Part 54

449 66 0
                                    

Altair memang tidak bisa memenuhi janjinya sesering mungkin. Dirinya selalu sibuk dengan pekerjaan dan jadwal shiftnya padat. Tapi janji tetaplah janji dan sesuai janjinya, Altair datang beberapa kali.

Pak Harto dan beberapa satpam lain kini paham dan sudah biasa melihat Altair; dari yang tidak pernah, jadi sering keluar kawasan. Mereka hebatnya tau tanpa di beritahu kemana Altair pergi,- karena memang itu tabiat pulau Serasan, mustahil ada rahasia yang bisa disembunyikan disini.

Bahkan mereka juga tidak malu-malu lagi untuk meminta terus terang,- mereka lebih suka Mio di nikahi Altair daripada pak Dahlan atau tetua kampung yang sudah aki-aki atau siapapun.

Biasanya, Altair hanya tersenyum tanpa menanggapi. Menikah bukan perkara mudah dan menikah juga bukan tujuannya. Altair melakukan ini semua sebetulnya lebih untuk dirinya sendiri. Untuk menghilangkan rasa bersalah yang pasti menggerogoti jika ia pura-pura tidak tau disaat ia tau dan bisa membantu, sekalipun hanya sedikit.

Saat ini pukul lima sore lebih. Pulau Serasan punya waktu senja yang lebih panjang. Hingga petang biasanya jatuh di pukul setengah tujuh malam.

Kini Altair sudah berada di depan penginapan kembali. Tidak berekspektasi sama sekali kecuali menantikan rutinitasnya. Kegiatan pijat hanya formalitas sisanya Altair banyak menghabiskan waktu dengan bicara tidak penting dengan nenek Mio, mengisi kekosongan Altair dengan pembicaraan normalnya sebuah keluarga.

Altair memarkirkan sepedanya di tempat biasa sebelum berjalan melewati lorong panjang disamping toko. Detik berikutnya, mendadak  pak Dahlan muncul. Berjalan melewati lorong yang sama. Beliau memakai pakaian batik khas Jawa. Rapih dan wangi namun berwajah kecut dan jengkel.

Altair hanya mengenal pak Dahlan secara formalitas karena perbedaan divisi. Hubungannya dan pak Dahlan hanya sebatas sapaan anggukan kepala pendek netral saat bertemu wajah. Tapi kini kesopanan itu habis menguap. Pak Dahlan menatapnya dengan sorot tak bersahabat tanpa anggukan sama sekali sembari melangkahkan kaki secepat mungkin melewati Altair.

Dibelakang pak Dahlan berjalan seorang laki-laki dengan baju bercorak melayu norak.  Yang Altair langsung kenali sebagai paman Mio. Ketika jarak semakin pendek, paman Mio melirik sekilas. Tanpa senyum tanpa berkata apa-apa seakan sudah mengenal baik Altair dan tujuannya ada disini, atau mungkin memang begitu. Beliau tau. Tidak ada rahasia di tempat ini. Sebelum buru-buru kembali mengejar pak Dahlan.

Hanya sepersekian detik untuk pertama kalinya Altair melihat wajah paman Mio dari dekat. Singkat tapi berhasil meninggalkan kesan. Wajah congak. Peringai manusia yang lebih suka memerintah daripada melakukan sendiri. Angkuh seperti pak Dahlan yang Altair cukup tau. Orang yang tidak bisa menghargai istri dan keluarganya adalah orang yang tidak mungkin menghargai orang lain.

Mencoba mengabaikan kejutan mendadak. Altair melanjutkan kembali berjalan. Sedikit berharap hari ini ia bisa mulai sedikit menyusup masuk. Menyentil konteks pembicaraan tentang Mio dengan neneknya. Mencoba menemukan solusi bersama tanpa terasa terlalu ikut campur apalagi menggurui. Sebelum dua Minggu lagi ia harus dinas di rig tengah laut dan tidak akan kembali selama setengah tahun kedepan.

Nyatanya kejutan belum berakhir. Nafas Altair terhenti sesaat ketika melihat Mio duduk bersama neneknya di kursi reyot di depan ruangan yang biasa Altair datangi. Memakai baju terusan panjang semata kaki dan jaket lusuh tua coklat yang kebesaran.

Setelah sekian minggu akhirnya Altair melihat kembali wajah itu, dari dekat. Wajah Mio. Wajah yang membuat Altair tanpa sadar selalu mengumpat dalam hati saking keterlaluan cantiknya.

"Nak Al..." Sapa nenek, mendongak tersenyum ramah begitu Altair hanya berdiri dalam jarak beberapa jengkal kaki.

Altair mengangguk sopan. Menyalami nenek sebelum membeku di bawah pandangan curiga Mio yang lagi-lagi tidak tampak terkesan.

"Maaf ya nak, hari ini nenek sedang tidak enak badan sekali."

Altair mengangguk paham. Mengamati nenek dari atas ke bawah. Beliau memang terlihat jauh lebih ringkih dan pucat dari Minggu terakhir, "Ya. Saya juga minta maaf nek, karena selalu mendadak datang."

"Tidak apa-apa. Salah Nenek juga tidak ada telepon. Tidak punya alat komunikasi sama sekali." Nenek menggelengkan kepala, tersenyum menyesal, "Lain kali hubungi saja Mio sebelum kesini."

Altair menelan ludah dan tanpa sadar melirik Mio. Sialnya Mio ternyata juga sedang mendongak. Mata coklat Hazel Mio bertemu dengan Altair tanpa ampun. Memunculkan sensasi asing menggelitik yang sudah sangat lama tidak di rasakan oleh Altair.

"Ya." Jawab Altair pendek. Kembali mengalihkan pandangan dan sebiasa mungkin memasang raut datar.

Nenek tersenyum kembali. Menepuk bahu cucunya Mio lalu melanjutkan berkata, "Sore tadi seharusnya Mio mengantar obat buatan nenek ke dusun sebelah. Tapi karena sesuatu, Mio tidak bisa mengantar. Ini sudah petang. Nenek tidak tega Mio pergi sendiri. Jadi, boleh nenek minta tolong nak Al?

"Ya?"

"Bisa tolong untuk temani dia?" Pinta nenek dan detik itu juga waktu seakan berhenti berdetak. Seluruh gerakan alam tersentak diam hingga udara terhisap habis. Kosong. Menyisakan suara serak kecil ringkih bergumam lambat, pelan,  "Tolong jaga Mio, dia cucu kesayangan nenek satu-satunya di dunia."

Catatan Mio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang