Brown Sugar

2.7K 170 16
                                    

Yosha berlari-lari di lorong rumah sakit. Rambutnya berkibar. Tetes-tetes air di dahi, turun ke rahang, dan bibirnya gemetar.

Dia berhenti setiba di ruangan ICU. Satu tangan memegang tembok sementara napasnya memburu, kelelahan.

Jam besuk sudah lewat. Namun dengan sedikit alasan, ia berhasil mengenakan mantel hijau dan masuk ke ruangan itu.

Seorang gadis masih terlelap. Tampak tenang. Alat-alat medis di sekitarnya berbunyi ritmis. Sejak operasi, sang gadis masih belum sadar.

"Hai." Yosha menyapa. Suaranya tegas, nyaris serupa bentakan.

Tak ada reaksi. Sang gadis tetap terbuai di mimpinya yang panjang. Hanya denyut alat-alat di sisi ranjang yang menjawab.

"Gue senang lo selamat."

Setelah melalui hari yang panjang. Bertengkar dengan papanya, menangis di pelukan mamanya, juga mencari tahu soal gadis anak kesayangan papanya, Yosha merasa dia sangat sangat lelah.

Dan hancur.

"Tapi gue penasaran, kalo gue yang ada di posisi lo, apakah bokap gue bakal sedih? Atau dia justru bersyukur karena anaknya yang nggak berguna, akhirnya terbaring di ranjang rumah sakit."

Yosha membuang napas. Bibirnya tersenyum, nyeri.

Entah mana yang paling menyakitinya, tamparan papanya, atau kenyataan bahwa Hakim Wijaya mencintai anaknya yang lain, dan berlaku seperti musuh pada Yosha.

Yosha ingin berteriak lantang, kalau dia bukan musuhnya. Bahwa Yosha anaknya. Darah dan dagingnya. Yang lahir karena keterlibatannya.

"Jadi gue mohon, tolong jangan mati dulu."

Yosha menepuk pelan tangan Zea. Lalu menekuri wajah polos gadis itu. Kepala yang masih diperban. Potongan rambut yang jelek setelah sengaja dikoyak untuk memperlancar proses pembedahan. Kulit putih pucat, hidung yang standar, bibir kering.

Dalam kondisi begini, gadis itu tentu jauh dari kesan cantik seperti tokoh-tokoh dalam cerita dongeng.

"Kalo nanti lo sadar, dan mungkin jadi agak bodoh gara-gara benturan itu, terus nggak ada yang mau sama lo ... gue siap nikahin."

Yang terpikirkan dalam kepala Yosha adalah salah satu adegan dalam film Idiots, ketika Raju tengah koma dan lama tak kunjung sadar. Satu hal yang berhasil membuat Raju terbangun ialah saat Aamir Khan mengatakan kalau teman mereka akan menikahi kakaknya.

Tapi putri tidur di hadapan Yosha pun tetap pulas. Mungkin ia tahu, dunia di dalam kepalanya lebih ramah ketimbang dunia nyata.

"Suer!" Yosha mengangkat dua jarinya. "Kalo lo sadar, kapan-kapan gue ajak sunmorian, pake vespa tua. Gimana? Ntar gue jajanin boba fresh milk brown sugar."

Yosha menunduk. Tak ada jawaban. Sungguh, dia takut andai kondisi gadis itu tiba-tiba memburuk, lantas mati.

Seburuk apa pun dirinya, Yosha tak pernah berencana, ada seseorang yang pergi meninggalkan dunia ini, melalui tangannya.

***

Zea merasakan pusing dan bingung sesaat setelah membuka mata. Dia dihadapkan pada ruangan yang sepi, dengan pencahayaan yang tidak terlalu terang.

Tangannya meraih bagian kepala yang terasa nyeri. Ternyata ada kain kasa yang membebatnya. Matanya mengatup dan bibirnya melenguh. Perlahan potongan ingatannya yang serasa acak teraduk-aduk, berlarian, hingga ....

"Auuuhh."

Hingga tiba ingatan saat ia pamit untuk berangkat kerja.

"Ze-zea?"

The Cranberries mendapat pesanan untuk pesta kebun di sebuah keluarga kaya.

"Nak, kamu sudah sadar, Nak?"

Seharusnya kue yang dipesan bertoping aprikot, tetapi ternyata Zea salah mencatat. Fabian marah-marah.

"Dok ... Dokter .... Anak saya bangun, Dok ...."

Zea kebingungan mencari aprikot kering. Dia mencoba menelepon mamanya, kena marah papanya, Luna tidak bisa dihubungi, Ghana malas turun tangga untuk membangunkan mamanya, dan Ezra ....

"Dokter ...."

Ezra memblokir nomornya. Zea memacu motor menembus hujan. Belum terlalu jauh ia meninggalkan The Cranberries, ketika sesuatu terasa menghantam motornya dari arah belakang.

Dan Zea tak ingat apa-apa lagi.

"Zea?" Seseorang berlari menerobos ke ruangannya. Dia mengenakan mantel hijau seperti yang dipakai mamanya.

"Kak ...." Zea mencoba membuka suara. "Aprikot ... pesanan ...."

Ezra mendesah lega. Tanpa terasa air matanya membelesak keluar menyaksikan Zea kembali. Zea tidak lupa dirinya. Tetapi lagi-lagi perih hatinya mendengar kata-kata pertama gadis itu. Zea bahkan masih ingat perihal pesanan yang sempat ia kacaukan.

Seorang dokter dan perawat datang. Ezra dengan sadar diri keluar dari ruangan itu, digantikan dengan papanya Zea yang dengan wajah panik, bingung, sekaligus penasaran, menyusul masuk.

"Halo, Niana. Bagaimana perasaanmu?" tanya sang dokter.

Zea menjawab, "Agak pusing, Dok."

"Boleh tolong senyum sebentar?"

Meski bingung, Zea menurut. Senyumannya simetris. Bagus. Dokter kembali menyuruh Zea mengangkat kedua lengan dan menahannya beberapa detik. Bagus. Terakhir, Zea diminta menirukan kalimat panjang dengan banyak huruf R. Bagus. Sama sekali tidak cadel.

"Defisit neurologis negatif. Good, Niana."

Di kalangan dokter bedah syaraf terkenal istilah time is brain. Karena otak, adalah pusat segala. Dan betapa berharganya waktu. Setiap detik menentukan tindakan yang harus diambil.

Dokter menjelaskan kondisi Zea pada kedua orang tuanya. Pada detik itu, Ahmad menangis hebat. Menciumi tangan Zea. Memohon maaf pada anak gadisnya, dan memanjatkan syukur yang bertubi-tubi.

"Maafkan Papa, Nak .... Papa minta maaf," ujarnya untuk kesekian kali.

Laila menangis dengan senyuman yang sulit digambarkan. Senyuman yang dipenuhi kelegaan di dalam hati. Perempuan itu lantas mencium kening Zea.

Pada hari kelima pasca operasi, Zea sudah bisa dipindahkan ke ruangan rawat biasa.

- Bersambung -


Terima kasih

🍰

(Bukan) Anak Kesayangan PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang