Part 36

905 119 4
                                    

Mio tidak tau, bahwa ia memejamkan mata adalah kesalahan fatal. Karena gerakan sekecil itu membuat Harvey tidak tahan lagi untuk merengkuh Mio. Melindungi Mio dalam dekapannya. Mengulang ciuman yang sama seperti sebelumnya.

Naluri, perasaan dan insting bercampur lebur dalam ciuman yang sama. Mengendalikan Harvey tanpa bisa di hentikan. Tarikan nafas pelan Mio saat Harvey meletakan jemarinya dalam sela-sela rambut dan menariknya pelan, membakarnya.

"Kamu juga tertarik dengan saya." Bisik Harvey ketika bibirnya masih bertemu dengan Mio, "Kenapa?"

"Saya nggak tau." Balas Mio perlahan ia memundurkan wajahnya dengan pipi merona.

"Kenapa kita nggak mulai lebih jujur satu sama lain?"

"Apa jawaban saya ada artinya?"

Harvey menatap Mio sedih, "Apa selama ini jawaban kamu, pendapatmu, nggak pernah di anggap?"

Mio menggeleng, "Tidak ada yang mau dengar saya, sekalipun saya berteriak. Saya pikir seorang perempuan, seorang anak, orang yang lebih muda, dimanapun selalu begitu. Tidak pernah punya pilihan."

"Kamu punya. Asal kamu cukup berani ambil resiko." Potong Harvey tegas sebelum melanjutkan bertanya tanpa basa-basi, "Jadi, kenapa kamu tertarik dengan saya?"

Pipi Mio merona semakin merah dan ia tambah gugup seperti anak kecil yang terpaksa mengakui rahasia kecilnya , "Dari dulu saya ingin jadi dokter. Karena kalau seandainya papa saya nggak terlambat datang ke dokter; Saya sekarang mungkin masih tinggal bersama papa. Papa saya pasti masih sehat. Dan seandainya, saya bisa kuliah. Menjadi seorang dokter, saya pasti bisa mengobati nenek saya sendiri. Tanpa minta tolong siapapun."

"Saya selalu ingat hari papa saya meninggal. Saya masih kecil. Nggak tau apa-apa. Nggak bisa apa-apa. Andai aja saya tau harus bawa papa saya ke dokter. Andai saya bisa menyelamatkan papa saya. Semua nggak bakal seperti sekarang."

"Saya nggak perluh harus pindah ke pulau Serasan. Tinggal dengan om Tante saya. Dulu mereka baik dengan saya. Tapi semenjak usaha penginapan mereka sepi, dikejar hutang, nenek saya sakit. Saya nggak bisa apa-apa kecuali mengikuti apa yang mereka mau. Saya tidak bisa kuliah. Saya harus mengurus penginapan karena om Tante saya tidak bisa lagi menggaji karyawan. Harus mengurus toko. Harus melakukan semua yang mereka mau. Saya tidak punya pilihan. Karena saya sudah banyak merepotkan mereka kan?"

Harvey mencoba mengatur nafas supaya emosi dalam hatinya tidak menakuti Mio, "Kenapa mereka memukul kamu? Sejak kapan mereka melakukan itu?"

"Sejak saya kecil sebetulnya. Tapi makin parah semenjak nenek saya sakit. Semenjak mereka tidak bisa lagi membayar hutang." Mio meringis kekanak-kanakan seperti menertawakan nasibnya; yang membuat hati Harvey justru semakin sakit, "Nenek saya butuh biaya besar untuk pengobatan dan kata mereka untuk mengobati nenek, saya harus menikah dengan orang yang berani memberi uang seserahan yang paling besar."

"Ada beberapa orang pilihan om tante saya yang setuju, tapi mereka semua kebanyakan sudah menikah. Orang-orang pendatang yang istrinya ada di pulau Jawa. Saya jadi istri kedua. Istri simpanan. Atau ada yang asli Serasan. Orang yang di tuakan disana. Tapi usianya hampir sama dengan nenek saya dan istrinya juga sudah tiga."

Harvey mengumpat dalam hati.

"Saya nggak paham kenapa nenek saya tiba-tiba suatu hari mengajukan mas Altair. Saya nggak kenal mas Altair. Tapi saya tau beliau tinggal di mess sebelah penginapan keluarga saya. Saya juga beberapa kali bertemu dengan beliau ketika beliau datang ke toko keluarga saya. Saya juga tidak paham kenapa mas Altair sangat peduli dengan saya dan nenek saya. Tapi nenek saya bilang, dari semua calon dari om tante saya. Yang terbaik hanya mas Altair. Jadi saya pilih beliau dan terbang ke pulau Jawa."

Catatan Mio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang