Part 55

472 68 5
                                    

Altair mengayuh sepedanya sepelan mungkin walau artinya ia harus selalu menyeimbangkan sepedanya berkali-kali supaya setara dengan tungkai kakinya yang panjang.

Didepannya, Mio memakai sepeda tua. Antik. Membawa beberapa bungkusan obat racikan neneknya sendiri. Mengayuh sepeda melewati Padang rumput gersang sangat gelap sepanjang satu kilometer dengan penerangan seadanya.

Ini adalah perjalanan terjauh Altair menjelajah pulau Serasan dengan sepeda. Di petang menjelang malam. Di jalan yang bagi Altair cukup menyeramkan karena tidak terbiasa.

Hebatnya, Mio tampak biasa-biasa saja dan masih dalam mode senyapnya yang biasanya. Hening. Tanpa suara. Perjalanan ini lebih riuh di hias suara jangkrik dan hewan malam entah apa yang tidak di kenal Altair. Di banding dengan percakapan normal dua manusia pada umumnya.

Altair sebetulnya sudah berkali-kali membuka,- mengatupkan mulutnya. Berusaha sekeras mungkin mencari pembicaraan. Tapi ia awam dengan perempuan dan tidak biasa basa-basi. Topik yang biasa ia bahas sehari-hari adalah paket engineering dan evaluasinya. Tidak nyambung dengan suasana sekitar apalagi kalau ia sampai nekat membahas soal Hazops, Mio bisa-bisa bakal ngebut dan meninggalkan Altair nyasar sendirian disini.

Suara Mio baru keluar ketika Altair dan Mio sampai di persimpangan jalan. Mio mendadak turun dari sepeda dan menoleh kebelakang menatap Altair, "Pak Altair mau lewat jalan pintas atau jalan memutar?"

Altair mengangkat alisnya, "Pak?"

"Iya, bapak Altair." Ulang Mio.

"Kalau kamu berkenan, kamu panggil saya mas saja. Mas Altair. Itu sebutan kakak dalam bahasa Jawa."

"Mas Altair?" Mio terdiam beberapa detik sebelum mengangguk, "Ya tidak apa-apa mas."

Altair tersenyum, "Lebih bagus itu."

"Jadi, pilih jalur yang mana mas Altair?" Ucap Mio tanpa ada tendecy sama sekali untuk melanjutkan basa-basi. Hanya fokus. Fokus untuk sampai ke tujuan.

"Jalan pintas saja tidak apa-apa. Supaya kamu tidak pulang terlalu malam."

"Tapi di sana biasanya ada buaya nya."

Altair meringis kecut, "Ya sudah jalan memutar saja. Disana nggak ada buaya nya kan?"

"Ada."

Altair tanpa sadar tersenyum, geli sendiri, "Terus bedanya apa? Hanya jaraknya saja?"

"Yang jalan pintas buayanya agak lebih besar. Yang jalan memutar buaya nya kecil tapi suka duduk-duduk di pinggir sungai."

"Hmmm..." Altair tertawa, walaupun dalam hati ia merinding dari ujung jempol kaki hingga kepala, "Jalan mana yang paling aman? Kamu lebih tau dari saya. Selama kamu merasa aman, saya ikut."

"Saya berani sendiri kok mas."

"Sayangnya saya sudah janji dengan nenekmu."

Mio menghela nafas kemudian membuang wajah. Dalam diam menuntun Altair bersepeda ke persimpangan jalan di sisi kiri yang tampak lebih gelap dan lebih mengancam.

Nyatanya bukan cuma tampaknya lebih mengacam tapi kenyataannya memang lebih seram. Belum beberapa meter. Altair sudah disuguhi pemandangan yang biasanya hanya ia lihat dalam edisi national geographic. Dihadapannya, ada satu buaya. Ukurannya tidak begitu besar. Sekitar satu meter. Mulutnya menganga, selonjoran santai di pinggir jalan yang berawa gelap di sisi kiri.

"Mio, pindah ke belakang saya!" Seru Altair sembari mengumpulkan segenap keberaniannya dan disaat yang sama mencoba setengah mati mengingat-ingat cara menghadapi buaya entah dari sumber laci sebelah mana dalam gudang informasi di otaknya.

Seakan belum cukup buruk. Tanpa sadar Altair melirik ke atas. Tepat di atasnya ada beberapa monyet bertengger di pohon jambu. Ini pertama kalinya Altair melihat monyet sungguhan liar alami duduk santai sambil makan jambu. Ekspresi mereka lempeng. Seperti penonton adegan bioskop laga yang sebentar lagi akan tayang.

Sialnya lagi, disaat Altair masih terperangah antara buaya dan menjadi bahan tontonan sepeleton monyet dari atas pohon, bukannya menurut, Mio justru memarkirkan berdiri sepedanya; berjalan mengambil satu ranting kayu cukup panjang dan tanpa aba-aba memukul kepala buaya itu yang langsung mundur ke air rawa. Padahal di saat yang sama, Altair sudah nyaris lompat memanjat pohon bersama dengan monyet-monyet.

"Mio? Mio?! Kamu NGGAK TAKUT?"

"Uhmm..." Mio menggigit bibir nyengir kecil sebelum bergumam pendek, "Masalah kan harus di hadapi."

Altair sukses melongo. Ya, ini memang bisa jadi sebuah contoh nyata, dua orang dengan cara penyelesaian masalah yang berbeda. Antara kabur atau bertindak. Tapi perkara di kunyah buaya bukan cuma sekedar masalah kan, tapi sebuah bencana.

Catatan Mio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang