Part 35

795 108 2
                                    

Setelah Mio dan dirinya sendiri mulai merasa lebih tenang, Harvey melepaskan pelukannya. Membantu Mio bangkit dari posisi duduknya kemudian menoleh kebelakang. Tepat di luar pintu gudang yang terbuka, bu Tina, Bu Darsih, pak Rohmat dan ada dua pengurus rumah Harvey yang lain berdiri bengong.

"Kalau kalian mau ngelaporin ini ke ibu saya. Silahkan." Tantang Harvey sambil tersenyum menyeringai.

Suasana hening cukup lama hingga Bu Darsih, yang entah bagaimana bisa ikut ada di sana, akhirnya mengeluarkan suara duluan. Suara beliau bergetar takut, "Anu...biar saya ngantar mbak Mio ke kamar, mas."

Harvey sontak tertawa menghina, "Untuk di apain lagi?"

Mata Bu Darsih terbelalak gugup,  "Maksud mas?"

"Temui saya nanti malam." Potong Harvey dengan tidak sabar pada Bu Darsih lalu menarik tangan Mio melewati barisan pengurus rumahnya yang sekarang hanya bisa saling tatap panik.  

"Mas Harvey?" Cicit Mio sambil berjalan terseok-seok mengimbangi langkah kaki Harvey.

Harvey tetap membisu. Mempertahankan langkahnya. Segera membawa Mio kedalam kamarnya. Harvey baru berbicara ketika Mio sudah benar-benar duduk di atas kasurnya. Mio terdiam sambil mendongak menatap Harvey dengan mata Hazel yang sama. Yang menarik perhatian Harvey sejak pertama kali Harvey melihatnya.

"Tadi di gudang apa kamu jatuh atau terluka?"

Mio menggeleng. Bahasa tubuhnya defensif. Membuat Harvey hanya bisa menghela nafas. Toh mau Mio jatuh atau tidak di gudang, tubuh Mio seperti sudah tidak ada lagi celah untuk luka lain.

"Bisa kamu jawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan jujur?" Tanya Harvey. Berusaha membuat suaranya tidak terdengar terlalu mengancam.

"Pertanyaan apa?"

"Saya bisa baca ekspresimu. Tapi saya juga butuh untuk dengar langsung jawabanmu. Walaupun cuma sekedar ya atau tidak." Harvey memulai pertanyaan pertamanya dengan tegas, "Apa kamu bahagia tinggal dengan nenek kamu?"

Mio terdiam sesaat. Tampak terkejut dengan pertanyaan pertama yang datang mendadak tanpa ia siap,"Iya."

"Dengan om dan Tante kamu?"

Seketika wajah Mio mulai kembali pucat. Ia menggelengkan kepala. 

"Apa mereka yang buat seluruh badanmu luka?"

Mio menelan ludah. Perlahan mengangguk dengan wajah tertekan ketakutan.

"Apa Altair tau ini semua?"

"Ya."

Harvey mengerutkan keningnya kemudian menundukan kepalanya untuk menatap langsung ke mata Mio. Membaca semuanya darisana. Menunggu jawaban yang akan mengubah segalanya, "Apa kamu benar-benar suka dengan kakak saya?"

Mio menggigit bibir tanpa kata, sementara matanya terkunci menatap balik mata Harvey.

"Apa kamu benar-benar mau menikah dengan kakak saya?"

Mio menahan nafasnya, "Kenapa?" Bisiknya gelisah, "Kenapa mas Harvey mau tau semua ini."

Harvey tertawa kecil, "Saya sendiri nggak paham kenapa saya peduli sekali dengan kamu. Padahal saya sudah bertekad untuk tidak mau ikut campur sejak awal. Yang saya tau, saya nggak bisa berhenti peduli. Kamu sudah terlalu menarik perhatian saya sejak awal."

"Menarik?" Ucap Mio datar sementara wajahnya tampak lebih terluka dari sebelumnya, "Saya bukan barang."

"Memang bukan." Bantah Harvey dan dirinya mulai mendekatkan wajahnya semakin dekat pada wajah Mio, "Saya serius dengan semua ucapan dan tindakan saya. Saya juga serius dengan perasaan saya. Saya serius dengan kamu, tapi saya nggak memaksa kamu. Kamu tetap punya pilihan."

"Saya hanya butuh satu jawaban; Apa kamu sungguh-sungguh mau menikah dengan kakak saya bukan karena terpaksa atau ada alasan lain."

"Karena menikah bukan mainan Mio, bukan jalan keluar. Kamu harus menikah dengan orang yang benar-benar sayang kamu dan kamu harus benar-benar sayang dia juga."

"Jadi? Kamu sudah siap untuk jawab pertanyaan saya?" Harvey menarik nafas dan mengulang lagi pertanyaannya, "Apa kamu benar-benar suka dan mau menikah dengan kakak saya?"

Mio memejamkan matanya rapat-rapat. Wajahnya pucat dan bibirnya membisikkan kata yang Harvey sangat butuhkan, "Tidak."

Catatan Mio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang