Natharazka Obsession

1.5K 75 0
                                    

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Budayakan tekan bintang sebelum membaca, karna vote dari kalian penyemangat penulis.
.
.
Happy Reading.

"Alger, kamu di dalam kan? Ayo keluar, kita sarapan." Mahen mengetuk pintu kamar Alger berulang-ulang, sambil membujuk Alger untuk keluar kamar.

Pintu kamar paling ujung terbuka, Verdi keluar dari sana dengan pakaian formal. Ia menatap ayahnya dengan mata memicing.

"Ayah ngapain?" Tanya Verdi sambil mendekat.

"Ini loh, Alger di panggil nggak nyaut-nyaut." Mahen menjawab tanpa menatap putra nya, Verdi ikut melihat pintu itu.

"Belum ke kamar kali yah, masih di gudang."

"Enggak, kata bibi Alger udah ke kamar nya," kata Mahen cemas.

Kening laki-laki itu mengerut tak suka, sudah lama ia disini tapi tetap saja Alger yang terus di nomer satukan.

Tahu begini, buat apa ayah nya ini menikah dengan ibunya? Jika dia tetap di anak tirikan, walaupun kenyataannya memang begitu.

Anita yang mendengar keributan itu ikut mendekat, dia menyenggol lengan Verdi minta penjelasan.

Verdi mendekatkan bibir nya pada telinga Anita membisikan kata-kata dan dengan sengaja menjilat telinga itu.

Anita meringsut menjauhi Verdi dia menatap adiknya itu dengan mata melotot dan di balas senyuman menjengkelkan.

"Ayah nggak punya kunci cadangan ya? Atau mau di dobrak aja?" Usul Anita setelah beberapa saat mereka diam.

Mahen mengangguk setuju, "Ayah nggak punya kuncinya, Verdi tolong bantu dobrak." Verdi mengagguk, dalam hitungan ketiga pintu itu di dobrak keras sampai terbuka.

Pria paru baya itu langsung mencari anaknya, bergegas menghampiri kasur yang nampak ditiduri oleh orang.

"Alger?" Panggilnya halus, tidak ada jawaban Alger tetap diam tanpa bergerak sedikitpun.

Mahen semakin cemas dengan pelan dia menyibak selimut yang menutupi tubuh anaknya, raut wajahnya berubah drastis.

Dia menyentuh kening Alger, dengan tangan satunya menelpon dokter pribadi mereka.

"Astaga nak, sakit kok diam saja sih," suara Mahen terdengar bergetar. Verdi yang menyaksikan itu memutar bola mata malas, sedangkan Anita menatap lekat-lekat adiknya itu.

Apa karena semalam hujan deras serta petir itu? Harunya ia tidak meninggalkan Alger yang pingsan. Pikirnya kacau.

Mahen menoleh kebelakang, menatap mereka berdua dengan wajah khawatir, "Kalian kebawah sarapan terlebih dahulu, panggil ibu kalian juga untuk kesini."

Verdi mengagguk tanpa menatap Alger dia melenggang pergi begitu saja, sejenak Mahen merasa ada yang salah tapi saat menatap Anita yang memperhatikan Alger dia lega.

Setidaknya tidak ada perang saudara di antara mereka, semua baik-baik saja. Ya semoga semuanya baik-baik saja, katanya dalam hati.

"Alger, ayo bangun dulu," pinta Mahen melas.

Bulu mata tajam itu bergetar, kelopak mata yang semula terpejam kini terbuka. Memperlihatkan bagaimana indahnya bola mata itu, tatapan yang biasanya tajam itu kini sayu.

Seperti tidak ada kehidupan didalamnya, semua kosong. Mahen terhenyak saat itu juga.

"Alger, kamu kenapa hm? Cerita sama ayah." Saat mendengar suara ayahnya, Alger memaksakan untuk tersenyum.

Dia rindu suara khawatir ayahnya, dia rindu belaian lembut dari tangan besar itu. Dia rindu apapun tentang ayahnya.

"Alger takut." Mahen menggenggam tangan dingin itu ketika Alger berusaha berbicara, memberikan setitik rasa hangat disana.

Natharazka Obsession Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang