Lelaki itu memacu mobil di jalanan, jauh meninggalkan indekos Luna. Tubuhnya lelah. Baru juga keluar kantor, membawakan makan malam untuk Luna, berharap bisa menemukan penghibur yang bisa mengobati penatnya setelah seharian bekerja.
Mungkin dengan sekadar bercerita, saling menyentuh, memeluk.
Gadis itu sudah serupa candu untuknya.
Namun, tidak, ketika tengah meledak-ledak, atau fase yang jauh lebih rumit dari itu. Ngambek.
Ezra menghantam kemudi. Suara Luna kembali terngiang.
"Apa dia lebih jago di ranjang dibanding gue? Iya???"
Ezra menggigit kepalan tangannya.
"Kamu salah, Luna," bisiknya lirih.
Karena hubungan Ezra dengan Zea, dulu, bukan jenis hubungan yang seperti itu.
***
Dua bulan berlalu. Selama itu pula, Zea tak lagi berjumpa dengan Yosha. Tidak di rooftop rumah sakit, tidak di Fiori Bakery and Pastry, maupun di kompleks perumahan Zea.Brown Sugar-nya benar-benar lenyap. Namun, Zea percaya ia tidak hilang selamanya. Yosha pasti akan kembali, menemuinya tiba-tiba.
Sabtu pagi, Zea sudah kembali ke The Cranberries. Sesaat ia sempat teringat Ezra ketika tangannya mendorong daun pintu hingga terbuka. Saat melihat kursi tempat ia duduk dan berkenalan dengan lelaki itu, bahkan ketika mengintip buku menu, sosok Ezra terus membayang, meski samar.
Zea menyimpan tas dan helm di loker. Ia menghela napas dan membuangnya perlahan, meyakinkan diri bahwa yang ia rindukan hanya kenangannya, bukan Ezra.
Gadis itu memijak lantai menuju dapur. Meski bibirnya tak tersenyum, namun jantungnya bercerita lebih jauh daripada itu. Degup halusnya seolah mengatakan ia begitu bahagia.
Meja granit besar di tengah ruangan tampak lengang di pagi hari. Beberapa saat lagi pemanggang akan dipanaskan. Mixer-mixer sudah bersih. Loyang aneka ukuran, sudip kayu, mangkuk-mangkuk kaca, tertata rapi di rak penyimpanan.
Zea tak sabar menyaksikan kesibukan di dapur. Ia akan memenuhi baki-baki dengan kue-kue cantik karya koki mereka, lalu memindahkannya ke etalase.
"Bersemangat sekali." Suara seseorang mengejutkan Zea. Gadis itu menoleh. Agak gugup, seperti biasa.
"Pagi, Pak."
Fabian berjalan mendekat. Ia sempat menegur penampilan baru Zea, mengingatkan agar tetap memperhatikan keamanan.
Dia libur mengajar di Sabtu dan Minggu, sehingga bisa menggantikan chef yang dimiliki The Cranberries. Ia sendiri nyaris tidak punya libur. Setiap hari berkutat antara mengajar dan memanggang kue.
Karena, setelah sesuatu yang luar biasa menghantam hidupnya, satu-satunya cara agar kenangan-kenangan menyakitkan itu tak kunjung datang, ialah dengan menghabiskan waktu sebanyak yang ia bisa.
"Hari Sabtu, satu menu rahasia."
"Ah ...." Zea mengangguk, teringat sesuatu. Setiap weekend, The Cranberries akan memajang kue di luar menu reguler. Itu juga salah satu alasan Zea, dulu, begitu ketagihan menghabiskan waktu di tempat ini.
Nuansa toko yang cantik, suasananya yang hangat dan akrab, dan menu rahasianya di hari Sabtu.
"Kamu siap jadi asisten koki, Zea?"
Jantung Zea seakan berhenti mendengar penawaran itu.
Asisten koki? Bagi orang lain, mungkin terdengar begitu sederhana. Tapi tidak untuk Zea.
Setelah selama ini, pekerjaannya tidak menentu. Terkadang ia menjadi asisten gudang, bagian mencatat bahan-bahan yang akan dibeli, juga mengecek stok. Sesekali juga menjadi asisten kasir, menggantikan petugas yang tengah isoma. Terkadang juga jadi tukang bersih-bersih, mencuci segala macam perabot yang digunakan usai menciptakan kue-kue yang indah. Pernah pula ia memotong-motong stroberi, mangga, kiwi, sampai mencincang almond. Menakar gula pasir atau terigu. Tetapi tidak pernah benar-benar mengolahnya.
Kini, tibakah saatnya bagi Zea berganti seragam dengan baju putih dan celemek putih?
Tibakah saatnya untuk ia turut andil membuat kue-kue The Cranberries yang sudah ia kagumi sejak lama?
"Si-siap, Pak!" Senyumnya tak mampu ia sembunyikan. "Siap, Chef!"
"Good! Bersiaplah. Karena hari ini kita akan membuat ...."
Zea tak tahan lagi, rasanya dadanya terlalu membuncah.
"Empat macam craquelin choux."
Pijar di mata Zea kian cemerlang. Gadis itu mengangguk mantap. Keduanya bergerak cepat. Zea mengambil sekarung penuh tepung, membawa satu plastik besar mentega, mengeluarkan susu segar.
Fabian mulai memotong mentega dan memindahkannya dalam panci raksasa. Ia menambahkan gula pasir, sedikit garam, air, juga dua kotak besar susu cair. Sementara Zea lanjut menggoyang-goyangkan ayakan di tangan, mencoba mendapatkan tepung paling lembut.
Mereka bersiap membuat aneka krim kocok untuk menjadi isian kue. Bagian dalam penganan ini akan memberi sensasi creamy yang manis, sementara kulitnya terasa renyah.
"Chesnut mont blanc. Green tea mont blanc." Zea membaca catatan, keempat jenis choux au craquelin yang akan ia ciptakan. "Strawberry flavor. Chocolate caramelia."
Pagi ini, Zea akan mengisi kue dengan krim kocok. Menghiasnya dengan sepotong stroberi, atau mengucurkan krim matcha dari dalam plastik dengan ujung yang terpasang spuit. Ia akan menaburi kue-kue dengan gula halus.
Dan ia merasa sangat bersemangat.
Ya, dia masih begitu bersemangat. Setidaknya, hingga sebuah sapaan mampu membuyarkan sebagian fokusnya.
Zea nyaris lupa, Fabian memiliki sepupu sialan, yang sudah mencabik-cabik hatinya.
Pria itu bernama Ezra!
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Anak Kesayangan Papa
Genç Kız Edebiyatı"Kita nggak usah menikah aja, ya?" "Tapi kenapa, Kak?" "Karena ... aku sayang sama orang lain." Zea tidak tahu, bahwa Ezra dan Luna diam-diam pacaran dan berencana akan menikah. Iya. Luna, adik kandung Zea. Luna, anak kesayangannya Papa. * Ini adala...