambil memegangi lengannya yang sakit.

"Maaf sayang, aku mau kasi ini ke kamu. Pakai ya!" Radit memberikan sebuah gelang yang sama seperti yang ia punya.

Erin mengangguk. Radit lalu mengantar Erin ke arah kelasnya setelah mendengar bel sekolah yang berbunyi. "Nanti kalau aku chat bales ya Rin. Kamu suka telat balesnya. Aku nunggunya lama loh sayang." Erin hanya mengangguk. "Kamu nggak masuk kelas?"

"Kamu juga belum. Nanti aja kalau guru kamu sudah dateng. Baru aku pergi." Ia hanya mengangguk lagi. Ada yang Erin pikirkan. Hal itu tentang sesuatu yang masih membuatnya penasaran. Siapa yang mereka kerumunin tadi? Apa ada selebritis di sekolah ini.

Mungkin saja.

"Dit, dit guru kamu."

Dengan kecepatan yang ia punya. Radit berlari menuju kelasnya yang berada di lantai dua bangunan paling ujung di sekolah ini. Kalian tau, melelahkan. Belum sampai di depan kelas, pintunya sudah tertutup. Hal itu menyimpulkan segalanya. Pelajaran pertama adalah kimia di bawah ajaran ibu Melani. Radit sadar, ini keterlambatan yang ketiga kalinya hampir dalam waktu yang sama.

Tenang, ia masih punya nyawa lain. Ibarat kucing, ini sudah nyawa yang kesembilan untuk menghadapi bu Melani.

Knock knock..

Prakk..

Radit memasang tampang pasrah. Belum sempat ia mengucapkan sepatah kata pun, bu Melani sudah menutup pintu itu kembali setelah melihatnya sekilas. Radit bahkan tak sedikit pun melihat wajahnya.

"Itu Radit ya bu?" Tanya Henry.

Tak ada jawaban.

"Hen! Itu Radit beneran liat tu di jendela." Radit menampakkan dirinya di salah satu jendela kelas. Dalam suara yang terlihat mangap-mangap dapat diartikan kalau ia memohon agar ketiga sahabatnya itu keluar.

"Bu, kami minta izin buat keluar sebentar saja." Kali ini Danuar yang bernyali besar untuk berbicara. Bu Melani mengisyaratkan mereka dengan ayunan kepala menuju pintu keluar. Mereka baru menyadari semudah itu mendapatkan izin dari bu Melani. Dengan gaya girang tertahan mereka dengan mulus dapat keluar dan menghampiri Radit.

"Bu Melani kayaknya lagi baik banget sama kita. Iya nggak? Kecuali kamu aja sih Dit hehe."

Suara pintu terbanting membuat mereka serempak menoleh.

"Jangan harap kalian bisa masuk lagi ke jam saya." Ucap bu Melani ketus kemudian menutup pintu dengan keras.

Apa? Raut wajah mereka panik.

"Radit aja kan?" Avan membela diri.

"Kamu nggak denger tadi, 'kalian' berarti kita semua." Avan merengek tidak karuan. "Ini salah kamu Dit, buat apa nyuruh kita keluar."

"Van, bukan salah Radit. Ini pasti salah pacarnya tuh. Si Erin. Dia kan gitu, nggak mau Radit masuk kelas sebelum dia masuk duluan." Radit menoleh sinis. Ia tidak terima pacarnya disalahkan, sementara Henry merasa benar dengan apa yang ia ucapkan.

"Kalau persahabatan kita nggak mau berhenti, jangan sekali-kali bawa nama Erin dalam masalah kita."

On My Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang