Boleh tekan bintang dulu sebelum membaca 🧡
Sudah?
Terima kasih 🥰
🍰
Saat Zea kembali ke rumah orang tuanya, kamar Luna telah kosong. Mamanya baru bilang kalau Luna memutuskan untuk indekos di dekat kantor.
Zea berjalan masuk ke kamarnya sendiri sembari berpikir. Mengejutkan untuknya kalau mama dan papanya mengizinkan Luna hidup sendiri di luar rumah.
Tetapi, mungkin, ini cara kedua orang tuanya membayarkan rasa bersalah Luna juga rasa bersalah mereka karena tahu Luna dekat dengan Ezra.
Zea mematut dirinya di kaca tinggi di dalam kamar. Menyaksikan kondisinya, Zea hampir terpuruk. Hampir merutuki diri karena membuat Ezra berpaling. Sungguh, tidak mudah berdamai dengan diri sendiri setelah diselingkuhi. Zea menjatuhkan tote bag ke karpet bulu di bawah pijakan kakinya. Melalui cermin tampak stoples kecil tergeletak keluar dari dalam tote bag. Isi stoples itu kini kosong.
Zea merubuhkan badan, duduk di karpet di depan cermin sembari memungut stoples itu. Dia menilik keranjang rotan tempat ia biasa menyimpan snacks. Rupanya sudah saatnya mengisi ulang keranjang tersebut, karena yang tersisa hanya permen warna-warni.
Dibukanya kemasan permen dan Zea menyimpan sedikit di dalam stoples cookies pemberian Fabian, seolah ia sedang mengisi ulang kekuatannya.
***
Yosha menapaki anak-anak tangga menuju sebuah pintu kecil. Tiba di atas, didorongnya pintu itu, lantas ia berjalan keluar gedung. Angin berembus dingin. Atap gedung basah selepas hujan.
Pria itu berjalan ke pinggir, menatap suasana di bawah. Trotoar yang rapi dengan lampu-lampu jalan terlihat dari tempatnya berdiri. Gedung rumah sakit ini dominan warna hijau. Lantainya tak terlalu tinggi namun bangunannya begitu modern.
Yosha menyalakan pemantik, mulai menyulut rokoknya. Mengisap lintingan putih itu kuat-kuat, lalu mengembuskan asap melewati mulutnya.
Belakangan, Yosha menjadi sering mengunjungi rumah sakit. Yang dia lakukan pun hal-hal random. Kadang cuma masuk, menyusuri carpark dengan mobil lalu keluar lagi. Terkadang berjalan-jalan ke sepanjang koridor, naik dari lantai satu ke lantai lain.
Menyaksikan orang-orang yang berjuang demi kesembuhan mereka membuatnya jadi menghargai hidup. Memperhatikan orang-orang yang tabah menunggu giliran periksa membuatnya lebih bersyukur.
Terkadang Yosha sengaja datang ke bangsal bayi-bayi, menatapi makhluk mungil dari balik jendela kaca. Melihat mereka menggeliat, menangis, tertidur lelap, rasanya seperti melihat masa depan.
Yang paling sering, Yosha datang ke kafetaria sengaja untuk sarapan atau makan siang di sana, atau sekadar minum kopi dan makan kue-kue tradisional yang dijual. Atau seperti senja ini, dia berjalan ke rooftop, menikmati matahari terbenam sembari mengisap rokok. Seolah beban di hidupnya turut membubung tinggi bersama asapnya.
"Yosh ...."
Lelaki yang dipanggil menoleh kilat. Dilihatnya seorang perempuan mengenakan sweter rajut warna beige dengan celana panjang warna lime. Perpaduan warnanya tampak cute. Ditambah hijab plisket menutupi kepala yang seminggu lalu agak pitak. Dua gelas styrofoam berisi mi rendam berada di masing-masing tangan sang gadis.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Anak Kesayangan Papa
ChickLit"Kita nggak usah menikah aja, ya?" "Tapi kenapa, Kak?" "Karena ... aku sayang sama orang lain." Zea tidak tahu, bahwa Ezra dan Luna diam-diam pacaran dan berencana akan menikah. Iya. Luna, adik kandung Zea. Luna, anak kesayangannya Papa. * Ini adala...