Part 73

486 53 8
                                    

"Kalau mas Harvey pindah ke Sumatra ada berapa banyak yang harus mas Harvey korbankan?" Tanya Mio pelan. 

"Semua bisa di pertimbangkan lagi selama saya sudah dengar keputusanmu. Kalau kamu sungguh-sungguh memilih saya; saya bisa melakukan apa saja Mio."

Mio menyipitkan mata gelisah, pikiran nya jelas kembali berkelana. Tubuh Mio memang disini tapi jelas isi hatinya tidak. Karena Mio mendadak duduk di atas pasir, jemarinya secara acak menggambar sebuah bentuk rumah.  Hampir identik dengan rumah keluarga Harvey.  Mio pernah tinggal di sana berbulan-bulan, sudah pasti ada rasa keterikatan samar tanpa ia mau. Dengan semuanya. Termasuk mengkhawatirkan orang-orang yang tinggal disana dan ibu Harvey sendiri. 

"Mas Harvey, ayo kita pulang ke rumah sakit..." ucap Mio hampir seperti memohon disaat Harvey sedang memutar otak untuk mencari cara lain untuk meyakinkan Mio. 

Tangan Harvey terkepal gusar, "Apa kamu sudah punya keputusan? Kamu selalu punya pilihan, Mio."

Mio terus menggores jemarinya di pasir, "Mas Altair juga bilang hal yang sama tadi malam."

Harvey menarik nafas panjang. Langit kini sudah berubah dari jingga gelap menjadi hitam. Waktu Harvey benar-benar terbatas dan menyakinkan Mio ternyata memang tidak mudah.  Sesulit itu untuk memiliki Mio, seutuhnya. 

Terlebih sekarang, Mio tanpa permisi juga langsung bangkit berdiri.  Berjalan menuju arah mobil sambil sesekali menatap Harvey dengan tatapan seperti bayi. 

Mau tidak mau, Harvey berjalan mengikuti Mio, entah sekarang siapa yang tidak punya pilihan.  Harvey atau Mio.  Karena Harvey benar-benar kalah dan menuruti Mio hanya karena melihat raut wajahnya. 

Didalam mobil, mendadak getaran ponsel Harvey, membuyarkan pikirannya. Harvey mengecek ponsel. Ada satu panggilan tak terjawab Altair dan satu pesan berisi share location dan permintaan hampir seperti perintah untuk Harvey menjemput Altair disana. 

Harvey mengumpat dalam hati.  Ia bisa saja mengabaikan pesan kakaknya, tapi Mio jelas mendapatkan pesan yang sama karena Mio juga sedang mengecek ponselnya sekarang. 

"Kenapa mas Altair minta di jemput disana? Bukannya beliau harusnya di rumah sakit?"

"Kamu punya pilihan untuk nggak kesana."

"Tapi mas Altair kenapa bisa disana? Harusnya beliau nggak di tempat itu. Disitu itu wilayah yang agak gelap.  Jarang ada penerangannya."

"Kamu tau tepatnya location yang di share, Altair?"

"Iya, masih satu arah dengan rumah sakit." Jawab Mio panik, jemarinya terus menerus menekan tanda panggilan walau tidak tersambung, "Mas Altair nggak kenapa-kenapa kan? Paman nggak ngelakuin apa-apa ke beliau kan?"

"Altair dua kali lebih besar dari paman mu, Mio dan dia dari SMU bisa mecahin sepuluh genteng dalam satu kali pukul."

"Tapi disana bener-bener sepi." Balas Mio terburu-buru. Wajah sungguh-sungguh khawatir Mio menyedihkannya membuat perasaan Harvey seperti tersilet. 

Lagi-lagi mau tidak mau, Harvey memacu mobil Jeep milik Altair.  Menyusuri jalan asing yang memang jauh lebih sepi dari pulau Jawa walau menurut Mio tiga kali lebih ramai dari pulau Serasan. 

Perasaan Harvey benar-benar tidak enak kali ini. Langit malam penuh bintang serupa sungai bahkan tidak mampu menata perasaannya menjadi lebih baik. Seperti mimpi buruk berkejaran dengan sesuatu yang tak kasat mata. Terus berlari padahal nyatanya berjalan di tempat. 

Tidak butuh waktu lama untuk Harvey sampai di tempat yang di tuju.  Tempat itu seperti Padang rumput kecil di keliling hutan dan tebing. Tepat di pinggir jalan yang memang sepi sesuai deskripsi Mio. 

Mio buru-buru membuka pintu mobil begitu Harvey menghentikan mobilnya.  Pandangan matanya sama seperti Harvey,- jatuh pada Altair yang berdiri sendirian tiga meter dari tempat mobil Harvey terparkir dengan kemeja abu-abu dan jeans. 

Tepat ketika Mio sudah berdiri di tepi jalan. Harvey bisa mendengar rentetan ledakan.  Cahaya berpedaran.  Berwarna-warni meledak seperti jutaan bintang jatuh. 

Harvey mendongak, menatap langit melalui jendela mobil yang di penuhi kembang api. Harvey pernah melihat ratusan kembang api. Setiap tahun. Dalam segala macam ledakkan. Kembang api ini bukan kembang api terindah yang pernah Harvey lihat.  Tapi jelas berbeda untuk Mio yang mungkin seumur hidupnya belum pernah melihat kembang api sebegitu besarnya meledak di langit tepat di atasnya. 

Mio mendongak.  Cahaya terang berwarna-warni menari di pantulan matanya.  Di bawah pedar, Mio tampak mempesona sekaligus terpesona pada apa yang ia lihat sekarang. 

"Mio?"

Suara Altair  terdengar begitu letusan kembang api terakhir padam.  Mio berhenti mendongak untuk menatap Altair yang perlahan berjalan kearahnya sambil menjulurkan tangan, "Maaf kalau yang barusan nggak terlalu mirip ratusan bintang jatuh yang pernah kamu lihat. Tapi, suatu saat nanti aku akan bawa kamu ke tempat dimana kamu bisa lihat ribuan bintang."

Jantung Harvey yang semula berdentum acak seketika berhenti disaat Mio menganggukan kepala dan menyambut uluran tangan Altair sembari tersenyum setengah menahan tangis. 

Catatan Mio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang