part 3

1.4K 119 5
                                    

Harvey menghela nafas panjang, lega ketika melihat ibunya memasuki mobilnya sendiri dan kemudian berlalu pergi. Harvey tau beliau akan segera kembali ke rumah. Ingin segera bertemu dengan Mio. Menyiksa mental Mio pelan-pelan. Sampai Mio menyerah kalah.

Setelah mobil ibunya tak terlihat lagi, Harvey segera memacu mobilnya menuju ke kafe terdekat untuk membeli kopi. Perasaan lega dan bebas itu ternyata begitu menyenangkan. Saat ini Harvey bisa bebas menyetel lagu yang ia suka di mobil tanpa di protes ibunya. Bebas untuk memacu mobilnya dengan lebih cepat tanpa mendengar ibunya berteriak panik padahal Harvey sudah berkendara sesuai dengan batas kecepatan. Bebas dari gerutu dan keluhan ibunya yang selalu ada saja setiap hari akhir-akhir ini.

Sebenarnya, ibu Harvey bukan orang jahat. Ia tidak pernah memukul Harvey maupun Altair. Beliau hanya seorang ibu biasa. Ibu yang bertanggung jawab terhadap hidup dan pendidikan anak-anaknya. Tapi karena ayah Harvey meninggal semenjak mereka kecil, ibu Harvey terbiasa untuk selalu mandiri dan berkerja keras. Termasuk selalu menetapkan standar tinggi untuk dirinya sendiri, anak-anaknya bahkan ke pembantu yang ada di rumah.

Makanya, bukan hal aneh melihat pembantu di rumah Harvey seringkali hanya kuat bertahan satu dua bulan. Orang-orang yang betah bertahun-tahun bertahan bekerja di rumah Harvey hanya orang-orang yang memang bermental baja, memang butuh uang atau yang pola pikirnya memang sama dengan ibunya.

Sejak dulu, ibunya selalu membiasakan setiap orang yang ada di rumah untuk bangun jam empat pagi, mandi di jam lima dan harus siap sarapan di meja makan pukul enam. Tidak ada kata terlambat atau bangun kesiangan. Semuanya sudah di atur sedemikian rupa. Jam tidur pun di atur, maksimal jam sepuluh. Itu belum termasuk peraturan soal rumah harus selalu bersih, pinggir wastafel tidak boleh basah, piring harus di tata sesuai dengan bentuk dan ukurannya, rumah harus di pel dan sapu minimal dua kali dalam sehari dengan disenfektan, kebun yang harus selalu bersih dan lain sebagainya.

Masalahnya rumah Harvey, bukan rumah berukuran sedang. Tapi itu rumah warisan dari kakek Harvey. Rumah tua turun menurun dengan kebun sangat besar, kolam ikan, lapangan basket kecil, garasi yang muat untuk tujuh mobil.

Ukuran yang besar serta standar tinggi yang di tetapkan ibu Harvey bisa membuat siapa saja stress berat. Orang-orang yang tidak tahan dengan kedisiplinan rumah Harvey datang dan pergi dengan cepat Mereka tidak bisa seperti Harvey dan Altair. Mengangguk-angguk cuek saja setiap ibu mereka mulai mengomel terutama soal jam malam. Nggak semua orang bisa menelan semua omelan dan mengikuti semua peraturan tanpa memberontak.

Kali ini, Harvey sudah menggenggam segelas kopi. Perasaan nyaman nya perlahan berkurang begitu melihat layar handphonenya. Melihat belasan miscall dari kakaknya, Altair.

"Gimana Mio?" Seru Altair dalam deringan pertama setelah Harvey menelpon balik.

Harvey menjauhkan sedikit layar handphone dari telinganya, karena kakaknya berseru keras, "Baik."

"Baik gimana? Dia sehat kan? Nggak jet lag?"

"Kelihatannya nggak." Jawab Harvey singkat sambil mengacak-acak rambutnya. Frustasi sendiri, menjadi penengah antara Mio, ibunya, Altair itu ribet. Merepotkan. Bikin capek.

"Kelihatannya?" Tanya Altair nggak puas.

"Menurutmu?" Balas Harvey masam. Kakaknya Altair harusnya paham, mustahil Harvey bisa beramah tamah dengan Mio di depan ibunya.

"Tapi Mio nggak diapa-apakan mama kan?"

Harvey sontak tertawa ngejek, "Di apa-apain gimana?"

Di ujung telepon Altair menggeram kesal, "Kamu tau mama gimana kan? Kamu pasti udah dengar semua omongan mama sejauh ini."

"Iya. Gara-gara kamu, Mama ngomel melulu sebulan ini."

"Maaf." Potong Altair singkat, "Jadi, Mio gimana?"

"Dia diem aja di omelin mama."

"Kasihan Mio."

"Makanya, tanggung jawab. Balik kesini. Temuin mama. Jangan cuma bicara lewat telepon. Jelasin semuanya."

Altair menghela nafas berat, "Belum bisa. Belum ada jatah cuti. Tapi secepatnya aku pasti balik kesana. Jemput Mio."

"Kamu ngirim Mio kesini ketemu mama. Tinggal sama mama tiga bulan pula. Keterlaluan." Balas Harvey. Jengkel sendiri dengan keputusan kakaknya, Altair. Memperbolehkan Mio tinggal di rumah Harvey dan Altair itu bagai mengirim bebek ke kandang singa.

"Karena cuma itu." Altair menjawab dengan nada lemah, "Karena cuma itu syarat yang di ajuin mama, syarat supaya aku bisa menikah dengan Mio."

Harvey mendengus, "Kalau pada akhirnya mama bolehin, tapi gimana kalau Mio yang gantian nggak setuju? Gimana kalau pada akhirnya dia yang nggak kuat lalu nyerah?"

"Nggak mungkin." Jawab Altair dengan cepat, "Mustahil."

Catatan Mio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang